Menuju konten utama

APD Lokal Melimpah, dan Kemenkes Enggan Menyerapnya

Kementerian Kesehatan enggan menggunakan produk Alat Pelindung Diri (APD) buatan lokal, kata para produsen.

APD Lokal Melimpah, dan Kemenkes Enggan Menyerapnya
Peserta pelatihan program Fashion Technology Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja (BBPLK) memproduksi alat pelindung diri (APD) sesuai dengan standar keamanan Gugus Tugas Penanganan COVID-19 di Unit Pelaksana Teknis Pusat BBPLK Semarang, Jawa Tengah, Senin (30/3/2020). ANTARA FOTO/Aji Styawan/aww.

tirto.id - Perusahaan tekstil dalam negeri memprotes kebijakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang enggan menggunakan produk Alat Pelindung Diri (APD) buatan lokal. Produk industri tekstil Indonesia tertahan karena dianggap tidak memenuhi standar.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menyebutkan Kemenkes mengharuskan APD menggunakan serat spunbond non woven yang hanya bisa sekali pakai. Sementara industri menggunakan serat woven yang dapat dicuci alias digunakan berulang.

Redma bilang pemilihan bahan woven sesuai arahan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang notabene merupakan koordinator dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Bahan woven dipilih karena spunbond non woven sulit dicari di Indonesia. BNPB meminta industri tekstil membuat kain yang standarnya sama efektifnya sekaligus melimpah di dalam negeri.

“Kami sudah bikin ternyata Kemenkes itu malah ubah persyaratannya jadi spunbond. Jadi [produk kami] enggak masuk,” ucap Redma saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (3/6/2020).

Redma semakin kesal karena APD yang mereka buat sebenarnya sudah dites di laboratorium uji Balai Besar Tekstil (BBT) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dengan hasil sudah memenuhi standar hazmat and gown dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Bahkan sebagian anggota asosiasi sudah bisa membuat APD dengan standar biosafety level (BSL) 4--standar tertinggi.

Karena kebijakan ini, Redma memperkirakan APSyFI dan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) hanya dapat memasok sekitar 1.000 pcs APD kepada pemerintah. Di luar dua asosiasi itu, Redma mengatakan ada yang bisa membuat hingga jutaan pesanan. Suatu perusahaan konsorsium di Tangerang, Banten misalnya menerima pesanan hingga 5 juta pcs dari Kemenkes.

Belakangan, konsorsium itu dikabarkan terlambat menerima dari Kemenkes. Ribuan buruh terancam di-PHK karenanya.

Menurut Redma, jika ada pabrik yang sanggup memenuhi pesanan dari Kemenkes, kemungkinan besar mayoritas bahannya berasal dari impor karena spunbond non woven cukup langka di Indonesia. Hal ini ini bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Joko Widodo Mei 2020 lalu yang ingin mengurangi impor alat kesehatan yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri.

“Kemarin sudah diingatkan jangan impor-impor lagi. Tapi tetap saja impor lagi,” ucap Redma.

Enggan Menggunakan APD Lokal

Sekretaris Jenderal API Rizal Tanzil Rakhman juga mengeluhkan masih maraknya impor APD di Indonesia. Menurutnya, produksi APD di dalam negeri sudah bisa memenuhi kebutuhan. Produksi APD di sini memiliki kapasitas 16 juta pcs per bulan, sementara kebutuhannya hanya 3-4 juta pcs.

Rizal bilang di tengah kesulitan dunia usaha karena pandemi, pemerintah sudah sewajarnya mengutamakan penyerapan produk dalam negeri apalagi yang dibutuhkan secara massal dalam penanganan COVID-19. Penyerapan ini, katanya, apat membantu kondisi keuangan perusahaan termasuk pembayaran gaji karyawan meski hanya setara 3-5 persen dari total produksi.

“Karena seharusnya prioritas penggunaan produk dalam negeri itu harus terimplementasi, bukan sekadar lip service saja” ucap Rizal saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (3/6/2020).

Penjelasan Rizal memang bisa dimengerti. Menurut data Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), per Jumat (29/5/2020) saja sudah ada 6 juta pekerja yang dirumahkan dan di-PHK. Sekitar 2,1 jutanya adalah pekerja tekstil. Jumlah itu juga setara 80 persen pekerja tekstil yang totalnya mencapai 2,7 juta orang.

Ketua Umum Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI) Suharno Rusdi mengatakan kapasitas produksi non-woven nasional yang bisa disuplai ke APD hanya sekitar 1 juta potong per bulan. Sementara bahan woven yang dimiliki produsen lokal mampu memasok lebih dari 375 juta potong APD per bulan.

“Kalau ada produsen lokal klaim bisa suplai APD dari non-woven lebih dari 1 juta per bulan, harus diteliti lagi, pasti campur dengan APD impor,” kata Rusdi dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Jumat (15/5/2020).

Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Arianti Anaya menampik jika mereka tidak menerima APD lokal karena perkara pemilihan bahan baku. Ia menegaskan bahan APD yang diterima tidak dibatasi dibuat dari spundbond saja. Ia menegaskan Kemenkes dan BNPB mengatur ada beberapa bahan yang dibolehkan, dengan syarat mampu mencegah droplet darah dan cairan.

Sementara Sekjen Kemenkes Oscar Primadi memastikan kalau APD untuk COVID-19 berasal dari produsen lokal. Meski demikian, ia tak menampik kalau sebagian bahan bakunya juga tetap mengandalkan impor.

“APD semua dalam negeri. Mungkin bahan bakunya ada lokal, ada impor,” ucap Oscar lewat pesan singkat.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Reja Hidayat