Menuju konten utama

Apakah Saat Swasembada Tak Boleh Impor Pangan?

Orde Baru memang masih impor meski swasembada. Tapi swasembada mereka rapuh dan hanya berlangsung dalam tempo singkat.

Apakah Saat Swasembada Tak Boleh Impor Pangan?
Hamparan areal persawahan padi Desa Kebumen terlihat dari Bukit Gumuk Reco, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Minggu (10/2/2019). ANTARA FOTO/Aji Styawan/nz.

tirto.id - Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muhammad Romahurmuziy, membenarkan kebijakan impor beras pemerintahan Joko Widodo. Alasannya: itu memang perlu dilakukan demi mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri sekaligus menstabilkan harga.

Pria yang akrab disapa Rommy ini bukan cuma merasionalisasi kebijakan ini, tapi juga mengaitkannya dengan visi Jokowi untuk mencapai swasembada pangan--yang belum juga tercapai hingga tahun ke-5 pemerintahannya.

Katanya, kebijakan ini tidak akan mengurangi komitmen Jokowi untuk mencapai visi swasembada.

“Sebenarnya yang dimaksud swasembada pangan itu bukan berarti tidak boleh impor,” kata Rommy, seperti dikutip dalam situs ppp.or.id.

“Impor, di mana pun, merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menekan gejolak harga agar tidak berimbas kepada tergerusnya daya beli masyarakat,” katanya.

Impor Jalan Terus Ketika Swasembada

Indonesia pernah swasembada beras ketika dipimpin oleh Suharto, meski sebetulnya rapuh dan hanya fatamorgana. Itu terjadi pada 1984 dan diakui oleh badan PBB Food and Agriculture Organization (FAO).

Ketika itu produksi beras nasional mencapai 27 juta ton, sementara konsumsi di dalam negeri hanya 25 juta ton. Indonesia bahkan bisa menyumbang 100 ribu ton padi untuk korban kelaparan di sejumlah negara di Afrika.

Pada tahun itu Indonesia toh masih impor, jumlahnya 414 ribu ton. Tujuannya agar menjaga stabilitas ketahanan pangan.

Angka impor terus bertambah sejak masuk dekade 1990an. Pada 1995, ketergantungan terhadap impor beras melambung hingga mencapai angka 3 juta ton. Sementara pada 1999, ketika masih masa krisis, impor beras nyaris menembus 5 juta ton.

Merujuk pada fakta sejarah ini, apa yang dikatakan Rommy benar belaka: bahwa impor masih tetap ada meski misalnya sudah swasembada. Tapi tujuannya bukan untuk memenuhi kebutuhan yang kurang seperti alasan-alasan impor saat ini, tapi agar harganya tetap stabil.

Hal serupa diungkapkan Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah. Dia bilang impor masih tetap dapat dibuka saat swasembada dicapai. Dengan catatan: hanya pada komoditas yang tidak dapat diproduksi di Indonesia. Misalnya beras khusus dengan kalori rendah.

“Tapi misal kita sudah bisa produksi beras kualitas biasa tapi masih impor dari negara lain, berarti itu bukan swasembada,” ucap Rusli saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (15/2) siang.

Istilah swasembada sendiri sebetulnya tidak ada dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Di sana hanya ada kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan. Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, mengatakan swasembada lebih dekat ke konsep kedaulatan dan kemandirian pangan.

Sementara swasembada lebih merujuk ke surplus produksi, ketahanan pangan lebih kepada tersedianya pangan dengan harga terjangkau, terlepas dari mana sumbernya, tak peduli apa itu diproduksi di dalam negeri atau didatangkan dari luar.

“Ketahanan pangan mengacu ke terpenuhinya kebutuhan pangan sampai level individu. Dia tidak bicara terpenuhinya dari impor atau produksi. Singapura tidak punya lahan padi, tetapi ketahanan pangannya tinggi,” kata Khudori.

Bila mengacu pada penjelasan Rommy, maka kebijakan impor lebih cocok disebut untuk mengejar ketahanan pangan, bukan swasembada atau kemandirian pangan.

Infografik CI Sawah Di indonesia

Infografik CI Sawah Di indonesia

Namun ketahanan pangan saja tidak cukup. Pantjar Simatupang dan I Wayan Rusastra dalam Kebijakan Pembangunan Agribisnis Padi (2004) menyebut ketahanan pangan yang diartikan semata sebagai stabilitas harga saja itu rapuh. Buktinya, swasembada Orde Baru yang dibanggakan itu, hanya bertahan lima tahun.

Maka perlu ada upaya untuk benar-benar memenuhi kebutuhan pangan dari dalam negeri. Dan prasyarat untuk itu, seperti yang pernah dikatakan dosen dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso, adalah ketersediaan lahan.

"Faktornya sudah barang tentu adalah lahan," kata Dwi, awal Januari lalu.

Masalahnya, yang terjadi sekarang adalah lahan pertanian terus menyusut. Pada Oktober 2018, BPS mencatat luas sawah tinggal 7,1 juta hektare, menyusut 0,65 juta hektare dibanding 2017. Sementara dalam empat tahun (hingga awal November), pemerintahan Jokowi hanya mampu mencetak sawah seluas 215.811 hektare.

Kenapa lahan pertanian menyusut? Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengaku itu terjadi salah satunya karena masifnya proyek infrastruktur yang justru dilakukan pemerintah.

Baca juga artikel terkait SWASEMBADA PANGAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino