Menuju konten utama

Apakah Puan Maharani Sanggup Mempercepat Pengesahan RUU PKS?

Kedudukan Puan Maharani di kursi pimpinan DPR diharapkan bisa mempercepat pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Apakah Puan Maharani Sanggup Mempercepat Pengesahan RUU PKS?
Ketua DPR periode 2019-2024 Puan Maharani (kanan) mengacungkan palu disaksikan Wakil Ketua M Aziz Syamsuddin, Sufmi Dasco Ahmad, Rahmad Gobel, dan Muhaimin Iskandar usai pelantikan dalam Rapat Paripurna ke-2 Masa Persidangan I Tahun 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2019). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/ama.

tirto.id - Terpilihnya Puan Maharani sebagai Ketua DPR periode 2019-2024 disambut sukacita oleh Koordinator Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan (JKP3) Ratna Batara Munti. Ia optimistis Puan bisa mempercepat lahirnya banyak kebijakan pro perempuan, termasuk Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Puan Maharani adalah Ketua DPR perempuan pertama sepanjang sejarah Indonesia.

"Saya berharap DPR yang baru, yang pimpinannya seorang perempuan, bisa mendorong kembali RUU PKS," kata Ratna saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (3/10/2019).

"Kami berharap DPR saat ini lebih punya komitmen politik dan mudah-mudahan ada angin segar dari Ibu Puan," tambanya.

RUU PKS masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2016 bersama sembilan RUU lain. Rieke Diah Pitaloka, saat itu menjabat anggota badan legislasi, mengatakan RUU ini penting untuk menjawab kasus kekerasan yang kian mengkhawatirkan.

"Dibutuhkan suatu UU yang dapat mendefinisikan kekerasan seksual lebih luas, penanganan yang lebih komprehensif baik bagi korban maupun pelaku, termasuk bagi keluarga," kata politikus PDI-P ini, sebagaimana dikutip dari Kompas.

Tapi peraturan ini tak juga rampung meski didesak untuk segera disahkan jadi Undang-Undang. Masyarakat sipil bahkan perlu demo berkali-kali menuntut itu, tapi tak juga terealisasi bahkan ketika masa kerja DPR RI periode 2014-2019 selesai.

Ketua Panitia Kerja RUU PKS Marwan Dasopang mengatakan salah satu yang sulit diformulasikan adalah menemukan titik temu yang terkait dengan agama. "Pusing saya mbak," aku Marwan kepada reporter Tirto, Senin (16/9/2019) lalu.

Sebagian pihak, misalnya Maimon Herawati, menganggap RUU PKS adalah RUU pro zina. Meski begitu dia menolak keras jika dianggap tidak mendukung perlindungan terhadap perempuan.

Anggapan ini semakin kentara saat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin meminta Presiden Joko Widodo menunda pembahasan RUU PKS lewat sepucuk surat. Ma'ruf--yang juga wakil presiden untuk periode 2019-2024--mengatakan aturan ini perlu dibahas lebih panjang agar lebih banyak mempertimbangkan ajaran agama Islam dan agama lain yang diakui di Indonesia.

Padahal fokus di RUU PKS adalah pada korban. Dalam rancangan aturan itu, jelas terdapat definisi kekerasan seksual, yakni: bila ada pemaksaan, intimidasi, dan kekerasan.

Tidak memasukkan ihwal prostitusi, kata Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Mariana Amiruddin, bukan berarti RUU PKS mendukung perzinaan.

Mariana mengatakan, agar harapan Ratna terkabul, maka yang perlu dilakukan adalah DPR tidak boleh lagi "menunda-nunda pembahasan." Kepada reporter Tirto, Kamis (3/10/2019), dia juga mengatakan agar peraturan ini disahkan, "[anggota] DPR perlu punya pemahaman yang kuat soal perspektif gender."

Politikus Perempuan Tak Menjamin Kebijakan Pro-Perempuan

Jika Ratna optimistis dengan keberadaan Puan, Mariana sebaliknya. Menurutnya, eksistensi perempuan di posisi strategis tak sepenuhnya mampu mendorong kebijakan yang memiliki perspektif gender.

"Pengalaman kami selama ini, banyak juga perempuan yang justru menentang gagasan kebijakan yang melindungi perempuan dalam arti kekerasan seksual. Dan itu banyak terjadi," katanya.

Pernyataan Mariana sejalan dengan Andi Misbahul Pratiwi. Dalam esai berjudul Kebijakan, Pratik dan Politik Keterwakilan Perempuan dalam Partai Politik: Studi Kasus Caleg Perempuan DPRD Kabupaten/Kota Periode 2014-2019 (PDF) yang dipublikasikan dalam Jurnal Perempuan, Pratiwi bilang keterlibatan perempuan di dunia politik tidak terlepas dari politik dinasti dan politik uang.

Ini mengakibatkan dua hal: pertama, perempuan yang berpolitik didominasi kalangan elite, pengusaha, dan pesohor; kedua, kesadaran mereka memperjuangkan agenda politik perempuan juga rendah.

Pratiwi juga mengatakan banyak partai yang tidak memberikan pendidikan politik yang memadai bagi perempuan. Perempuan hanya direkrut sekadar untuk memenuhi syarat kuota 30 persen.

Pengacara Publik LBH Masyarakat Naila Rizqi Zakiyah juga pesimistis.

"Puan jadi pimpinan DPR tidak lantas membuat produk hukum DPR jadi berperspektif gender," kata Naila kepada reporter Tirto, Kamis (3/10/2019).

"Apalagi, kalau melihat rekam jejak Puan selama menjadi menteri, kita perlu cek kembali, apakah dia pernah menyuarakan isu kekerasan seksual dan lebih jauh tentang pengesahan RUU PKS? Apakah dia punya keberpihakan pada korban?" tanyanya, retoris.

Sependek penelusuran di Google, Puan memang tak pernah memberikan pernyataan apa pun terkait itu.

Lantas, apa kata Puan? Dia memang tidak bicara spesifik soal RUU PKS. Namun anak Megawati Soekarnoputri dan cucu Sukarno ini berjanji dalam lima tahun ke depan, DPR tidak akan banyak membuat UU dan akan memprioritaskan RUU yang tertunda.

"Ada delapan UU yang ditunda. Tentu saja itu akan jadi prioritas prolegnas ke depan," katanya di DPR, Selasa (1/10/2019).

Baca juga artikel terkait RUU PKS atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika