Menuju konten utama

Apakah MRT Jakarta Bakal Bernasib Seperti Bangkok dan Kuala Lumpur?

MRT Jakarta akan dihadapkan dengan jumlah penumpang yang bisa meleset dari target, seperti yang terjadi pada MRT Bangkok dan Kuala Lumpur.

Apakah MRT Jakarta Bakal Bernasib Seperti Bangkok dan Kuala Lumpur?
Gerbong MRT saat tiba di stasiun Lebak Bulus, Jakarta, Senin (25/2/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pada pekan kedua Maret 2019, warga DKI Jakarta dan sekitarnya sedang euforia naik MRT. Proyek MRT Jakarta kini sudah masuk dalam tahap uji coba, dan warga sudah boleh mencoba sebelum beroperasi komersial. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan bakal meresmikan MRT pada 24 Maret 2019.

Warga pun berbondong-bondong menjajal MRT. Mereka juga menceritakan pengalamannya naik MRT melalui media sosial, termasuk mengunggah foto dan video. @kerta_jwardhana misalnya, mengaku suasana MRT di Jakarta seperti sedang di Jepang.

Warganet lainnya, @zaldiwahyu mengaku menggunakan MRT cukup menyenangkan. Selain itu, pelayanan juga baik, nyaman dan aman. Sementara itu, @Nadyassegaf mengaku bangga dengan Jakarta karena sudah punya MRT seperti negara-negara lain.

Selain masyarakat umum, pejabat pemerintah seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani juga tidak ketinggalan mencicipi uji coba MRT Jakarta. Gubernur Anies Baswedan hingga Presiden Jokowi termasuk yang sering memantau kesiapan operasi proyek ini. Pendanaan proyek ini memang patungan antara pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta, melalui skema pinjaman dari Jepang.

Apa yang terjadi di Jakarta, kurang lebih sama ketika MRT mulai beroperasi di Kuala Lumpur pada 16 Desember 2016 silam. Orang-orang antusias mencoba MRT. Apalagi, untuk satu bulan pertama, operator MRT tidak memungut biaya kepada penumpang alias gratis.

Nuri Ismazatul Rahim, pelajar 13 tahun, mengaku senang dengan pelayanan MRT. Selain tepat waktu, MRT juga nyaman. “Saya pasti akan sering naik ini [MRT] bersama keluarga atau teman,” katanya dikutip dari The Rakyat Post.

Adam Othman, 32 tahun, mengatakan kehadiran MRT dapat mengurangi biaya transportasi sehari-hari menuju tempat kerja. Pasalnya, setelah hitung-hitungan, perjalanan via MRT lebih murah ketimbang menggunakan mobil pribadi.

“Rata-rata saya menghabiskan 35 ringgit untuk bensin, tol dan parkir. Namun kini, dengan MRT, rata-rata bakal menghabiskan sekitar 10 ringgit setiap harinya.

Namun, seiring berjalannya waktu, ada harga yang harus dibayar pemerintah Malaysia, di antaranya terkait pengembalian investasi yang tidak jelas, dan jumlah penumpang yang diangkut meleset dari target.

Apakah kondisi ini akan terjadi juga pada MRT Jakarta?

Infografik MRT Jakarta vs MRT Negara Tetangga

Infografik MRT Jakarta vs MRT Negara Tetangga. tirto.id/Sabit

MRT Sulit Balik Modal dari Tiket

Sebelum mengerjakan proyek, umumnya inisiator membuat studi kelayakan untuk mengukur layak tidaknya proyek itu dibangun. Ada banyak aspek yang diukur dalam studi kelayakan, salah satunya yang paling penting adalah aspek finansial.

Aspek finansial dilakukan untuk melihat sejauh mana investasi yang dibenamkan bisa balik modal, dan menghasilkan keuntungan. Studi ini juga dilakukan terhadap proyek MRT Jakarta misalnya, investasinya mencapai Rp16 triliun untuk rute Lebak Bulus-Bundaran HI.

Apakah proyek MRT ini bisa balik modal dan menguntungkan? Tentu saja peluang balik modal itu ada, meski mungkin setelah puluhan tahun. Namun, jika hanya mengandalkan pendapatan tiket saja, potensi cepat balik modal bakal sulit.

“Nilai Rp16 triliun tentu tidak akan berbalik jika hanya mengandalkan dari pendapatan tiket. Tapi, [kehadiran MRT Jakarta] bisa menimbulkan efek berlipat lainnya ke perekonomian,” kata Sri Mulyani dikutip dari Antara.

Tiket MRT Jakarta rencananya dipatok di kisaran Rp8.500-Rp10.000. Tarif tersebut jauh lebih rendah dari tarif ideal. Untuk menutup biaya operasional saja, menurut Direktur Utama PT MRT Jakarta William Sabandar, tarif MRT Jakarta idealnya dipatok Rp30.000 per orang sekali jalan.

Konsekuensinya, Pemprov DKI Jakarta sebagai pemegang saham mayoritas MRT Jakarta, harus memberikan subsidi untuk memangkas harga tiket. Nilainya pun tidak kecil. Kepala Biro Perekonomian DKI Jakarta Sri Widiyati pernah bilang bila tarif MRT dipatok Rp8.500, maka alokasi subsidi mencapai sekitar Rp365 miliar per tahun. Apabila tarifnya Rp10.000, maka alokasi subsidinya sebesar Rp338 miliar.

Operator memang harus pintar-pintar mencari tambahan dari pemasukan non-tiket. Pendapatan MRT dari non-tiket itu di antaranya seperti menyediakan tempat untuk beriklan, baik di dalam kereta, stasiun atau tempat lainnya.

Namun, di luar peluang dari pendapatan non-tiket, mari berhitung, target jumlah penumpang MRT Jakarta mencapai 130.000 orang per hari. Jika tarif dipatok Rp10.000 dan ditambah subsidi Rp21.659, maka pendapatan operator mencapai Rp4,1 miliar per hari. Setahun, pendapatan mencapai Rp1,49 triliun per tahun.

Misalnya margin 10 persen karena operator disubsidi (sesuai dengan Permenhub No. 17/2018 Tentang Pedoman Tata Cara Perhitungan Dan Penetapan Tarif Angkutan Orang), maka laba yang diraup Rp149,6 miliar per tahun. Jika investasi MRT sebesar Rp16 triliun, maka waktu balik modal butuh 107 tahun.

Bagaimana dengan MRT di Thailand dan Malaysia?

Tarif MRT di Thailand terbilang lebih murah ketimbang di Jakarta. Untuk MRT Blue Line (Bangkok) misalnya, tarif dipatok 10-15 baht (Rp4.500-Rp6.700), sebelum naik menjadi 15-40 baht (Rp6.000-Rp18.000).

Namun, MRT yang dibangun pemerintah Thailand, dan dioperasikan perusahaan swasta Bangkok Expressway and Metro Public Company Limited ini memiliki biaya investasi yang lebih besar ketimbang di Jakarta, yakni 121 miliar baht (Rp54 triliun).

Sedangkan tarif MRT di Kuala Lumpur, Malaysia untuk tarif MRT Sungai Buloh–Kajang lebih murah. MRT yang dikelola Rapid Rail Sdn Bhd—milik pemerintah Malaysia—mematok tarif 1,2-3,9 ringgit (Rp4.000-Rp13.600) jika dibayar dengan uang tunai, atau 1,2-3,4 ringgit (Rp4.000-Rp12.000) apabila membayar secara non-tunai.

Seperti MRT di Thailand, biaya investasi MRT Sungai Buloh-Kajang juga lebih mahal, yakni 21 miliar ringgit (Rp71 triliun) karena secara jarak mencapai lima kali lipat dari MRT Jakarta.

Baik MRT Blue Line maupun MRT Sungai Buloh–Kajang sama-sama dibiayai penuh oleh pemerintah. Sayangnya, informasi soal kapan balik modal tidak ditemukan. Namun jika melihat harga tiket dan nilai investasi MRT di Thailand dan Malaysia itu, perhitungan balik modal mereka lebih lama ketimbang MRT Jakarta, bila hanya mengandalkan tiket saja.

Realisasi pengguna MRT, di Bangkok dan Kuala Lumpur juga meleset dari perkiraan. Operator MRT Blue Line memproyeksikan jumlah pengguna MRT bisa menembus 430.000 penumpang per hari. Namun realisasinya baru sampai 293.000 penumpang per hari setelah beroperasi belasan tahun. Begitu juga dengan MRT Sungai Buloh–Kajang, jumlah penumpangnya baru sekitar 140.000 penumpang per hari setelah operasi dua tahun, dari target 250.000 penumpang per hari.

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Bidang Perkeretaapian DKI Jakarta Aditya Dwilaksana mengatakan profit bukan menjadi tujuan utama ketika membangun MRT. Ini juga berlaku di seluruh dunia. Tujuan yang dikejar dari MRT adalah memberikan manfaat bagi warga, seperti menyediakan moda transportasi yang cepat, nyaman dan terjangkau; mengurangi konsumsi energi; sampai dengan untuk mengurai kemacetan di jalan raya.

“Tapi bukan hal mustahil juga balik modal itu didapat. Asalkan tidak berharap dari tiket saja. Pendapatan tiket itu biasanya hanya 30 persen dari total pendapatan operator MRT. Sisanya, justru dari non-tiket,” kata Aditya kepada Tirto.

Baca juga artikel terkait PROYEK MRT atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra