Menuju konten utama

Apakah Indonesia Sudah Naik Kelas Jadi Negara Menengah Atas?

Indonesia belum keluar dari "kelas medioker" dalam hal pendapatan nasional per kapita.

Karyawan menghitung mata uang rupiah di gerai penukaran mata uang asing Ayu Masagung, Kwitang, Jakarta Pusat, Senin (28/1/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan./aww.

tirto.id - Saat berpidato di acara Rembuk Nasional Pendidikan Kebudayaan 2019, medio Februari lalu, di Depok, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat berujar soal targetnya ingin menjadikan Indonesia sebagai negara maju atau pendapatan tinggi.

"...untuk keluar dari jebakan negara dengan pendapatan menengah, infrastruktur kita harus baik dan juga SDM-nya. Dua ini yang menjadi prasyarat agar kita tidak terjebak menjadi negara berpendapatan menengah dan tidak melangkah menjadi negara maju...," kata Jokowi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produk domestik bruto (PDB) per kapita per tahun Indonesia pada 2018 mencapai Rp56 juta atau $3.927. Pada posisi ini, apakah Indonesia sudah masuk kategori negara berpenghasilan menengah atas, atau hanya satu level di bawah negara maju?

Bank Dunia mengklasifikasi negara-negara di dunia menjadi empat kelompok kelas ekonomi berdasarkan pendapatan. Pertama, negara dengan penghasilan tinggi atau negara maju. Kedua, negara berpendapatan menengah ke atas. Ketiga, negara berpenghasilan menengah bawah. Keempat, negara berpendapatan rendah.

Klasifikasi yang dilakukan Bank Dunia ini bukan didasarkan pada PDB atau Gross Domestic Product (GDP), melainkan pada Gross National Income (GNI) atau pendapatan nasional kotor/ bruto.

GDP atau PDB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha di suatu negara tertentu dalam periode tertentu. Bisa juga diartikan sebagai jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi.

Dalam hitungan GDP ini, termasuk juga menjumlahkan barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh perusahaan maupun instansi asing terkait, yang berada di wilayah domestik suatu negara. Misalnya saja perusahaan asal Jepang yang memiliki kantor cabang di Indonesia, maka barang dan atau jasa yang dihasilkan akan dianggap atau termasuk dalam GDP Indonesia. Rumus GDP adalah pendapatan masyarakat dalam negeri ditambah dengan pendapatan asing yang berada di dalam negeri yang bersangkutan.

Sedangkan GNI yang nama lainnya adalah Gross National Product (GNP) atau adalah PDB/GDP ditambah pendapatan yang dibayarkan ke negara oleh negara lain untuk hal-hal seperti bunga dan pembagian keuntungan atau dividen. Hitungannya adalah total nilai pasar semua barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk dalam negeri.

GNI ini mencakup pendapatan dalam negeri dari barang dan jasa yang diproduksi dan dijual ke luar negeri dan investasi luar negeri. Meski begitu, GNI mengecualikan penghasilan warga asing yang ada di suatu negara.

Rumusnya adalah pendapatan WNI dalam negeri ditambah dengan pendapatan WNI luar negeri, kemudian dikurangi dengan pendapatan asing dalam negeri. GNI suatu negara akan berbeda secara signifikan dari PDB/GDP jika negara tersebut memiliki penerimaan atau pengeluaran pendapatan yang besar dari luar negeri.

Cakupannya pendapatan tersebut meliputi laba usaha, kompensasi karyawan, pendapatan properti, pembagian hasil keuntungan atau dividen dan juga pajak. Jadi, di negara yang banyak bisnis asing beroperasi, maka nilai GNI jauh lebih kecil dari PDB/GDP.

Ini karena, keuntungan bisnis asing yang dipulangkan ke negara asal menjadi pengurang dalam menghitung GNI. Oleh karena itu, GNI adalah ukuran kesejahteraan ekonomi yang lebih baik daripada PDB/GDP untuk negara-negara yang memiliki piutang atau pengeluaran asing yang besar.

Negara seperti Indonesia yang nilai pendapatan atau penghasilan warga asing terbilang besar, tentu mendongkrak hitungan PDB/GDP Indonesia. Tapi jika menghitung GNI, maka Indonesia belum termasuk dalam kategori negara berpenghasilan menengah atas.

Pada 2017, berdasarkan hitungan Bank Dunia terhadap GNI Indonesia masih sebesar $3.540. Ini artinya, sampai dengan tahun 2017, Indonesia masih dalam kategori negara dengan penghasilan menengah bawah karena masih jauh di bawah batas maksimum $3.895 per kapita.

Infografik Klasifikasi Pendapatan Negara

Infografik Klasifikasi Pendapatan Negara

World Bank memang belum merilis GNI Indonesia untuk tahun 2018. Menurut Bhima Yudhistira Adinegara, kalaupun pertumbuhan GNI Indonesia setara dengan pertumbuhan PDB/GDP Indonesia yang sebesar 5,17 persen sepanjang 2018 kemarin, maka GNI Indonesia per 2018 diperkirakan mencapai $3.723 per kapita.

“Artinya dalam klasifikasi Bank Dunia, posisi Indonesia tetap berada di middle low income economies atau negara berpenghasilan menengah bawah. Untuk jadi upper middle income masih dibutuhkan GNI per kapita senilai $3.895,” jelas ekonom dari INDEF ini kepada Tirto.

Sementara itu, Bank Dunia melalui perwakilannya di Indonesia tidak memberikan jawaban, berapa besaran GNI Indonesia untuk 2018. Senior Economist World Bank Indonesia, Ibnu Edy Wiyono menjawab pertanyaan dengan merujuk publikasi BPS mengenai PDB/GDP dan GNI.

Dalam publikasi tentang data Pendapatan Nasional Indonesia 2013-2017 yang dipublikasi BPS, disebutkan bahwa PDB per kapita Indonesia pada 2017 mengalami kenaikan sebesar 8,19 persen dibanding 2016 menjadi Rp51,89 juta. Sedangkan GNI per kapita tumbuh 8,24 persen menjadi Rp50,25 juta dibanding 2016 yang sebesar Rp46,42 juta.

Sepanjang era pemerintahan Presiden Jokowi, GNI Indonesia berada dalam tren melandai. Pada 2014 posisi GNI per kapita Indonesia mencapai $3.620, maka pada 2015 dan 2016, GNI Indonesia masing-masing sebesar $3.430 dan $3.410.

Padahal di saat yang bersamaan, PDB/GDP per kapita Indonesia mengalami kenaikan. Pada 2016 misalnya, PDB/GDP per kapita Indonesia menembus angka $3.570 dan pada 2017 menjadi $3.846. GNI Indonesia per 2017 memang menjadi satu-satunya kenaikan setelah periode 2015-2016 mengalami penurunan.

Data BPS juga menyebut, persentase pertumbuhan GNI Indonesia per kapita pada 2017 mengalami perbaikan. Di mana, sempat mengalami penurunan pada 2015 dan 2016 yang masing-masing hanya tumbuh sebesar 6,24 persen dan 7,68 persen. Padahal di 2014, GNI per kapita Indonesia sempat tumbuh 8,84 persen.

BPS dalam laporan tersebut menuliskan bahwa pertumbuhan PDB/GDP maupun GNI tidak bisa dijadikan sebagai ukuran peningkatan kemakmuran ekonomi maupun penyebaran yang merata untuk pendapatan di setiap strata ekonomi. “Ini karena pengaruh inflasi sangat dominan dalam pembentukan PDB/GDP, GNI maupun Pendapatan Nasional,” tulis BPS dalam laporan tersebut.

Senada, Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adinegara juga mengungkapkan bahwa peningkatan PDB/GDP maupun GNI per kapita memang dapat mencerminkan peningkatan daya beli masyarakat Indonesia. Dengan begitu, Indonesia menjadi pasar yang menarik bagi investor global.

“Meski demikian, dampaknya terhadap kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, belum tentu berpengaruh,” jelas Bhima.

Sebab, jika diakumulasi, maka pendapatan masih didominasi oleh masyarakat kelas ekonomi menegah atas. Dengan begitu, jurang ketimpangan ekonomi di Indonesia masih tetap lebar.

Bhima menambahkan, ukuran atau tingkat GNI per kapita suatu negara bisa menjadi salah satu pertimbangan positif untuk mengukur peringkat kredit surat utang pemerintah maupun surat utang swasta di Indonesia. Peringkat kredit Indonesia selama pemerintahan Jokowi memang mengalami perbaikan. Periode 2015 misalnya, lembaga rating internasional S&P menyematkan rating BB+ dengan outlook positif. Penilaian dari lembaga pemeringkat Fitch yang memberikan outlook positif dengan rating BBB- untuk periode 2016.

Status pendapatan suatu negara memang penting untuk beberapa hal termasuk soal peringkat utang, tapi justru yang terpenting adalah pemerataan. Sebab, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio--semakin mendekati angka 1 maka semakin senjang atau timpang--masih terjadi, dengan status ketimpangan sedang, terefleksi dari Gini Ratio September 2018 yang sebesar 0,384.

Baca juga artikel terkait EKONOMI INDONESIA atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Suhendra