Menuju konten utama

Apa yang Harus Dilakukan terhadap Pendukung ISIS yang Ingin Pulang?

Urusan kepulangan (keluarga) pendukung ISIS ini layak diperdebatkan oleh kedua calon presiden pada debat 30 Maret.

Apa yang Harus Dilakukan terhadap Pendukung ISIS yang Ingin Pulang?
Avatar Made Supriatna. tirto.id/Sabit

tirto.id - Dalam debat ketiga, 30 Maret 2019 malam, Presiden Joko Widodo dan lawannya Prabowo Subianto akan adu gagasan dalam bidang ideologi, politik luar negeri, pemerintahan, serta pertahanan dan keamanan.

Memang sudah ada tim yang sudah dipersiapkan untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan yang akan diperdebatkan. Sekalipun demikian, ada perkembangan di luar negeri yang kira-kira akan memiliki dampak untuk Indonesia di masa depan yang terkait secara ideologi, keamanan, maupun pemerintahan.

Mungkin Anda sudah mendengar bahwa teritori pertahanan ISIS terakhir di Suriah bagian utara, Baghouz, telah jatuh ke tangan koalisi Pasukan Demokratik Suriah (SDF) dan milisi Kurdi. Kejatuhan ini membawa gelombang pengungsi.

Tirto melaporkan langsung dari garis depan di Suriah bahwa puluhan bahkan mungkin ratusan perempuan dan anak-anak yang bisa berbahasa Indonesia minta bantuan untuk dipulangkan.

Persoalannya, apakah mereka boleh pulang? Bagaimana dengan status kewarganegaraan mereka? Bagaimana dengan status kewarganegaraan anak-anak mereka? Dengan kata lain, apa yang harus dilakukan terhadap mereka?

Pertanyaan seruwet ini seharusnya ditanyakan secara langsung kepada setiap calon presiden. Di balik keruwetan ini, akan terlihat substansi pemikiran dari masing-masing capres.

Dari sini, akan terlihat bagaimana mereka memahami kewarganegaraan, bagaimana memberikan rasa aman kepada bangsa, dan bagaimana mereka memandang ideologi bangsa dilawankan ideologi, terutama ideologi yang dianut oleh bekas pendukung ISIS.

Para capres yang berdebat malam nanti adalah pembuat kebijakan. Sebagai pembuat kebijakan, mereka akan berhadapan dengan dilema-dilema. Kadang kebijakan yang diambil salah. Sebagai akibatnya, pengambil kebijakan akan terjungkal dari kursi kekuasaannya.

Untuk melihat betapa rumitnya masalah ini, saya kira, ada baiknya kita juga berusaha menyelaminya. Di sinilah unsur-unsur hak sebagai warga negara, kewajiban bernegara, hak-hak asasi, dan moral kemanusiaan berpilin satu sama lain sehingga sulit sekali untuk mengurainya.

Masalah Kewarganegaraan

Tentu masalah yang paling mendasar adalah apakah mereka masih warga negara Indonesia? Jikapun mereka ternyata masih warga negara Indonesia (mungkin masih memegang paspor atau KTP sebagai tanda bukti), apakah mereka melanggar kedudukan mereka sebagai warga negara. Misalnya, apakah mereka berperang untuk negara lain atau mewakili bagian dari satu negara, seperti disyaratkan UU No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan?

Masalah kewarganegaraan ini menjadi sangat penting di dunia internasional. Masyarakat internasional memandang bahwa idealnya setiap orang menjadi warga dari satu negara. Orang-orang yang tidak memiliki warga negara (stateless) hanya akan membawa kerumitan hubungan antar-bangsa.

Setiap negara memiliki kedaulatan. Dengan kedaulatan itu, negara mengontrol wilayah dan penduduk (manusia). Dengan kontrol lahirlah tatanan. Orang yang tidak memiliki kewarganegaraan (stateless) adalah orang yang tidak tunduk pada satu tatanan tertentu. Ini akan menambah kekacauan (lawlessness) dari tata dunia internasional. Itulah sebabnya banyak negara sedang mencari jalan keluar bagaimana menangani masalah ini. Tidak saja berkaitan dengan mereka yang bergabung dengan ISIS namun juga masalah statelessness pada umumnya.

Berkaitan dengan ISIS, negara Barat pada umumnya enggan merepatriasi mereka. Amerika Serikat, misalnya, mempertanyakan kewarganegaraan Hoda Muthana, seorang perempuan dari New Orleans yang bergabung dengan ISIS. Administrasi pemerintahan Trump menolak Muthana kembali ke AS sekalipun dia lahir di AS dan secara hukum sebenarnya adalah warga negara.

Pemerintah Inggris bahkan bertindak lebih drastis. Mereka mencabut kewarganegaraan Shamima Begum, seorang keturunan Bangladesh yang bergabung dengan ISIS. Begum, yang memiliki seorang bayi yang kemudian meninggal di pengungsian, ditiadakan hak-haknya sebagai warga negara.

Sementara Amerika menolak untuk mengambil warganya yang terlibat di dalam ISIS, Presiden Trump malah meminta agar negara-negara Eropa mengambil warganya yang terlibat ISIS yang terjebak di Suriah. Menurut Trump, sebaiknya pendukung ISIS ini diterima terang-terangan ketimbang menyusup dan tidak terdeteksi.

Banyak juga yang berpendapat bahwa negara-negara yang warganya berpartisipasi dalam kekhalifahan ISIS harus bertanggungjawab atas kelakuan warganya. Negara-negara tersebut harus mengambil mereka di kamp-kamp pengungsian dan memproses mereka seturut hukum yang ada di negara mereka.

Problem Kemanusiaan: Bagaimana dengan Anak-anak?

Negara-negara yang menolak warganya yang bergabung dengan ISIS juga berhadapan dengan problem kemanusiaan. Apakah negara asal bertanggungjawab atas anak-anak yang lahir di tanah kekhalifahan ISIS?

Amerika Serikat dengan mudah menunjukkan bahwa anak-anak ini tidak terikat dengan kewarganegaraan Amerika karena negara ini menganut prinsip Jus Soli, yakni kewarganegaraan terkait dengan tanah kelahiran.

Namun, banyak negara menganut prinsip Jus Sanguinis, yakni bahwa kewarganegaraan ditentukan oleh hubungan darah dengan orang tua, Jika orangtua adalah warga negara satu negara maka keturunannya otomatis akan menjadi warga negara yang bersangkutan.

Indonesia bahkan menganut prinsip ini secara longgar. Cukup salah satu dari orangtua berkewarganegaraan Indonesia maka anaknya adalah WNI. Indonesia juga mengakui asas tanah kelahiran. Siapapun yang lahir di tanah Indonesia berhak atas kewarganegaraan Indonesia.

Soalnya menjadi sangat rumit karena berkelindan dengan soal kemanusiaan. Anak-anak yang lahir dari ISIS tidak harus dikaitkan dengan tindakan orangtuanya. Bukankah anak-anak ini adalah tanggungjawab negara asal dari para pejuang ISIS ini?

Sejauh ini, di antara negara-negara Eropa baru Perancis yang mau menerima anak-anak yang lahir di kekhalifahan ISIS ini. Itu pun Perancis hanya mau mengambil mereka yang berumur di bawah lima tahun dan sudah yatim piatu.

Masalah Politik dan Keamanan

Kebanyakan negara yang menolak kembalinya pejuang ISIS karena faktor keamanan dan politik dalam negeri. Keamanan menjadi kekuatiran utama. ISIS adalah sebuah ideologi. Jika ISIS bisa di Suriah bisa mempenetrasi komunitas di satu negara untuk mengajak anggota-anggota komunitas ini bergabung, bagaimana jika pendukung ISIS ada di halaman sendiri?

Kekuatiran akan penyebaran ajaran ISIS membuat banyak negara menolak menerima pendukung ISIS kembali. Mereka percaya bahwa penganut aliran ini tidak mudah ditundukkan. Mereka akan mencari cara bagaimana menyebarkan ajarannya seluas-luasnya.

Yang lebih penting dari itu adalah soal politik. Di Eropa dan Amerika, penolakan repatriasi ISIS bersamaan waktunya dengan datangnya gelombang anti-imigran, khususnya anti-imigran Muslim. Di Eropa, partai-partai kanan mendapat kenaikan suara cukup signifikan. Di Amerika Serikat, naiknya Trump sebagian adalah karena retoriknya yang anti-Muslim.

Bahkan, di negara-negara Eropa yang pemerintahnya tidak Kanan dan tidak anti-Muslim, mereka harus berhati-hati dalam bersikap terhadap pendukung ISIS ini.

Menerima mereka kembali sama dengan melakukan bunuh diri politik. Yang banyak dilakukan sekarang ini adalah bersikap menunggu dan masa bodoh terhadap apa yang terjadi pada para pendukung ISIS yang terlunta-lunta di Suriah. Masih banyak persoalan dalam negeri yang perlu diselesaikan, begitu biasanya argumen para politisi non-Kanan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Sejauh ini tampaknya pemerintah Indonesia membuka pintu untuk pendukung ISIS yang mau kembali. Indonesia tampaknya tidak terlalu mempermasalahkan kewarganegaraan. Peraturan kewarganegaraan Indonesia tampaknya agak longgar sehingga para pendukung ISIS ini bisa dengan mudah direpatriasi ke Indonesia.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Armanatha Nasir mengatakan bahwa hal pertama akan dilakukan oleh pemerintah adalah memverifikasi kewarganegaraan mereka.

“Itu [proses klarifikasi], kan, proses yang panjang sebelum kami bisa membuat keputusan. Pasti ada proses verifikasi siapa kah mereka, apakah mereka dan mereka. Kami, kan, tidak tahu apakah masih punya paspor apa masih WNI, kami atau tidak dan sebagainya. Itu perlu diklarifikasi semua,” kata Nasir. Pihak kepolisian pun berjanji akan memonitor keberadaan eks-pendukung ISIS ini.

Beberapa pihak menyarankan agar mereka yang pulang dari Suriah disertakan dalam program deradikalisasi. Itulah yang dilakukan BNPT untuk 17 keluarga pendukung ISIS yang pulang dari Suriah tahun 2017.

Selain itu, ada pula yang menganjurkan agar ada proses hukum terhadap para pendukung ISIS ini. Namun, tampaknya ini sulit untuk dilakukan, karena sulit sekali membuktikan kejahatan apa yang mereka lakukan di Suriah.

Saya sendiri berpendapat bahwa pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab terhadap warganya, di mana pun dia berada. Saya kira ini penting untuk dilakukan tanpa memandang alasan ideologis ataupun politik.

Negara Indonesia pernah berlaku sangat tidak adil terhadap warganya sendiri. Pada 1960-an, ribuan mahasiswa Indonesia belajar di Blok Timur dan negara-negara sosialis lainnya. Pemerintah Soeharto mencabut paspor mereka, yang secara otomatis berarti mencabut kewarganegaraan mereka.

Tidak ada penjelasan mengapa pemerintahan Soeharto melakukan itu. Kuat dugaan karena Orde Baru menganggap mereka Komunis. Padahal, mereka belajar dengan biaya dari negara, atau paling tidak dikirim oleh negara. Para mahasiswa ini, yang sekarang terkenal dengan sebutan ‘eksil’, sengaja dibiarkan menjadi stateless, sampai akhirnya ada negara yang mau mengambil mereka sebagai warga negara.

Para mahasiswa Indonesia yang tidak bisa pulang itu tidak pernah berperang untuk negara asing. Mereka juga tidak memusuhi negaranya sendiri. Banyak dari mereka yang sangat nasionalis, bahkan nasionalis sampai ke akar-akarnya.

Di sisi lain, kita dapat melihat dengan jelas bahwa orang-orang yang menjadi pengungsi ISIS bertempur untuk satu pihak. Mereka adalah bagian dari kombatan. Mereka dengan sadar memihak sebuah perang di luar negara mereka. Sesungguhnya, status itu mendiskualifikasi mereka sebagai warga negara. Jika Anda menjadi kombatan untuk kekuatan asing, Anda secara otomatis menanggalkan status kewarganegaraan Anda.

Jika pendukung ISIS bisa diterima, sekalipun mungkin sudah mengingkari kewarganegaraannya, bagaimana dengan orang-orang yang tidak pernah mengingkari negaranya, tetapi ditolak oleh negara semata-mata karena alasan politik?

Saya kira, jika debat calon presiden bisa menyentuh masalah ini, kita akan bisa melihat substansi dari masing-masing calon. Kita sangat ingin mereka menyampaikan pikiran yang mendalam, beradu argumen, dan menarik kontras satu sama lain.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.