Menuju konten utama

Apa yang Harus Dilakukan Orangtua ketika Anak Menanyakan Tuhan?

Acapkali anak-anak atau remaja memberikan pertanyaan yang sangat tidak terduga dan sulit untuk dijawab. Misalnya pertanyaan tentang Tuhan.

Apa yang Harus Dilakukan Orangtua ketika Anak Menanyakan Tuhan?
Anak punk saat mengaji bersama komunitas tasawuf underground di kolong jembatan depan Stasiun Tebet, Jakarta Selatan. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pembicaraan tentang agama dan Tuhan kerap membingungkan khususnya bagi anak. Orangtua kadang tidak siap menghadapi pertanyaan-pertanyaan sulit dari anak.

Pada awal Maret 2019, seorang pemuda berinisial MF digelandang ke kantor polisi di Sukabumi, Jawa Barat. Alasannya? Ia dituduh menghina Islam melalui sebuah unggahan di akun Facebook miliknya.

Dalam unggahannya, pria bermodel rambut mohawk yang kerap diasosiasikan dengan subkultur Punk itu memang mempertanyakan wujud Tuhan. Namun, ia sesungguhnya tidak menyebutkan agama tertentu, apalagi Islam. “Apa elu yakin. Punya Tuhan kok ga ada wujudnya (setan dong). Apa elu percaya, punya Tuhan kok ga tau bentuknya (gila dong),” tulisnya di akun Facebook miliknya, seperti dilansir Suara.

Tak butuh waktu lama, status tersebut viral dan ramai diperbincangkan. Beberapa ormas Islam di Sukabumi pun melaporkannya ke polisi. Tak hanya itu, mereka juga mencari MF.

Mereka menemukan MF di sekitar kawasan Ciaul, menginterogasinya, dan membawa laki-laki berusia 20 tahun ini ke Mapolres Sukabumi Kota.

Di kantor polisi, MF pun memberikan klarifikasi di hadapan ibunya dan perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Meski membenarkan bahwa akun yang memuat unggahan adalah miliknya, MF merasa tidak membuat unggahan tersebut. Setelah menyatakan permohonan maaf kepada umat Islam dan mendengarkan penjelasan dari Polisi beserta MUI, MF kemudian meminta maaf pada ibunya.

Keduanya pun menangis dan saling meminta maaf. “Maafkan jika status anak saya berdampak pada semuanya, kepada umat Islam, karena keteledoran anak saya menimbulkan kejadian seperti ini,” sebut sang Ibu, masih dari Suara. “Mudah-mudahan MUI membantu agar anak saya lebih baik, saya juga setuju jika anaknya [masuk] pesantren.”

Pertanyaan yang Mengejutkan

Pertanyaan yang diajukan oleh MF sesungguhnya bukan hal yang luar biasa dan persekusi yang dilakukan terhadapnya adalah hal yang berlebihan. Sejumlah orangtua pernah mengalami hal yang sama dengan anak mereka. Salah satunya Cita Febronia Utami.

Kepada Tirto, ia mengaku cukup kaget ketika anaknya tiba-tiba bertanya tentang Tuhan.

Mama, do you believe in God?” tanya anaknya, Yatha, sekitar 1,5 tahun silam ketika keduanya sedang jalan-jalan.

Keluarga kecil Cita saat itu memang tengah tinggal di Denmark. Praktik keagamaan tidak terlalu ditekankan baik di di dalam maupun di luar keluarga. Agama juga tidak diajarkan di sekolah. Natal di Denmark sendiri lebih dihayati sebagai kebiasaan alih-alih acara keagamaan. Kendati demikian, pada waktu masa pre-school di Indonesia, lanjut Cita, sang anak memang pernah diwajibkan untuk “mengucap syukur” tanpa perlu mengasosiasikannya dengan agama tertentu.

“Iya, mama percaya."

“Tuhan mama beda dengan Tuhan papa?"

“Ya, agak beda,” jawab Cita yang kemudian memberikan penjelasan mengenai perbedaan antara konsep Tuhan dalam agama yang ia anut dengan agama suaminya.

Setelah penjelasan itu, Cita bertanya balik ke buah hatinya: “Kamu percaya Tuhan?”

“Iya dong!”

“Tuhan yang mana?”

“Setengah-setengah. Setengah Tuhannya mama, setengah lagi Tuhannya papa,” jawab Yatha diplomatis. Cita pun tertawa mendengarnya.

Cita dan suaminya selalu menyampaikan bahwa kebebasan Yatha untuk belajar dan menentukan agama yang dianut adalah hal prinsipil. Bersikap terbuka adalah pilihan terbaik saat anak mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit.

Bersikap Terbuka kepada Anak

Jurnalis Wendy Thomas Russell juga pernah ditanya hal yang sama oleh anaknya, Maxine. Dalam “How to Talks to Kids About God” yang terbit di Time, Russell mengisahkan bagaimana ia dan suaminya memperkenalkan konsep-konsep Tuhan yang dianut berbagai macam masyarakat saat sang buah hati bertanya.

Russell dan suami berpegang pada prinsip bahwa hal yang paling penting adalah apa yang Maxine lakukan dalam hidup, bukan apa yang ia percayai.

Dalam prosesnya tak hanya Maxine yang belajar mengenai aspek moral dalam beragam ajaran agama dan berpikir kritis. Namun Russell sendiri belajar bahwa “kasih sayang dan pikiran terbuka lebih penting daripada menjadi benar.”

“Saya juga telah belajar bahwa cara terbaik untuk memerangi intoleransi adalah dengan pengetahuan, dan bahwa cara terbaik untuk memerangi indoktrinasi adalah dengan pemikiran kritis,” jelas Russell.

Terlepas dari pendekatan yang dipakai oleh Russell dan suami, hubungan orangtua dan anak memang sesungguhnya memengaruhi persepsi anak tentang Tuhan. Dalam penelitian berjudul “Parent-Child Relationships and Children’s Image of God” (1997), Jane R. Dicke dkk mengutip pernyataan psikiater anak Robert Coles bahwa anak-anak kerap menghubungkan identitas diri (termasuk ras, kelas sosial, gender, pengalaman keluarga serta personal) dengan pemikiran mereka mengenai Tuhan.

Infografik Mereka yang Mempertanyakan Tuhan

Infografik Mereka yang Mempertanyakan Tuhan. tirto.id/Sabit

Menurut Dicke dkk, pernyataan Soles cukup provokatif. Namun, mereka tak sekonyong-konyong menerangkan faktor persis apa yang memengaruhi persepsi anak akan Tuhan. Studi Dicke dkk kemudian menemukan korelasi konsisten antara persepsi anak akan orangtua dengan persepsi anak tentang Tuhan.

Dari hasil tiga studi yang mereka lakukan, tampak bahwa persepsi anak terhadap orangtua secara langsung dan tidak langsung memengaruhi cara pandang anak terhadap konsep Tuhan. Menurut studi ini, sosok Tuhan tampaknya dapat menjadi pengganti sempurna untuk figur orangtua ketika anak beranjak dewasa dan lepas dari orangtua, atau ketika orangtua tidak hadir di rumah.

Baca juga artikel terkait AGAMA atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Windu Jusuf