Menuju konten utama

Apa yang Bisa Dilakukan Sembari Menunggu RUU PKS Disahkan?

Keberaadaan RUU PKS memang sudah amat sangat dibutuhkan, mengingat makin banyaknya kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.

Sejumlah warga yang tergabung dalam Jakarta Feminis melakukan aksi saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (1/9/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.

tirto.id - Seminggu lalu, sebuah kasus bikin geger Indonesia. Seseorang berinisial MS, yang pernah bekerja di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam kurun 2012- 2019, menyebut dirinya adalah korban perundungan dan kekerasan seksual oleh rekan kerja.

Di kantornya, MS mengalami berbagai jenis perundungan: mulai dari dipaksa membelikan makan untuk senior, dimaki, hingga orang tuanya difitnah. Sebagai korban kekerasan seksual, ia ditelanjangi—lantas dipotret—dan penisnya digambari.

MS melapor kepada atasannya dan ia hanya dipindahkan ke ruang kerja lain. Bukannya berhenti, perundungan malah makin menjadi. Pada 2017, MS melapor ke Komnas HAM. Beka Ulung Hapsara, salah seorang komisioner, menyarankan MS agar melapor ke polisi karena ada indikasi perbuatan pidana. MS menuruti saran Beka dan melapor ke Polsek Metro Gambir pada 2019 dan 2020. Di pelaporan pertama, polisi meminta MS menyelesaikan kasusnya lewat jalur internal. Di laporan kedua, polisi cuma meminta nomor terduga pelaku tanpa ada tindak lanjut apa-apa.

Menghadapi kenyataan demikian, MS merasa tidak punya harapan.

“Kepada siapa lagi saya mengadu? Martabat saya sebagai lelaki dan suami sudah hancur,” ujar MS.

Ketika kasusnya ramai dibicarakan publik, alih-alih merasa bersalah, para tersangka malah berencana menuntut balik MS lewat Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena dianggap mencemarkan nama baik.

Kasus ini membuka mata banyak orang bahwa hingga saat ini Indonesia tidak punya Undang-Undang atau payung hukum yang bisa melindungi para korban kekerasan seksual. Dengan kata lain, ramainya kasus MS menjadi pengingat bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) belum juga disahkan.

Memperhatikan situasi saat ini, Komnas Perempuan mendorong DPR RI agar melakukan penyempurnaan sejumlah ketentuan dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual—nama baru RUU PKS—dengan mempertimbangkan daya kemanfaatan dan efektivitas rumusan norma berdasarkan pengalaman korban kekerasan seksual, lengkap dengan hambatan yang dialami tiap kali hendak mengakses keadilan dan pemulihan.

Pada saat bersamaan, Komnas Perempuan juga berharap agar DPR terus membuka ruang aspirasi dari kelompok masyarakat yang selama ini bekerja langsung menangani korban kekerasan seksual, khususnya komunitas korban/penyintas, serta lembaga pendamping korban dan lembaga bantuan hukum. Seiring dengan aktivitas tersebut, DPR dapat mengintensifkan proses penyusunan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sampai dengan penetapan RUU tersebut sebagai RUU inisiatif DPR RI.

“Saya sebenarnya sedih membicarakan hal ini. Beberapa hari lalu sempat dibahas bahwa dari 15 jenis kekerasan seksual, tinggal 4 (yang disepakati). RUU PKS berubah nama jadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dibuat oleh Baleg, dan tidak mengakomodir kepentingan dan kebutuhan korban,” ujar Widia Primastika, Managing Editor Konde.co, saat mengisi sesi Virtual Bootcamp Saatnya Kita Menghapus Kekerasan Seksual jilid III dengan tema “Apa yang Bisa Kita Lakukan Sembari Menunggu RUU PKS Disahkan?” (Jumat, 3/9/2021).

Edukasi, Konsolidasi, Aksi

Keberaadaan RUU PKS memang sudah amat sangat dibutuhkan, mengingat makin banyaknya kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Menurut temuan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan berlangsung sepanjang 2020; dan setiap dua jam terjadi tiga kasus kekerasan seksual dan kasus Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS). Kenaikannya mencapai 235 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

“Karenanya, kita butuh UU khusus yang dapat melindungi korban kekerasan dan dapat mencegah terjadinya kekerasan. UU PKS itu bisa melindungi dan memanusiakan manusia; martabat manusia sangat dilindungi,” tutur Bahrul Fuad, Komisioner Komnas Perempuan.

Cak Fu, sapaan akrab Bahrul, menyadari betul bahwa perjuangan mengesahkan RUU PKS masih panjang sebab banyak aral di lapangan. Ia mencatat, setidaknya ada empat tantangan dalam pengesahan RUU PKS, yakni pemahaman konservatif keagamaan, rendahnya literasi dan pengetahuan tentang RUU PKS, rendahnya komitmen politik, dan berkembangnya berita bohong di masyarakat.

Pendapat Cak Fu diamine Anggia Erma Rini, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI sekaligus Ketua Umum PP Fatayat Nadhlatul Ulama. “Sering kali pesan tentang RUU PKS yang diterima oleh masyarakat itu bukan seperti yang kita perjuangkan. RUU ini malah dianggap melegalkan zina, melegalkan prostitusi, hingga melegalkan perkawinan sejenis,” tutur Anggia.

Sebab itulah edukasi menjadi hal yang amat krusial. Hingga saat ini, Komnas Perempuan ini terus melakukan edukasi tentang RUU PKS dengan berbagai cara. Mulai dari membuat kampanye dan seminar online, juga menggelar webinar bersama para tokoh agama tentang cara mengatasi kekerasan seksual.

“Komnas Perempuan tiap minggu juga mengadakan media gathering via Zoom untuk memberikan perspektif terhadap RUU PKS, agar media punya perspektif membela korban. Ini juga dilakukan ke mahasiswa dan berbagai lembaga,” ujar Cak Fu.

Upaya memberikan edukasi juga perlu dilakukan media. Menurut Tika, panggilan Widia Primastika, media harus meningkatkan kapasitasnya dalam memberitakan kasus kekerasan seksual sebab pemberitaan yang berlangsung selama ini masih terkesan setengah hati.

“Kebanyakan media acap menulis kasus kekerasan seksual dengan sensasional dan mengabaikan perspektif korban. Tak hanya itu, riset kami juga menunjukkan bahwa belum ada media yang punya SOP penanganan kekerasan seksual,” sambung Tika.

Salah satu langkah penting yang tak boleh dilupakan untuk membenahi penanganan kekerasan seksual adalah konsolidasi antar para pemangku kepentingan: meliputi konsolidasi lintas parpol, para pemuka dan organisasi keagamaan, konsolidasi pemerintah dan kelompok, para pakar dengan keilmuan masing-masing, dan konsolidasi media juga media sosial.

“Konsolidasi ini amat penting, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ikhtiar kita bersama,” kata Anggia.

Dukungan Grab

Grab, superapp unggulan di Asia Tenggara, ambil peran dalam konsildasi mendukung kampanye pengesahan RUU PKS. Bersama Komnas Perempuan, Grab menggelar Virtual Bootcamp Saatnya Kita Menghapus Kekerasan Seksual sejak Juni hingga Desember mendatang.

Menurut Uun Ainurrofiq, Director of Government Affairs & Strategic Collaborations, Grab mendukung RUU PKS sebab sebagai perusahaan yang memiliki zero tolerance terhadap kekerasan Grab selalu ingin menghadirkan keamanan dan kenyamanan bagi para pengguna layanannya.

“Kami tak lelah berinovasi dalam melindungi pengguna aplikasi Grab, baik penumpang maupun mitra pengemudi, termasuk para perempuan. Salah satunya, Grab punya fitur keselamatan Safety Center yang kami perkenalkan untuk melindungi pengguna aplikasi yang berasal dari berbagai kalangan. Selain Safety Center, ada belasan fitur keamanan lainnya yang dikembangkan berdasarkan pengalaman dan pembelajaran dari perjalanan Grab selama ini,” kata Uun.

Grab terus menerus membuat dan memperbarui berbagai fitur yang bisa dipakai untuk menjaga keamanan dan kenyamanan bagi para pengguna, seperti memelopori penerapan teknologi Tombol Darurat, Bagikan Perjalanan, dan Penyamaran Nomor Telepon. Selain itu, Grab juga mendukung berbagai kampanye edukasi agar semakin banyak orang Indonesia memahami pentingnya pengesahan RUU PKS.

“Karena itu kami berharap virtual bootcamp bisa memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya isu ini,” pungkas Uun.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis