Menuju konten utama

Apa Saja Pengobatan Infeksi Virus Corona yang Tersedia Saat Ini?

Pengobatan untuk pasien positif corona selama ini memakai sejumlah jenis obat dan terapi. Sebagian terindikasi efektif, tetapi yang lain tidak. 

Apa Saja Pengobatan Infeksi Virus Corona yang Tersedia Saat Ini?
Ilustrasi Virus Corona. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Jumlah korban virus corona, baik di dunia maupun Indonesia, masih terus bertambah. Pandemi corona telah menyebabkan belasan juta orang di dunia terinfeksi virus penyebab penyakit Covid-19 ini. Di Indonesia, jumlah pasien positif corona secara total juga terus membengkak.

Menurut data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, total jumlah kasus positif corona di Indonesia hingga Kamis, 16 Juli 2020, telah mencapai 81.668 orang. Dalam delapan hari terakhir, penambahan kasus baru corona di Indonesia secara konsisten berada di atas 1.500-an orang setiap hari, dan bahkan pernah menyentuh level 2.657. Jika grafik kasus baru menanjak terus hingga sebulan ke depan, besar kemungkinan total pasien segera menembus 100 ribu.

Hingga hari ini, 40.345 pasien corona (49,4 persen) di Indonesia sudah sembuh dan 37.450 orang positif Covid-19 lainnya masih dalam perawatan (kasus aktif). Adapun data korban infeksi virus corona yang meninggal di tanah air sudah mencapai 4,7 persen dari total kasus, atau 3.873 jiwa.

Sedangkan data CSSE Johns Hopkins University menunjukkan total kasus corona di dunia sudah mencapai 13.579.581. Data ini adalah update terbaru per pukul 19.30 WIB (16/7/2020). Mereka yang sembuh, secara global, memang telah berjumlah 7.597.786 orang. Namun, angka kematian pasien corona di dunia secara total juga telah lebih dari setengah juta, tepatnya 584.794 jiwa.

Grafik penambahan kasus baru corona di mayoritas dari 10 negara dengan total pasien Covid-19 tertinggi di dunia juga belum berhenti menanjak, demikian data dari Our World in Data per 16 Juli 2020. Data itu menunjukkan grafik angka kasus baru di Amerika Serikat, Brasil, India, Peru, Rusia, Meksiko, Afrika Selatan dan Inggris belum menurun ataupun melandai. Hanya grafik data kasus baru di Chili dan Iran yang menurun, tetapi belum tentu juga konsisten.

Di sisi lain, pertanyaan kapan pandemi corona berakhir belum dapat terjawab. Sebab, obat yang benar-benar manjur untuk menyembuhkan Covid-19 belum ditemukan. Vaksin yang diharapkan bisa menangkal Sars-CoV-2 (virus corona penyebab Covid-19), masih sedang diteliti dan diuji.

Tak heran, semakin banyak negara mendukung upaya pengembangan vaksin Covid-19. Laporan WHO pada 15 Juli 2020, menyebut 75 negara menyatakan berminat terlibat di skema pembiayaan COVAX, mekanisme yang dirancang untuk menjamin akses vaksin Covid-19 yang adil dan merata.

Aliansi pengembangan vaksin GAVI menyatakan 75 negara itu bersedia mengucurkan anggaran untuk pengembangan vaksin corona dan bermitra dengan 90-an negara miskin yang didukung melalui donasi untuk COVAX Advance Market Commitment (AMC) Gavi. Kolaborasi sekitar 165 negara ini menjadi representasi 60 persen dari populasi dunia.

Lonjakan penularan virus corona saat obat dan vaksin corona belum ditemukan juga mendorong WHO memperingatkan semua negara agar tidak main-main dengan pandemi. Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Gebreyesus bahkan menyatakan bahwa situasi pada masa depan tidak akan kembali ke "old normal" atau kenormalan seperti sebelum pandemi.

"Meskipun demikian, ada peta jalan menuju situasi di mana kita bisa mengendalikan penyakit ini [Covid-19] dan melanjutkan kehidupan," kata Tedros pada 13 Juli lalu, dikutip dari laman WHO.

Kata Tedros, setidaknya ada tiga strategi pokok yang harus diterapkan semua negara: berfokus terhadap pengurangan angka infeksi dan kematian; memberdayakan komunitas masyarakat agar disiplin melakukan pencegahan; kepemimpinan pemerintah yang kuat sekaligus konsisten dalam menggkoordinasikan dan mengomunikasikan upaya pencegahan.

Mengenai strategi ketiga, Tedros mengingatkan komunikasi yang tak konsiten dan penyampaian pesan yang buruk dari pemerintah bisa merusak unsur terpenting di dalam penanganan pandemi, yakni kepercayaan publik. Namun, meskipun sejumlah negara sempat tak sigap dalam menangani pandemi, Tedros menegaskan tidak ada kata terlambat untuk bertindak tegas.

Pengobatan Corona Saat Vaksin Belum Ditemukan

Informasi dari WHO berdasarkan penelitian terbaru menunjukkan gejala paling umum pada pasien yang terinfeksi virus corona adalah demam, batuk kering, dan kelelahan.

Sementara gejala lain yang kurang umum, tetapi terjadi pada sebagian pasien corona adalah nyeri, hidung tersumbat, sakit kepala, konjungtivitis (mata merah akibat dari peradangan), tenggorokan sakit, diare, tak bisa merasakan bau, ruam pada kulit atau perubahan warna jari tangan dan kaki. Gejala-gejala itu biasa bermula dari yang ringan dan bermunculan secara bertahap.

WHO mencatat 1 dari 5 pasien positif corona mengalami sakit parah dan sulit bernapas. Kondisi ini mungkin berujung ke kematian. Namun, banyak pula orang positif Covid-19, terutama yang hanya mengalami gejala ringan atau tidak sama sekali, bisa sembuh tanpa dirawat di rumah sakit.

Hingga kini belum ada obat maupun terapi yang dipastikan bisa menyembuhkan penyakit Covid-19. Namun, WHO mengakui ada sejumlah obat modern dan tradisional yang dapat meringankan gejala akibat infeksi virus corona. Sejumlah uji klinis sedang berjalan untuk menguji kemanjuran obat-obatan itu. Oleh karena itu, WHO tidak merekomendasikan penggunaan obat apa pun untuk pasien corona yang dilakukan tanpa rekomendasi dokter.

Hingga kini, setiap negara memiliki standar yang tidak sama dalam penanganan pasien Covid-19, terutama yang mengalami gejala sakit berat. Sejumlah jenis obat memang digunakan, tetapi para pakar kesehatan dunia belum satu suara soal efektivitasnya.

Dalam artikel yang diterbitkan The Conversation pada awal Juli 2020 lalu, Guru Besar Kedokteran University of Virginia, William Petri menjelaskan sejumlah jenis obat yang sudah dipakai di dalam perawatan pasien corona. Namun, pakar kesehatan AS itu mengingatkan riset terhadap Covid-19 bisa bergerak cepat dalam hitungan pekan. Maka, penjelasannya bukan kesimpulan pasti.

William Petri mengulas manfaat enam obat dan terapi yang selama ini digunakan dalam perawatan pasien Covid-19. Sebagian diduga manjur, tetapi yang lain diragukan efektivitasnya.

Pertama: Hidroksiklorokuin atau Klorokuin. Menurut Petri, belum terdapat bukti yang menunjukkan bahwa obat malaria ini efektif untuk penyembuhan pasien Covid-19. Dia mencatat, sudah ada tiga uji klinis acak terkendali dilakukan, tetapi tidak menemukan bukti bahwa Hidroksiklorokuin manjur dan memberikan efek positif maupun menyembuhkan bagi pasien Covid-19.

Oleh karena itu, penggunaan obat ini hanya boleh dalam konteks uji klinis terkontrol. WHO juga sudah menyetop program pengujian obat ini terhadap pasien corona.

Kedua, Lopinavir dan Ritonavir. Obat kombinasi yang digunakan terhadap pasien HIV ini, menurut Petri, sudah dipakai dalam perawatan pasien corona untuk uji klinis acak terkendali. Namun, Petri menulis, penggunaan obat ini tidak memberikan manfaat apa pun bagi para pasien Covid-19, baik berupa perbaikan secara klinis maupun kelangsungan hidup mereka.

Ketiga, Tocilizumab. Menurut Petri, obat radang sendi ini masih terlalu dini untuk dipercaya bisa bermanfaat bagi pasien corona. Banyaknya pasien corona mengalami badai sitokin di paru-paru yang dipicu Interleukin-6 (IL-6), memunculkan ide penggunaan Tocilizumab. Sebab, obat ini bisa mencegah IL-6 memicu inflamasi.

Petri mengakui ada riset retrospektif yang menemukan bukti bahwa Tocilizumab menurunkan risiko pasien corona mengalami kematian atau harus memakai ventilator. Namun, kata dia, belum ada uji klinis acak terkendali yang memperkuat bukti itu.

Keempat, terapi plasma konvalesen. Terapi ini diterapkan di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Namun, Petri menilai masih terlalu dini untuk menyimpulkan terapi ini efektif untuk pasien corona.

Terapi konvalesen dilakukan dengan memanfaatkan plasma darah pasien positif Covid-19 yang sudah sembuh. Plasma darah yang mengandung antibodi tersebut ditransfusikan ke pasien Covid-19 yang masih sakit. Sebenarnya, terapi ini sudah lama digunakan untuk menyembuhkan sejumlah penyakit infeksi, seperti flu spanyol, difteri, pnemonia, cacar air dan lainnya.

Akan tetapi, Petri belum yakin dengan efektivitas terapi plasma konvalesen. Ia menilai manfaatnya perlu dibuktikan terlebih dahulu dalam uji klinis terkontrol. Dia mengakui ada uji klinis acak yang menemukan bahwa tingkat virus corona dalam tubuh pasien penerima terapi konvalesen menurun drastis. Sayangnya, uji klinis acak itu hanya melibatkan 103 pasien yang menerima terapi plasma selama 14 hari usai sakit. Selain itu, belum diketahui perbedaan dalam hal kecepatan sembuh atau penurunan risiko kematian antara pasien penerima terapi plasma dan tidak.

Kelima, obat-obatan steroid. Dexamethashone, yang pernah direkomendasikan ilmuwan Inggris, termasuk dalam kategori obat steroid. Menurut Petri, obat ini memang terbukti dapat bermanfaat bagi sebagian pasien Covid-19. Petri mengklaim obat ini menurunkan angka kematian setelah 28 hari infeksi sebesar 17 persen dan mempercepat pasien keluar dari rumah sakit. Kesimpulan itu, kata dia, berdasarkan hasil uji klinis acak dan terkendali terhadap 6.000 pasien corona.

Meski begitu, ulasan resmi dari Harvard University yang mengakui efektivitas Dexamethashone, tetap merekomendasikan lebih banyak studi dilakukan lagi untuk membuktikan kemanjuran obat ini. Selain itu, penggunaan Dexamethashone yang terlalu dini juga malah bisa membikin dampak fatal bagi orang terinfeksi corona. Mengingat sifatnya yang menumpulkan daya imun tubuh, obat ini malah bisa memicu perkembangan virus corona jika dipakai terlalu dini. Maka, obat ini harus digunakan dengan saran dokter yang didasarkan pada uji laboratorium soal kondisi pasien.

Keenam, obat Remdesivir. Petri membenarkan obat yang semula dikembangkan untuk penyakit ebola ini terbukti memperpendek waktu pasien corona dirawat di rumah sakit.

Remdesivir dipercaya menghambat enzim coronavirus yang membuat salinan genom RNA virus ini. Obat ini menghentikan secara prematur atau menyetop penyalinan dan akhirnya mencegah virus bereplikasi.

Petri mencatat penggunaan Remdesivir, khususnya pada pasien corona yang memerlukan bantuan oksigen, tapi belum memakai ventilator, mengurangi risiko kematian dan mempercepat waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhan, secara rata-rata, dari 15 menjadi 11 hari.

Keberadaan sejumlah studi yang menyimpulkan Remdesivir mempercepat waktu penyembuhan pasien corona telah membuat Badan Pengawas Obat Eropa (EMA) memberikan lampu hijau untuk penggunaan obat ini dalam perawatan pasien Covid-19 di Uni Eropa. Obat ini dianjurkan untuk pasien corona berusia 12 tahun ke atas yang memerlukan bantuan oksigen.

"Remdesivir adalah obat pertama buat melawan COVID-19 yang direkomendasikan untuk otorisasi di Uni Eropa," demikian pernyataan EMA dalam pernyataan resminya pada 25 Juni 2020, seperti dilansir Deutsche Welle.

Sedangkan Gilead Science Inc dikabarkan memulai studi awal untuk memproduksi obat antivirus Covid-19 dari Remdesivir, yang bisa dihirup. Kabar terbaru, hasil studi lanjutan yang dilakukan perusahaan itu menunjukkan Remdesivir meningkatkan kesembuhan klinis dan menurunkan risiko kematian pasien Covid-19 hingga 62 persen, jika dibandingkan dengan perawatan yang standar, demikian dikutip dari Clinical Trials Arena.

Baca juga artikel terkait OBAT CORONA atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Agung DH