Menuju konten utama

Apa Itu Victim Blaming: Ketika Korban Disalahkan dan Efeknya

Fenomena victim blaming atau tindakan menyalahkan korban atas tragedi yang menimpanya dapat menimbulkan efek negatif pada korban.

Ilustrasi Kekerasan Seksual. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tidak sedikit kasus di mana seorang korban yang tertimpa musibah disalahkan atas peristiwa yang menimpanya. Fenomena ini dikenal dengan istilah victim blaming yang dapat menimbulkan efek negatif pada korban.

Victim blaming adalah fenomena di mana korban diminta bertanggung jawab atas tragedi yang terjadi pada diri mereka. Victim blaming menyebabkan korban dituduh bertanggung jawab secara penuh atau sebagian.

Secara sederhana, victim blaming artinya menyalahkan korban. Dikutip dari Instagram @komnasperempuan sikap menyalahkan korban ini tumbuh subur dalam masyarakat.

Akibatnya, kebiasaan victim blaming yang tertanam di masyarakat melahirkan budaya perkosaan atau rape culture yang menormalisasi tindakan kekerasan seksual.

Tanpa disadari, seseorang mungkin kerap melontarkan kata-kata yang mengarah pada victim blaming. Ucapan ini dapat berbentuk sikap mempertanyakan apa yang dapat korban lakukan untuk mencegah kekerasan, atau bahkan lebih buruknya lagi, mengkritisi sikap korban yang dianggap mengundang.

Beberapa pertanyaan yang mengarah pada victim blaming misalnya, "Ya, itu, kan, karena dia pulang malam sendirian." Komentar lain bernada victim blaming lainnya seperti,"kenapa tidak berteriak saat dia melecehkan? Kalau tidak berteriak artinya dia suka dan bersedia melakukannya," dan sebagainya.

Alasan Orang Menyalahkan Korban

Terdapat beberapa alasan mengapa orang cenderung melakukan victim blaming atau menyalahkan korban, termasuk di antaranya:

1. Pandangan tradisional terhadap gender

Dikutip dari Maryland Coalition Against Sexual Assault (MCASA) victim blaming umumnya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pandangan terbatas mengenai peran dan hak perempuan.

Meskipun pria juga dapat menjadi korban kekerasan seksual, namun kasus victim blaming nyatanya jauh lebih banyak terjadi pada perempuan.

Peneliti menemukan korelasi antara victim blaming dan juga seksisme atau pandangan yang menganggap bahwa status perempuan lebih rendah dan membutuhkan perlindungan laki-laki.

2. Keterlibatan obat-obatan dan alkohol

Setidaknya ada 11 dari 16 penelitian penelitian yang menemukan bahwa korban kasus pemerkosaan dalam keadaan mabuk atau tidak sadarkan diri lebih sering disalahkan daripada korban yang tidak mabuk.

Orang menganggap bahwa ada peningkatan kesalahan korban dengan tingkat pengaruh alkohol serta obat-obatan. Lucunya, semakin mabuk pelaku, makin banyak orang yang memaafkan perilakunya.

3. Penampilan

Menurut Very Well Mind victim blaming sering terjadi pada korban kekerasan seksual yang mengenakan pakaian terbuka. Mereka cenderung disalahkan atas kekerasan seksual yang mereka alami.

Orang kerap beranggapan bahwa pakaian terbuka berarti "meminta" karena terlalu provokatif. Faktanya, hingga saat ini tidak ada bukti bahwa kasus kekerasan seksual berkorelasi dengan pakaian yang dikenakan korban.

4. Media dan objektivikasi seksual

Media acap kali menggambarkan wanita sebagai objek seksual dengan menggambarkan bahwa agresi seksual adalah perilaku yang normatif dan mengerotiskan dominasi seksual.

Padahal, hal itu hanya melegitimasi kekerasan seksual dan berkontribusi pada sikap menyalahkan korban.

5. Bias

Victim blaming biasanya mengaitkan perilaku orang lain dengan karakteristik pribadi internal tapi mengabaikan variabel eksternal yang mungkin berperan.

Misalnya, ketika ada teman di kelas yang gagal ujian, maka Anda mungkin menganggap bahwa dia pemalas. Namun jika Anda yang gagal, teman itu akan menyalahkan sesuatu atas hal yang Anda lakukan.

Anda mungkin beralasan bahwa ruangan terlalu pengap sehingga Anda tidak berkonsentrasi atau bahkan menyalahkan guru yang membuat soal karena memberi pertanyaan jebakan. Inilah yang sering terlewatkan orang-orang saat mereka menyalahkan korban atas pertistiwa yang korban alami.

6. Mengaitkan peristiwa yang sudah lalu

Ketika melihat peristiwa yang sudah terjadi, manusia cenderung percaya bahwa kita dapat melihat tanda-tandanya dan memperkirakan hasilnya.

Sikap ini membuat seolah-olah korban kejahatan atau kemalangan lainnya seharusnya dapat mencegah masalah apapun yang menimpa padahal sebenarnya tidak ada cara untuk memprediksi hasilnya.

Efek Victim Blaming pada Korban Kekerasan

Victim blaming dapat berkontribusi pada lingkungan yang membuat penyintas kekerasan seksual kesulitan berbagi cerita karena takut disalahkan, tidak dipercayai, atau bahkan dipermalukan.

Dikarenakan perasaan tersebut, korban menjadi takut untuk melapor pada pihak berwajib, mencari dukungan, perawatan, dan juga pengobatan.

Selain itu, menyalahkan korban juga dapat meningkatkan kemungkinan penyintas menyalahkan diri sendiri, kecemasan, gangguan stress pasca trauma, depresi, atau bahkan bunuh diri.

Dilansir dari Sexual Assault Centre of Edmonton, penting untuk dipahami bahwa kekerasan seksual bukanlah kesalahan orang yang melakukannya.

Alih-alih korban, lingkungan sekitar harus lebih berfokus pada fakta bahwa seseorang memilih untuk melakukan perilaku berbahaya yang merugikan orang lain, bukan karena pakaian, ucapan, atau tempat tertentu.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Nisa Hayyu Rahmia

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Nisa Hayyu Rahmia
Penulis: Nisa Hayyu Rahmia
Editor: Yonada Nancy