Menuju konten utama

Apa itu "Thagut" yang Diserukan Pelaku Teror kepada Polisi?

Serangan teror dengan kata-kata "thaghut" dan apa sebenarnya makna dan tafsir dari kata tersebut?

Apa itu
Petugas sedang menyiapakan peralatan untuk menyisir area penyerangan Polisi di Masjid Falatehan, Jakarta, Jumat (30/6). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - “Ada yang teriak ‘Allahu Akbar’. Jemaah dari dalam juga pada kabur sambil teriak-teriak teroris,” ujar Edo, saksi mata yang sedang berada di seberang Masjid Falatehan, Jakarta Selatan, Jumat, 30 Juni 2017.

Kontan saja situasi mencekam. Sesaat sebelumnya seorang tidak dikenal yang ikut salat Isya bersama anggota Brimob, tiba-tiba menikam dua anggota Brimob yang kebetulan posisi salatnya bersebelahan. Ajun Komisaris Dede Suhatmi dan Briptu M. Syaiful Bachtiar ditikam dengan menggunakan pisau sangkur. Si pelaku melakukan penusukan sambil berteriak: “thagut”.

Usai melakukan serangan, si pelaku kemudian mengacungkan pisaunya mengancam jamaah dan kabur ke arah Terminal Blok M. Pelaku begitu beringas tanpa rasa takut. Setelah sempat berteriak takbir, pelaku kemudian dilumpuhkan dengan tembakan untuk mencegahnya melakukan perbuatan yang lebih berbahaya. Tembakan yang langsung membuat pelaku tewas di tempat.

Serangan dengan pekik kata “thagut” juga pernah dialami oleh kepolisan di Purwokerto pada bulan April lalu (11/4). Dengan mengenakan helm yang juga ditutupi cadar, seseorang yang diidentifikasi berinisial MID menyerang Markas Kepolisian Resor Banyumas di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Bahkan saat peristiwa penyerangan, beberapa wartawan sedang berada di halaman Mapolres Banyumas. “Sekitar pukul sepuluh, tiba-tiba dari arah barat datang seorang pengendara sepeda motor serta menggunakan pakaian serba hitam, cadar hitam, dan helm,” kata Dimas, seorang saksi mata.

Pengendara motor ini langsung menabrakkan kendaraannya ke Aiptu Ata Suparta, salah seorang anggota Polres Banyumas dengan meneriakkan kata-kata “thaghut” beberapa kali. Setelah menabrakkan kendaraanya, pelaku kemudian mengeluarkan parang untuk menyerang Bripka Karsono yang kebetulan posisinya paling dekat dari Aiptu Ata Suparta. Tak berhenti di situ, pelaku masih berusaha menyerang Bripka Karsono sembari meneriakkan takbir. Akibatnya lengan kanan Karsono terluka karena sabetan pedang.

Aksi yang dilakukan pelaku memang cenderung nekat karena situasi di Mapolres Banyumas sedang penuh tidak hanya oleh anggota polisi tapi juga para wartawan yang meliput. Hal yang membuat video peringkusannya sempat menyebar di media sosial.

Bahkan setelah ditangkap, pelaku cukup keras kepala saat diperiksa. “Dia hanya mengatakan ‘thaghut’, ‘thaghut’ kepada kami,” kata Kepala Kepolisian Resor Banyumas, Ajun Komisaris Besar Polisi Azis Andriansyah.

Hal yang sama juga terjadi sehari setelah lebaran (26/6). Di Jalan Veteran, Banten, Jawa Barat, ditemukan selebaran berisi ancaman teror yang ditinggalkan seseorang tidak dikenal di wiper mobil polisi. Selebaran dengan gambar yang menyerupai bendera ISIS yang dibuat dengan pensil dan terdapat pesan ancaman: “Siapkan dirimu polisi thaghut, kami akan datang. Setelah Marawi, Filipina, selanjutnya adalah Indonesia.”

Apa itu Thaghut?

Thaghut secara istilah merupakan sebuah sifat atau gambaran mengenai penyembahan selain kepada Tuhan. Menurut Imam Abu Hayyan al-Andalusi dalam Tafsir an-Nahru al-Madd (1995: 373) dijelaskan bahwa thaghut merupakan upaya mendewakan atau menuhankan manusia, benda, atau sesuatu yang dianggap hanya merupakan bentuk menuruti hawa nafsu. Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Azim (Beirut: Dar al-Fikr, tth: 115-116) menafsirkan thaghut secara umum adalah menyembah sesuatu selain Allah.

Kata thaghut yang digunakan oleh para pelaku teror terhadap kepolisian dalam beberapa peristiwa belakangan ini agaknya paling dekat dengan pandangan Sayyid Quthb dalam Tafsir fi Zhilalil Qur’an (terj. 2000: 220-221). Bahwa thaghut merupakan varian dari kata “thughyan” yang bermakna segala sesuatu yang melanggar kebenaran sampai melampaui kesadaran manusia dalam ketetapan Allah.

Hal yang dianggap oleh pelaku teror bahwa orang-orang yang mereka serang tidak berpedoman kepada syariat yang ditetapkan Allah. Dalam tafsir yang lebih jauh lagi, pedoman yang tidak merujuk syariat di atas bisa merujuk setiap sistem, bisa secara formal dalam aturan pemerintahan atau secara komunal dalam bentuk pranata atau kebiasaan yang hidup secara sosial. Bahkan sampai juga masuk kepada tradisi atau budaya yang dianggap tidak berpijak kepada ketetapan syariat.

Kata thagha atau thaghut dalam berbagai bentuknya, menurut tafsir dari Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (Bandung, 1997: 104), muncul beberapa kali dalam Al-Quran. Diksi ini, masih menurut Quraish Shihab, pada dasarnya digunakan sebagai makna meluapnya air sehingga mencapai tingkatan yang membahayakan -- sebuah awal mula tafsir yang didasarkan pada surat Al-Haqqah ayat 11 yang mengisahkan peristiwa banjir Nabi Nuh.

Inna lamma thoghoo al-maa u khamalnaakum fii al-jaariyati

“Sesungguhnya ketika air telah mencapai tingkat membahayakan, Kami mengangkut nenek moyang kamu ke atas bahtera.”

infografik pelaku teror kata thagut

Itulah kenapa dari tafsir atas ayat tersebut, makna “melampaui batas” bisa diperoleh dari kata "thaghut”. Maksudnya: mewakili pesan tentang hal-ihwal kedurhakaan seorang hamba terhadap Tuhannya.

Dalam setiap ayat, makna thaghut pun memiliki berbagai macam konteks meskipun punya satu konsepsi yang sama. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah Vol. 2 (2000: 450-451) mencontohkan, misalnya, Al-Baqarah ayat 52. Kata "thaghut" digunakan untuk menyebut al-Lat dan al-Uzza yang disembah masyarakat Mekah pada masa jahiliyah. Pada An-Nisa ayat 60, kata "thaghut" dimaksudkan untuk Huyay bin Akhtab dan Ka’ab bin al-Asyaraf -- dua orang Yahudi yang menjalin kerja sama dengan penduduk Mekah untuk memerangi Nabi Muhammad.

Dalam konteks serangan pelaku teror kepada pihak kepolisian, baik yang terjadi di Masjid Falatehan maupun di Mapolres Banyumas, kata “thagut” yang digunakan dimaknai bahwa sistem pemerintahan di Indonesia sudah tidak lagi berpijak kepada syariat Tuhan, sehingga harus “dibersihkan” dan digantikan dengan sistem yang dianggap sesuai dengan syariat—tentu saja syariat menurut kelompok teror ini.

Baca juga artikel terkait SERANGAN DI MASJID FALATEHAN atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS