Menuju konten utama

Apa Itu Terorisme: Arti, UU & Bagaimana Aturan Hukum di Indonesia?

Berikut adalah penjelasan soal terorisme, termasuk soal aturan hukumnya di Indonesia.

Anggota polisi berjaga di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (29/3/2021). ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/aww.

tirto.id - Sejak kasus bom bunuh diri yang dilakukan pasangan suami istri di depan Gereja Katedral Makassar, kepolisian sudah menangkap 13 terduga teroris di empat lokasi berbeda. Polisi juga memusnahkan lima bom rakitan yang disita dari beberapa tersangka.

Sebagaimana diwartakan Antara, Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan mengatakan, sejak Januari hingga Maret 2021, kepolisian sudah menangkap 94 terduga teroris.

"Selama periode 2021 sejak Januari sampai Maret ini Densus 88 Anti Teror Mabes Polri telah menangkap sebanyak 94 tersangka teroris," kata Ramadhan, Selasa (30/3/2021).

Di Indonesia, istilah tentang terorisme memang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Ia kerap hadir di sejumlah pemberitaan media. Lantas, apa yang dimaksud dengan terorisme dan bagaimana aturan hukumnya di Indonesia?

Arti Terorisme, Definisi dan Aturan Hukumnya

Secara umum, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik tindakan teror.

Kendati demikian, pengaturan tentang terorisme sudah tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang.

Dalam UU tersebut, terorisme diartikan sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan. (Pasal 1 Ayat 2).

UU itu juga menyebutkan, kekerasan yang dimaksud adalah: "setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya."

Sementara ancaman kekerasan dijelaskan sebagai: "setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat."

Bahan peledak, dalam UU tersebut, diartikan sebagai: "semua bahan yang dapat meledak, semua jenis mesiu, bom, bom pembakar, ranjau, granat tangan, atau semua bahan peledak dari bahan kimia atau bahan lain yang dipergunakan untuk menimbulkan ledakan."

Hukuman pidana bagi terpidana kasus terorisme tertuang dalam Pasal 6, ia paling singkat bisa dipenjara selama 5 tahun dan paling lama 20 tahun, bahkan bisa penjara seumur hidup atau pidana mati.

Berikut isinya: "Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup atau Fasilitas Publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati."

Poin-poin di atas hanyalah gambaran singkat tentang aturan hukumnya. Selengkapnya, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bisa dibaca di sini (link).

Dianggap Multitafsir

Pada saat Undang-undang itu disahkan pada Mei 2018 lalu, Direktur Imparsial Al Araf pernah menyatakan bahwa definisi "terorisme" masih multitafsir. Ia pun khawatir definisi itu bisa berpotensi disalahgunakan untuk menindak kelompok yang kritis dengan kekuasaan. Akan tetapi, ia berharap UU ini "benar-benar menyasar organisasi teroris,” ujar Al Araf.

“Seharusnya kemarin Pemerintah dan DPR tak memasukkan unsur tentang 'motif politik, atau ideologi, dan gangguan keamanan',” kata Al Araf.

Di sisi lain, pengamat terorisme dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menyoroti soal ketidakjelasan frase “orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme”. Ia khawatir penentuan kelompok rentan justru bisa menimbulkan konflik.

Sama dengan frase orang atau kelompok yang rentan, frase paham radikal terorisme bersifat tidak jelas sehingga berpotensi membuat penyidik menyalahgunakan wewenang. “Penyidik dapat seenak sendiri menentukan orang-orang yang wajib mengikuti program kontra radikalisasi dan deradikalisasi,” ujarnya.

Namun, Anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemberantasan Terorisme dari Fraksi PKS Nasir Djamil menjelaskan soal definisi yang multitafsir.

Menurutnya, penjelasan motif dalam definisi terorisme justru memperjelas arti dari tindakan itu. Nasir berkata, usul dimasukkannya motif dalam definisi terorisme berasal dari tiga partai yakni Gerindra, PAN, dan PKS. Keinginan ketiga parpol itu diterima dengan kompromi oleh parpol dalam faksi pemerintah.

“Jadi yang namanya kelompok teroris itu selalu punya motif politik dan ideologi. Kalau dilihat berbagai definisi terorisme, maka salah satu unsur kelompok teroris adalah memiliki motif politik,” ujar Nasir kepada Tirto.

Baca juga artikel terkait TERORISME atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Hukum
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Iswara N Raditya