Menuju konten utama

Apa Itu Klitih yang Ramai Dibicarakan Warganet di Twitter?

Dalam bahasa Jawa, klitih adalah suatu aktivitas mencari angin di luar rumah atau keluyuran.

Apa Itu Klitih yang Ramai Dibicarakan Warganet di Twitter?
Ratusan anggota organisasi masyarakat (Ormas) melakukan aksi di halaman Polda DIY, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (3/2/2020). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/foc.

tirto.id - Tagar #DIYdaruratklitih ramai dibicarakan warganet di Twitter sebagai respons terkait kejahatan jalanan yang beberapa kali terjadi di Jogja dan dikenal dengan istilah aksi klitih, Selasa (4/2/2020).

Sejumlah masyarakat yang tergabung dalam Forum Komunikasi Relawan dan Ormas DIY mendatangi Polda DIY pada Senin (3/2/2020) untuk menyampaikan dukungan agar polisi lebih serius menangani klitih yang ada di wilayah Jogja.

"Memang benar sudah maksimal penanganan klitih oleh Polda, tetapi pada faktanya klitih ini masih menjadi teror bagi masyarakat DIY," kata Sekretaris Forum Komunikasi Relawan dan Ormas DIY Wlijito di sela aksi damai, seperti dikutip Antara News.

Komunitas Antar-Ojek Online Yogyakarta juga mendesak aparat berwenang untuk menindak tegas pelaku klitih karena sudah banyak pengemudi ojek yang menjadi sasaran aksi kekerasan saat sedang bekerja pada malam hari.

"Dalam kurun waktu satu pekan ini sudah ada tiga kejadian kekerasan jalan yang menimpa driver ojek online," kata Ketua Komunitas Antar-Ojek Online Yogyakarta, Adi Setyawan di Yogyakarta, Senin (3/2/2020).

Karena kejadian kejahatan jalanan atau klitih ini sedang merajalela, Polres Kota Yogyakarta membuka aduan melalui hotline (0274) 543920 atau WhatsApp 08988835689.

Apa itu klitih?

Dalam bahasa Jawa, klitih adalah suatu aktivitas mencari angin di luar rumah atau keluyuran. Namun, dalam dunia kekerasan remaja Jogja, pemaknaan klitih kemudian berkembang sebagai aksi kekerasan atau kejahatan jalanan dengan senjata tajam atau tindak-tanduk kriminal anak di bawah umur di luar kelaziman.

Namun, Suprapto, Kriminolog sekaligus Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada mengatakan tak setuju dengan istilah klitih yang terus digunakan untuk mendefinisikan kejahatan jalanan.

"Kejahatan jalanan itu beda dengan klitih. Jangan menyebut klitih karena klitih sendiri berarti aktifitas positif yang dilakukan untuk mengisi waktu luang. Sayangnya ini kemudian diadaptasi pelajar atau remaja untuk kegiatan mencari musuh," ujar Suprapto.

Suprapto juga mengatakan sebetulnya aktifitas yang dilakukan pelajar tersebut berbeda dengan aksi kejahatan jalanan berupa pembacokan.

"Pelajar itu punya aturan sendiri, mereka tidak akan menyerang (membacok) perempuan, orang yang boncengan, orang tua. Aksi pembacokan yang menimpa driver online beberapa hari lalu menurut saya bukan dilakukan oleh pelajar atau geng pelajar karena itu bukan target mereka," ujar Suprapto.

Suprapto menambahkan berdasar hasil analisanya, kasus pembacokan yang menimpa driver ojek online beberapa hari lalu kemungkinan ada tiga motif, antara lain:

1. Salah sasaran

Suprapto mengatakan driver ojek online yang dibacok beberapa hari lalu bisa jadi merupakan korban salah sasaran.

2. Sakit hati

Menurut Suprapto motif kedua bisa jadi pelaku pembacokan memiliki dendam atau sakit hari dengan korban sehingga melakukan aksi kekerasan tersebut.

3. Pesanan

Motif ketiga menurut Suprapto bisa jadi ada orang yang tak suka atau sakit hati dengan korban kemudian meminta atau membayar orang lain untuk melakukan aksi pembacokan kepada salah satu driver ojek online.

Mendapat hukuman lebih berat

Menurut Suprapto untuk mengatasi masalah kejahatan jalanan yang beberapa kali terjadi ada beberapa cara yang bisa dilakukan, salah satunya adalah penggunaan pasal soal penganiayaan yang berecana.

"Pelaku kan sudah punya niat, sudah bawa senjata tajam dari rumah, ini bisa disangkakan dengan penganiayaan yang berencana dan hukumannya akan menjadi lebih berat," ujar Suprapto.

Baca juga artikel terkait FENOMENA KLITIH atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Agung DH