Menuju konten utama

Apa Itu Badai Sitokin yang Dialami Deddy Corbuzier & Cara Mencegah

Mengetahui apa itu Badai Sitokin, kondisi yang dialami Deddy Corbuzier saat terinfeksi COVID-19?

Apa Itu Badai Sitokin yang Dialami Deddy Corbuzier & Cara Mencegah
Ilustrasi Virus Corona. foto/Istockphoto

tirto.id - Mentalis sekaligus YouTuber Deddy Corbuzier sempat mengalami masa kritis akibat badai sitokin (cytokine).

Melalui unggahan di Instagram resminya @Mastercorbuzier, Deddy mengungkapkan kondisinya tersebut terjadi pada dua minggu lalu setelah dinyatakan negatif COVID-19.

"Saya sakit. Kritis, hampir meninggal karena badai cytokine. Lucunya, dengan keadaan sudah negatif. Yes it's covid," terang Deddy dalam unggahannya, Minggu (22/8/2021).

Badai sitokin yang dialami oleh Deddy menyebabkan kondisinya memburuk dalam waktu singkat tanpa disertai gejala apapun. "Keadaan paru-paru rusak 60% dalam dua hari," kata Deddy.

Deddy juga menyebutkan bahwa dirinya berhasil melewati masa kritis dengan bantuan Jendral Lukman Waka RSPAD Gatot Soebroto, Dr. Wenny Tan, dan Dr. Gunawan. Selain itu, pola hidup sehat yang ia jalani selama ini ikut mendukung kondisinya untuk pulih.

"Hebatnya oksigen darah saya tidak turun bahkan diam di 97-99 karena pola hidup sehat saya selama ini," lanjut Deddy.

Apa itu badai sitokin?

Badai sitokin merupakan reaksi kekebalan yang berlebihan. Dilansir dari Medical News Today, badai sitokin dapat terjadi ketika respons imun melepaskan terlalu banyak sitokin daripada yang dibutuhkan oleh tubuh.

Sitokin sendiri merupakan protein kecil yang mengendalikan pertumbuhan dan aktivitas sel dalam sistem kekebalan maupun sel darah lainnya. Singkatnya, sitokin berperan untuk membantu respons imun tubuh. Namun, apabila tubuh melepaskan terlalu banyak sitokin maka yang terjadi adalah aktivitas kekebalan menjadi terlalu banyak dan agresif.

Hal ini dapat menyebabkan sistem kekebalan menyerang sel dan jaringannya sendiri, termasuk sel darah merah, sel darah putih, hingga liver.

Sel-sel kekebalan yang berlebih juga berpotensi menumpuk cairan di paru-paru. Ini karena dinding pembuluh darah terbuka untuk memberi jalan sel-sel kekebalan.

Kemudian, banyaknya aktivitas sel kekebalan yang melalui pembuluh darah membuat pembuluh darah menjadi bocor dan menumpuk cairan di paru-paru.

Kondisi ini memicu penurunan tekanan darah yang berakibat pada kurangnya pasokan darah pada organ lainnya.

Ketika organ tidak mendapatkan cukup darah, penderita akan mengalami syok dan berisiko mengalami kerusakan organ permanen hingga kematian.

Gejala dan penanganan badai sitokin pada penderita COVID-19

Badai sitokin ditemukan pada sejumlah kasus COVID-19 di dunia. Penderita COVID-19 bisa mengalami badai sitokin apabila terjadi keterlibatan autoimun.

Seseorang yang mengalami badai sitokin akibat COVID-19 masuk ke dalam kasus parah. Dalam sebuah penelitian yang dirilis pada 2020 menyebutkan bahwa badai sitokin pada pasien COVID-19 berkaitan dengan cedera paru-paru dan kegagalan multi-organ.

Ahli reumatologi dan imunologi anak di Universitas Alabama, Randy Cron menyebutkan beberapa gejala yang dapat dialami penderita badai sitokin, yaitu:

- Demam

- Gangguan sistem saraf

- Sakit kepala

- Kejang

- Koma

"Mereka (penderita) cenderung lebih sakit dari yang Anda perkirakan," catat Cron seperti yang dilansir dari BBC.

Sesuai dengan yang dialami oleh Deddy Corbuzier beberapa waktu lalu, badai sitokin sering kali tidak memunculkan gejala apapun sebelum menyerang. Namun, kondisi tersebut cukup efektif dengan tes diagnosis tertentu, seperti pengecekan kadar protein feritin dalam darah.

Penanganannya sendiri dilakukan dengan metode medis, salah satunya terapi anti-sitokin.

Terapi anti-sitokin adalah pengobatan yang biasa diberikan untuk mengatasi penyakit autoimun, seperti rheumatoid arthritis.

Sayangnya, pada kasus COVID-19 belum cukup data yang dapat membuktikan apakah terapi anti-sitokin efektif untuk mengatasi badai sitokin.

Cara mencegah terserang badai sitokin

Max Konig, MD, rheumatologis di Universitas Johns Hopkins menyebutkan bahwa sebagian besar pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit melepaskan sitokin lebih tinggi. Kondisi inilah yang kemudian meingkatkan risiko pasien terserang badai sitokin.

Sehingga, dalam kasus ini Konig menyebutkan bahwa badai sitokin dapat dicegah dengan memblokir beberapa bahan kimia yang memicu pelepasan sitokin. Sitokin sendiri dipicu oleh bahan kimia yang disebut katekolamin.

"Jika Anda mencegah lonjakan itu (katekolamin), respons imun akan menurun" kata Konig seperti yang dilansir dari WebMD. Secara teori metode tersebut dinilai dapat mencegah lebih banyak kerusakan organ.

Hal ini karena pemblokiran terhadap katekolamin dinilai dapat mengurangi kesempatan sitokin untuk menyerang jaringan tubuh.

Temuannya pada pasien yang mengalami sindrom pernapasan akut (bukan COVID-19) menunjukkan hal positif terhadap metode ini.

Ia menyebutkan pada pasien yang menggunaan obat yang menghalangi pelepasan katekolamin 20 persen lebih kecil risikonya menggunakan ventilator dibadingkan yang lain. Obat yang dimaksud seperti beberapa jenis obat tekanan darah.

Sayangnya, teori ini belum ditinjau oleh para ahli lainnya dan masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Baca juga artikel terkait CORONA COVID-19 atau tulisan lainnya dari Yonada Nancy

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Yonada Nancy
Penulis: Yonada Nancy
Editor: Yandri Daniel Damaledo