Menuju konten utama

Apa Bahayanya Jika WNI Eks Simpatisan ISIS Balik ke Indonesia?

Pada 1980-an, Indonesia pernah kedatangan eks kombatan mujahidin Afghanistan, dan kemudian bikin ulah karena menjadi teroris Bom Bali.

Apa Bahayanya Jika WNI Eks Simpatisan ISIS Balik ke Indonesia?
Kelompok ISIS. FOTO/IStimewa

tirto.id - Pertahanan terakhir ISIS di Baghouz, Suriah, sudah jatuh diserang Pasukan Demokratik Suriah (SDF). Kejatuhan ISIS menyisakan sejumlah masalah baru, salah satunya menyangkut penanganan terhadap istri dan anak eks kombatan dan simpatisan ISIS yang berasal dari Indonesia.

Sejauh ini, pemerintah Indonesia lewat Kementerian Luar Negeri memang belum menentukan sikap memulangkan mereka, atau membiarkannya terkatung-katung di Suriah. Mereka masih mengkaji langkah lanjutan yang akan dilakukan terhadap para istri dan anak eks kombatan dan simpatisan ISIS ini.

Saat pemerintah tengah mengkaji, muncul perdebatan apakah mereka layak diterima atau ditolak. Isu ini muncul karena para istri dan anak eks kombatan dan simpatisan ISIS pergi dari Indonesia atas kemauan sendiri atau mengikuti suami mereka.

Di luar perdebatan itu, muncul kekhawatiran dari sejumlah pihak jika anak dan istri bekas kombatan dan simpatisan ISIS ini dibolehkan pulang ke Indonesia. Dasar kekhawatiran ini wajar belaka. Pada 1980-an, Indonesia pernah kedatangan eks kombatan mujahidin Afghanistan yang kemudian berulah menjadi teroris Bom Bali.

Psikolog sekaligus Direktur Kasandra Associates Kasandra Putranto tidak memungkiri ada potensi bahaya bila istri dan anak eks kombatan dan simpatisan ini pulang ke Indonesia. Mereka berpotensi mengembangkan sikap ekstrem sebagai dampak dari lingkungan sosial mereka saat di Suriah.

“Dengan kondisi yang rentan sikap radikal, ekstrem dan prokekerasan, tentu mengandung risiko,” kata Kasandra kepada reporter Tirto, Kamis (29/3/2019).

Namun, Kasandra yang terbiasa menjadi psikolog klinis dan memeriksa kondisi psikologis para terduga teroris ini mengingatkan, tak semua dari anak dan istri eks kombatan dan simpatisan ini berniat menjadi tentara ISIS saat pergi ke Suriah.

“Sebagian dari mereka justru hanya karena ingin hidup di tanah yang menegakkan syariah Islam secara kaffah. Tidak semua simpatisan adalah tentara perang,” imbuh dia.

Berpotensi Melanjutkan ISIS

Meski begitu, Kasandra menyadari kejatuhan ISIS ini bisa berdampak banyak kepada para simpatisannya. Selain membikin kaget, runtuhnya kelompok teroris yang cukup ditakuti ini bisa memicu sikap perlawanan dari simpatisan mereka melanjutkan perjuangan lewat kelompok lain.

Potensi ini perlu diwaspadai pemerintah Indonesia, jika nantinya mengambil langkah memulangkan keluarga eks kombatan dan simpatisan ISIS dari Suriah. Menurut Kasandra, pemerintah harus melakukan pemeriksaan secara menyeluruh untuk mengetahui kadar sikap ekstrem mereka sebelum kembali diterima di Indonesia.

Ia berharap, pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kembali aktif menderadikalisasi dengan melibatkan ahli agama serta ahli psikologi supaya penanganan benar-benar efektif dan tidak menjadikan mereka sebagai teroris kambuhan kembali ke Indonesia.

“Sampai saat ini upaya deradikalisasi sudah dilakukan dan memiliki tingkat keberhasilan yang cukup walaupun masih memiliki tingkat kegagalan pada beberapa individu. Sayangnya belum ada penelitian yang intensif tentang jumlah ini,” ucap Kasandra.

Alto Luger, seorang analis konflik dan terorisme Timur Tengah, punya pendapat senada dengan Kasandra soal alasan kepergian istri dan anak eks kombatan dan simpatisan ini ke Suriah. Ia juga sependapat tentang perlunya pemeriksaan menyeluruh terhadap mereka.

Namun sebelum memeriksa, Alto menyebut, pemerintah perlu memetakan terlebih dahulu terkait potensi masalah yang bakal muncul di kemudian hari. Ini mengingat, keluarga eks simpatisan dan kombatan ini bukan hanya orang dewasa tapi juga anak-anak.

“Enggak bisa dipukul rata [penanganannya],” kata Alto kepada reporter Tirto

Menurut Alto, pemerintah harus belajar dari pengalaman kembalinya eks kombatan mujahidin Afghanistan pada akhir 1980-an. Para mujahidin itu tidak ditangani dengan baik.

Dari pengalaman tersebut, kata Alto, pemerintah perlu membagi keluarga eks kombatan dan simpatisan ini dalam beberapa klasifikasi tertentu guna menghindari risiko yang bakal muncul.

“Ada beberapa klasifikasi risiko: high, middle, low. Nah, treatment-nya harus sesuai dengan klasifikasi itu. Seberapa mereka terpapar ke pikiran dan risiko-risiko yang kemungkinan terjadi,” Kata Alto.

Sementara itu, BNPT belum berkomentar banyak terkait masalah WNI yang kemungkinan kembali ke Indonesia. Juru Bicara sekaligus Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris belum bisa berkomentar tentang sikap pemerintah terkait potensi bahaya dari kembalinya anak dan istri eks kombatan dan simpatisan ISIS ini.

“Menunggu keputusan pimpinan,” kata Irfan singkat kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait ISIS atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Mufti Sholih