Menuju konten utama

Antibiotik yang Malah Membuat Sakit

Antibiotik sejatinya adalah obat untuk mencegah datangnya penyakit. Pada lingkup dunia peternakan, antibiotik jadi asupan sama pentingnya seperti pakan ternak. Antibiotik membikin probabilitas umur ternak bisa jadi lebih panjang, mencegah penularan penyakit dan mempercepat proses pertumbuhan. Antibiotik membuat peternak untung dan konsumen buntung.

Antibiotik yang Malah Membuat Sakit
Petugas Dinas Peternakan dan perikanan Kabupaten Ciamis memberikan vaksin kepada seekor ayam milik warga di Desa Kelapa Sawit, Ciamis, Jawa Barat. [ANTARA FOTO/Adeng Bustomi]

tirto.id - Industri peternakan membuat peternak berlomba dikejar waktu memproduksi hewan sebanyak-banyaknya, dengan berat badan ternak yang tentunya berat-berat juga. Seekor ayam, misalnya, harus bisa dipotong 32 hari setelah ditetaskan. Atau seekor babi yang harus sudah siap dijagal setelah berumur empat bulan. Hanya dengan cara ini, para peternak bisa bertahan dalam persaingan daging murah. Dan satu-satunya jalan praktis itu adalah dengan memakai antibiotik.

Proses instan dalam industri peternakan membuat hewan tidak lagi dipelihara secara layak. Hidup berdesakan di dalam kandang, membuat ternak lebih rawan penyakit. Ancaman penularan begitu besar. Dalih ini yang membuat peternak sering mencampurkan antobiotik dalam pakan ternak.

Sejatinya antibiotika ini digunakan secara hemat dan cermat. Namun, fakta di lapangan tidaklah demikian. Industri peternakan seolah menghendaki penggunaan antibiotika secara bertubi-tubi. Imbasnya, bakteri yang mestinya berhasil diantisipasi malah kini jadi resisten.

Di kandang-kandang peternakan lahir bakteri baru yang kebal terhadap jenis antibiotika yang selama ini diasup oleh hewan-hewan di sana. Bakteri superbug dapat mengembangkan resistensi silang menjadi berbahaya. Superbug adalah bakteri yang berguna di bidang bioteknologi untuk tujuan tertentu. Superbug berkembang jadi kuman resisten atau kebal terhadap obat yang berimbas pada kematian. Tidak hanya hewan tetapi juga manusia.

Superbug ini akan diserap tubuh ketika kita memakan daging yang terlalu banyak zat antibiotik-nya. Lebih jauh, apabila bakteri ini sampai menyusup ke dalam luka yang terbuka, maka bisa terjadi infeksi berat yang sulit terobati, karena mungkin jenis antibiotika yang digunakan sudah tidak ampuh lagi.

Awal tahun lalu di AS untuk kali pertama ditemukan strain bakteri yang kebal semua jenis antibiotik. Pemicu munculnya "super bug" ini jelas adalah pemakaian antibiotika tidak rasional. Bakteri ini dinamai Staphylococcus aureus MRSA.

Pejabat dinas kesehatan Amerika Serikat melaporkan, strain bakteri yang kebal semua jenis antibiotik ini dtemukan pada seorang pasien perempuan berusia 49 tahun yang terkena infeksi saluran kencing.“Jika menyebar, bakteri ini bisa menjadi ancaman maut pada kasus penyakit infeksi biasa” ujar Thomas Frieden, direktur pusat pengendalian dan pencegahan penyakit di AS.

Jawatan pengawas obat Eropa (EMA) juga menuding industri peternakan lah yang jadi penyebab munculnya superbug ini. Dalam beberapa kasus antibiotik yang dilarang dipakai untuk manusia masuk ke tubuh lewat hewan ternak.

Misalnya antibiorik Colistin yang biasa digunakan memerangi infeksi E.coli, salmonella serta pneumonia. Antibiotil ini dilarang penggunaannya pada manusia sejak tahun 1980-an, karena meracuni ginjal. Namun, sampai sekarang Colisitin tetap dipakai di industri peternakan.

Kepada Deustche Welle, Marc Spencer, Ketua Pusat Prevensi dan Pengawasan Penyakit Uni Eropa menuturkan setiap tahunnya sekitar 25.000 orang meninggal di Uni Eropa karena infeksi yang tidak lagi bisa ditangani dengan antibiotik. Sedang di Amerika Serikat, jumlahnya mencapai 23.000 orang per tahun.

Para dokter dan asosiasi perlindungan konsumen sudah sejak lama memperingatkan akan ancaman ini. Sebuah penelitian Ikatan Perlindungan Lingkungan dan Alam Jerman (BUND) baru-baru ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh ayam yang dijual supermarket Jerman tercemar oleh bakteri yang kebal antibiotika. Pada penelitian di tempat terpisah, di Malaysia angkanya mencapai 51 persen sedangkan di AS berkisar 62 persen.

Penggunaan antibiotik di industri peternakan memang sudah amatlah akut. WHO melansir hampir 90 persen pangan daging di bumi terkontaminasi dengan zat antibiotik. Data 2015, lebih dari 22,5 juta kg antibiotik dipakai untuk hewan, jauh jika dibandingkan penggunaan antibiotik untuk manusia yang hanya 3 juta kg. Diprediksikan pada 2030 nanti penggunaan antibiotik pada ternak akan meningkat sampai 67 persen sejalan dengan permintaan konsumsi daging yang menanjak.

Dalam laporan bertajuk The Review on Antimicrobial Resistance, Ekonom yang memimpin kajian, Jim O'Neill, mengatakan kepada BBC sekitar 10 juta orang berpotensi meninggal setiap tahun karena infeksi akibat resistensi antibiotik pada 2050 nanti, jika pengunaan antibiotik berlebih pada hewan ternak tak dihentikan.

Dia mengatakan batas ideal penggunaan antibiotik aadalah 50mg setiap 1kg hewan ternak. Mayoritas negara malah melampaui batas itu di AS hampir 200mg/kg, sedangkan mayoritas negara asia adalah 250mg/kg masih lebih baik ketimbang Siprus yang lebih dari 400mg/kg,

Di Indonesia, keberadaan daging terkontaminasi antibiotik amatlah memprihatinkan. Data BPS mencatat di negeri ini ayam broiler merupakan sumber protein hewani paling diminati. Lebih dari separuh produksi daging, 52,03 persen berasal dari ayam broiler, diikuti oleh daging sapi yang hanya berada pada kisaran 18,28 persen dan daging ayam kampung pada kisaran 10,81 persen.

Tingginya produksi daging ayam broiler disebabkan harganya yang relatif murah jika dibandingkan dengan bahan pangan daging hewani yang lain. Konsumsi ayam broiler ini tentu bermasalah, karena mayoritas antibiotik di Indonesia 80 persennya diperuntukkan peternakan ayam pedaging.

Perdebatan pengunaan antibiotik ini sudah berlangsung mulai dari dekade 40-an, ketika temuan Alexander Flamming tentang penisilin, streptomisin, dan klortetrasiklin mulai dipakai untuk mengendalikan wabah penyakit pada ayam.

Kekhawatiran akan penggunaan antibiotik secara berlebihan mengemuka setelah para ahli sains menemukan bakteri yang kebal terhadap antibiotik colistin. Dr Jianzhong Shen dari Universitas Pertanian Cina, sebagai salah satu yang menemukan resistensi antibiotik colistin menjelaskan itu.

“Seluruh negara-negara di dunia harus lebih bijaksana dan rasional dalam menggunakan antibiotik terhadap hewan. Sekarang saatnya untuk bertindak secara global untuk membatasi atau melarang penggunaan antibiotik dalam makanan untuk kebutuhan mempercepat perkembangan atau pencegahan penyakit.” Katanya dikutip dari BBC.

Para peternak dituntut mengurangi jumlah penggunaan antibiotik ini. Bagi peternak sendiri dengan mengurangi antibiotik berarti biaya perawatan akan naik hingga akhirnya merugi. Di sisi lain, mereka tak akan sanggup melayani permintaan yang semakin meningkat karena dibutuhkan peternakan yang lega dan lebih higienis untuk bisa bebas dari antibiotik.

Banyak orang telah tahu dan sadar akan bahaya ini. Namun, berharap banyak pada pelaku industri peternakan tentu sukar, apalagi terhadap pemerintah. Satu-satunya jalan untuk menekan hal itu adalah dengan menekan lewat industri jasa makanan.

Selain dijual ke konsumen pribadi, daging-daging dari industri peternakan banyak yang lari ke industri makanan. Baik itu pengolahan makanan ataupun restoran besar.

Pekan lalu, sebuah kampanye besar sedang dilancarkan di internet mendesak raksasa rumah makan cepat saji McDonald's menerapkan larangan penggunaan antibiotik pada penganan mereka. Aksi ini digagas oleh Lembaga ShareAction.

Mereka meminta para konsumen “mengebom” email ke pimpinan McDonald's, Steve Easterbrook untuk menerapkan larangan ini. Beberapa hari sebelumnya, McDonald’s sudah menerapkan aturan ini, namun baru mencakup 14.000 restoran di AS saja. ShareAction meminta aturan in diterapkan pada 30.000 restoran McDonald’s di seluruh dunia.

Tuntutan ini dinilai McDonald’s masih terlalu dini, karena untuk menekan peternak agar menyiapkan daging yang bebas antibiotik sangat sulit– terutama di negara-negara Asia dan Afrika. Karena itu mereka meminta tenggat waktu. Selain McDonald’s, KFC dan Wendy’s mendapat tuntutan sama. Mereka menjanjikan hal ini bisa terealisasi 2019 atau 2020 nanti.

Baca juga artikel terkait KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti