Menuju konten utama
Zulfikar Fahd:

Anti-LGBT di Indonesia, "Negara Telah Merampok Hak Privasi Gue"

Keterangan seorang Indonesia yang lari ke Kanada karena gelombang diskriminasi dan persekusi terhadap LGBT.

Anti-LGBT di Indonesia,
Zulfikar Fahd menilai negara Indonesia tidak mampu melindungi hak hidupnya sebagai gay. Tirto/Sabit

tirto.id - Zulfikar Fahd gugup. Pesawat yang ditumpanginya memasuki perbatasan Kanada. Perjalanan perdananya ke negara Justin Trudeau dan Justin Bieber ini, akhir Januari lalu, sekaligus jadi penerbangan pertamanya bukan sebagai wisatawan maupun warga negara Indonesia.

Tiba di loket 20, seoang petugas imigrasi bertanya: “Apa tujuan kunjungan Anda, Pak?”

Zulfikar menjawab, “Saya mau mengklaim suaka.”

Pria 30 tahun ini memang berniat jadi refugee di Kanada. Alasannya: Zulfikar, yang seorang gay, menilai negara Indonesia tidak mampu menjamin rasa aman dan perlindungan yang mumpuni terhadap LGBTIQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks, dan queer).

Homofobia di Indonesia menjalar dari ruang publik ke ruang privat, dan melangkah ke tahap yang makin serius lewat rumusan hukum pidana baru dalam Rancangan KUHP. Pengalaman ini dituliskan Zukfikar di blog pribadinya, yang kemudian viral dan jadi perhatian media internasional.

Zulfikar menilai pemerintah dan aparatur negara telah memperburuk keadaan bagi dirinya dan orang-orang LGBTIQ. Ia merasa hidupnya dalam bayang-bayang ketakutan karena negara melepaskan kewajiban proteksi terhadap kelompok-kelompok minoritas seksual.

Kanada adalah salah satu negara yang terbuka atas permohonan suaka, termasuk bagi warga negara asing yang hak hidupnya terancam karena kekerasan atau diskriminasi terhadap kelompok LGBTIQ.

Kini Zulfikar tinggal bersama sebuah keluarga di Ottawa, Ontario, untuk menghemat biaya hidup sekaligus memulai perjalanan hidup baru di kota yang kelak diharapkannya jadi rumah. Pada 20 Februari lalu, Zulfikar mengisahkan pengalaman dan alasan-alasannya menjadi pencari suaka kepada Aulia Adam via telepon.

Kapan ide ke Kanada terbersit?

Pertengahan tahun lalu. Terbersitnya gara-gara perlakukan pemerintah dan polisi sampai di tahap enggak aman.

Gue orangnya idealis. Gue pengen menikah, punya suami, anak. Dengan idealisme gue, mimpi gue itu enggak akan bisa terwujud di Indonesia.

Waktu itu RKUHP belum ribut-ribut. Gue baru dengar tentang RKUHP tiga minggu sebelum pergi (Januari 2018). Jadi, ya sebelum ada RKUHP ini juga gue udah mulai mikir untuk melanjutkan hidup ke negara lain. Waktu itu, tahuhn 2016, kan, sempat heboh juga. Menristek sempat keluarin statement yang mengancam (kelompok LGBTIQ).

Yang jadi pemicu gue adalah, ketika gue lihat (LGBTIQ) di Aceh dicambuk, di Bandung diusir gara-gara dikira lesbian, di Medan juga sama, di Jakarta—sauna digrebek dan fotonya dikasih ke reporter dan disebar di media. Sebagai gay yang open, menurut gue, pemerintah dan polisi udah merampok hak-hak privasi gue—hak-hak privasi kelompok LGBT. Gue mulai merasa enggak aman untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya ranah privasi gue.

Kenapa memilih Kanada?

Gue sebelumnya sempat tinggal di luar juga. Di Australia sama di US (Amerika Serikat). Sebelum milih ke mana, gue riset dulu. Kalau hasil riset apa yang gue lihat: Kanada adalah negara yang paling ramah dengan LGBT.

Ada sih beberapa negara lain yang terima refugee, tapi masih kontroversi juga. Dan kemungkinan diterimanya juga kecil.

Di Eropa sendiri refugee masih kontroversi. Gue malas ke Inggris karena isu Brexit. Kan salah satu yang diributkan di Brexit kemarin isunya refugee. Kalau ke Jerman atau Perancis gue mesti belajar bahasa mereka lagi. Akan sedikit menyusahkan gue entar untuk memulai hidup baru.

Karena gue bisa bahasa Inggris, gue pilih Kanada. Amerika sendiri juga enggak ramah dengan refugee, dan pemerintahannya homofobik.

Persiapannya apa saja?

Yah, paling basic, ya. Kayak semua dokumen gue, dari ijazah SD sampai semua kelengkapan identitas sebagai warga negara. Itu perlu untuk pemerintah Kanada mengcek.

Gue juga siapin kliping berita-berita yang membuktikan bahwa (hidup) LGBT enggak aman di Indonesia. Kebanyakan berita-berita internasional, sih. Jadi dokumen pendukung. Supaya menguatkan.

Persiapan finansial?

Gue juga udah siapin. Tapi tetap terbatas. Kan nasib gue di sini juga belum jelas. Maka gue juga ambil program yang bisa tinggal sama orang sini. Jadi, entar saya bisa tinggal gratis dengan mereka. Gantinya, saya bantuin mereka, kerjaan-kerjaan domestik.

Kebetulan keluarga yang gue tinggali sekarang lagi renovasi rumah. Jadi gue bantuin ngecat, masak. Jadi kerjanya empat jam sehari, tapi udah dikasih tempat tinggal, makan gratis. Dan mereka baik banget. Gue diajak nonton, jalan-jalan ke luar, ngopi.

Gue cari online. Waktu gue di Australia dan US, gue juga sempat ikut program kayak gini. Jadi udah enggak kagoklah. Lumayan untuk penghematan sekalian membuka kenalan baru.

Gue ke sini benar-benar enggak kenal siapa-siapa. Jadi, keluarga ini bisa jadi teman-teman pertama gue. Mereka juga udah ngajarin ini-itu, tentang gimana hidup di sini.

Sampai kapan rencananya tinggal dengan mereka?

Gue di sini sekitar lima mingguan-lah. Setelah itu entar gue cari rumah di Ottawa. (Keluarga) ini masih di Ottawa, Ontario juga, tapi udah sedikit jauh dari pusat kota. Gue entar cari rumah sewa yang dekat sama tempat les gue.

Gue rencananya mau les bahasa Perancis karena di sini bahasa keduanya bahasa Perancis. Jadi lumayan buat tambahan resume cari kerja nanti.

Rencananya akan lanjut kerja public relation atau yang lain?

Gue pengin tinggal di Ottawa dari kemarin sebelum ke sini. Cocok aja kotanya. Tapi Ottawa bukan daerah industri. Ini lebih ke kota pendidikan, kota keempat terbesar di Kanada.

Demand untuk jadi public relation lumayan di kota-kota yang lebih besar, misalnya di Toronto atau Vancouver. Gue tetap mau cari kerja sesuai bidang gue di public relation karena pengalaman gue di situ.

Tapi sekarang ada opsi baru untuk kerja sama pemerintah mereka untuk bantu kegiatan sosial buat komunitas LGBT di sini. Kalau untuk (pekerjaan) yang itu, gue bisa di sini (Ottawa). Tapi tetap enggak menutup peluang yang lain. Mungkin—mungkin ya, entar gue juga ke Vancouver atau Toronto.

Bagaimana respons orang-orang terdekat Anda ketika Anda memutuskan mencari suaka?

Teman-teman gue sedih. Dibikinin farewell—macam-macam. Sampai isi koper gue penuh gift macam-macam. Teman gue enggak banyak, terus terang bisa dihitung jari. Tapi mereka semua paham kenapa ini penting buat gue.

Mereka juga setuju kalau government sudah merampok hak asasi gue. Pada marah semua juga—padahal teman-teman gue straight semua—enggak punya teman LGBT sama sekali.

Kalau tinggal di Indonesia harus terus dalam kloset (tidak terbuka), dan gue udah pernah tinggal di kloset. Gue udah pernah hidup kayak begitu. Dan rasanya cuma depresi, enggak bisa jadi diri sendiri. Ya, jadi teman-teman gue tetap dukung.

Keluarga sendiri?

Sejauh ini keluarga juga dukung. Ibu gue dukung. Sepupu-sepupu gue juga sempat nelepon, nanyain kabar, gimana keadaan di sini.

Setelah Anda membagikan cerita di blog, sejauh ini dapat respons apa saja?

Sejauh ini responnya positif semua. Yang mengirim email ke gue jadi banyak banget. Ada juga yang nanya-nanya gimana cara mencari asylum. Ada yang udah berangkat, dan udah tinggal di sini duluan.

Mereka mengajukan suaka karena orientasi seksual?

Iya. Yang tinggal di sini karena orientasi seksual. Ada juga yang baru nyampe, terus ngajak ketemuan di sini. Tapi gue belum sempat balas semua. Terakhir ada dua—sepasang lesbian yang baru sampai di sini.

Gue sih kaget. Enggak nyangka ini jadi se-viral ini. Terakhir cek pageview-nya sampai 11 ribu. Tapi responnya positif semua, sih. Ngasih semangat.

Gue beruntung karena masih mampu sewa hotel sebelum tinggal di sini. Dan enggak punya beban bawaan yang terlalu banyak. Gue ketemu sama refugee-refugee yang bawa anak-anaknya, orangtua, dan harus tinggal di camp ketika sudah sampai di sini. Dan benar-benar harus memulai hidup baru. Bahkan banyak yang enggak bisa bahasa sini.

Respons dari pemerintah Indonesia, ada tidak?

Enggak, enggak ada. Sejauh ini enggak ada.

Saat di Indonesia, apa skenario terburuk yang pernah Anda hadapi sebagai seorang gay?

Skenario terburuk … gue ditanya di imigrasi kemarin, dan udah gue ceritain. Tapi, menurut gue, belum gue share ke media. Kemarin gue juga ditanya beberapa media dari luar dan dari Indonesia, tapi belum bisa gue bagi.

Anda sempat cerita dan bagikan foto tentang spanduk anti-LGBT yang dipasang di dekat rumah Anda…

Iya. Gue tinggal di Radio Dalam (Jakarta Selatan). Dan spanduk itu emang dekat rumah gue. Gue juga pernah tinggal di sebelah masjid, dan dengar ceramah anti-LGBT. Ya, kalau mereka tahu gue gay, hidup gue bisa bahaya. Jangankan punya suami, pacaran aja gue enggak berani. Entar tiba-tiba (bisa) digrebek.

Suaka Anda baru akan disidangkan Mei nanti. Seberapa besar keyakinan Anda untuk diterima?

Sebenarnya cukup yakin. Karena Kanada juga cukup ramah dengan refugee. Sejauh ini experience gue sama orang imigrasi juga bagus, mereka baik-baik banget dan apa ya ... enggak nakut-nakutin.

Pas gue interview gue kelihatan gugup banget. Malahan ditenangin mereka, bilang ke gue kalau gue enggak akan dipulangkan, kok. Disuruh tenang saja. Ya, karena enggak bisa bohong, perasaan takut itu pasti ada, kan.

Tapi, sejauh ini gue yakin, kok. Biasanya yang enggak diterima itu orang-orang yang negaranya dianggap masih bisa melindungi—polisi masih bisa melindungi mereka. Mereka masih bisa lapor ke polisi. Kan, di Indonesia, polisi udah ikutan persekusi.

Sama satu lagi yang ditolak: mereka yang ketahuan pura-pura gay supaya bisa dapat asylum. Enggak tahu juga kenapa bisa lolos, gimana mereka buktiinnya, tapi emang ada refugee-refugee yang nyamar begitu. Kalau gue kan gay beneran. Jadi enggak takut.

Selain suaka yang bisa diterima, hal lain apa yang Anda harapkan ke depan?

Gue sih percaya ini yang gue pengin. Gue nanti bisa dapat pekerjaan yang OK, temen-temen yang juga OK. Dari pengalaman gue traveling, gue akhirnya memutuskan untuk menetap dan menemukan rumah. Dan di rumah lu sendiri kan elu kepengin jadi diri sendiri. Itu yang enggak akan bisa gue temukan kalau gue masih tinggal di Indonesia.

Gimana mau bisa tinggal di negara yang melarang lu untuk jadi diri lu sendiri dan mencapai mimpi-mimpi lu? Gue berharap, negara ini [Kanada] akan jadi rumah gue dan mewujudkan mimpi-mimpi gue.

Baca juga artikel terkait LGBT atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Mild report
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam