Menuju konten utama

Antara Jamaah Islamiyah dengan Jamaah Ansharut Daulah

Kelompok JAD pandai sembunyikan perilaku radikal dan menghindari pengawasan aparat polisi.

Antara Jamaah Islamiyah dengan Jamaah Ansharut Daulah
Kabag Pensat Ropenmas Divisi Humas Mabes Polri Kombes Pol Yusri Yunus menunjukkan barang bukti bom yang digunakan oleh Para Terduga Teroris saat jumpa pers mengenai kasus teror Bom Surabaya di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (15/5/2018). ANTARA FOTO/Reno Esnir

tirto.id - Polisi menuding rentetan teror bom di Surabaya didalangi kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Nama ini menggantikan dominasi Jamaah Islamiyah (JI) dalam pemberitaan mengenai teror di Indonesia. Puncaknya setelah terjadi rentetan bom bunuh diri di Surabaya baru-baru ini.

Jika JAD terafiliasi dengan ISIS, JI menginduk pada al-Qaeda. Kelompok militan JI dilatih di berbagai medan, dari Afghanistan, Thailand, Malaysia, dan Filipina; sedangkan terduga teroris di Surabaya sejauh ini diduga kuat belum pernah ke Suriah.

Pengalaman tempur di medan-medan perang yang beragam ini membuat aksi-aksi teror JI bukan hanya lebih cermat, melainkan juga memiliki daya rusak yang luar biasa tinggi. Peneliti terorisme Al Chaidar menjelaskan serangan Bom Bali I dan II yang dilakukan JI berdaya ledak lebih tinggi dibandingkan teror di Surabaya yang menggunakan bom pipa. Bom Bali I, misalnya, dengan berat 6 ton berhasil menewaskan 202 orang.

“Itu jauh sekali [levelnya dengan bom JI],” kata Chaidar kepada Tirto, Selasa 15 Mei 2018.

Al Chaidar menegaskan pola serangan JAD cenderung acak. Serangan-serangan mereka, selain masih berskala kecil, dampaknya juga kurang terukur dan lebih cenderung menyasar publikasi sebagai efeknya.

Pola kaderisasi JI juga lebih ketat. Ketika salah satu pimpinannya tertangkap, maka sel organisasi dihapuskan. Maka dari itu Abu Bakar Ba'asyir seperti pemimpin tanpa pengikut. Anggota yang ditangkap aparat kepolisian pun tak bisa kembali ke dalam JI.

“JI tidak bisa sembarang masuk. Ini kalau JAD langsung main rekrut saja. Siapa saja bisa jadi JAD asal mau jihad,” ujarnya lagi. Itulah sebabnya pengungkapan sel atau jaringan mereka lebih rumit dan lama dibanding kelompok JAD di Surabaya.

Senada dengan Al Chaidar, Direktur The Community Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menyebut keanggotaan JAD lebih longgar sehingga bisa keluar masuk dengan relatif mudah. Bahkan banyak di antara mereka yang bertindak sendiri atau dalam kelompok-kelompok kecil.

“Mereka [JI] memang rapi, kalau JAD sangat cair, siapa saja bisa masuk,” tuturnya.

Perbedaan lainnya adalah target penyerangan. Bila JI menyasar orang asing, JAD lebih menyasar sipil dan polisi.

Selain itu JI tidak melibatkan perempuan dalam aksinya. Maka ketika teror di Surabaya ternyata melibatkan perempuan dan anak-anak, mudah ditengarai digerakkan kelompok yang terafiliasi dengan ISIS.

“Secara teologi, ISIS menganggap posisinya laki-laki dan perempuan itu sama derajatnya," tuturnya. Maka dari itu semua pihak harus dilibatkan.

“Sebab lainnya juga karena mereka kekurangan sumber daya [laki-laki] untuk jihad,” imbuhnya. Mereka bahkan nyaris tak sempat berlatih karena pengawasan ketat aparat negara.

Infografik Teror Jejaring Daulah

Kamuflase Anggota JAD

Peneliti terorisme dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menjelaskan JAD kerap melakukan evaluasi dari setiap serangannya. Salah satunya adalah berprilaku yang sesuai dengan lingkungan sekitar. Secara penampilan dan pola interaksi sosial kelompok JAD susah dibedakan dengan masyarakat pada umumnya. Sebisa mungkin mereka berperilaku berkebalikan dengan kelompok radikal.

"Tidak ada gelagat yang mengundang kecurigaan ketika, misal, berada di TKP atau lokasi-lokasi yang menjadi sasaran atau lokasi berikutnya," ujarnya.

Mantan anggota Polri yang pernah menjadi narapidana teroris, Sofyan Tsauri, menilai JAD jelas kalah besar dengan JI. Namun bukan berarti dampak serangan JAD bisa ditangani dengan enteng. Meski serangan-serangannya kecil, JAD memperpanjang umur keresahan.

“Jangan salah, kecil-kecil cabe rawit,” kata mantan anggota JI kelompok Dulmatin itu.

Dalam aksinya, JAD tidak ragu untuk melakukan serangan fisik. Serangan bom, menurut Sofyan, hanyalah alternatif karena serangan fisik sudah mudah ditangkal oleh polisi.

“Enggak ada bom, dia pakai pistol, pistol nggak ada dia pakai racun, racun nggak ada dia pakai garpu, garpu nggak bisa dia pakai belati. Ini makanya apa aja bisa, pakai panah, bakar-bakaran juga mereka bisa, apa saja mereka gunakan,” jelasnya.

Baca juga artikel terkait TEROR BOM GEREJA SURABAYA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Dieqy Hasbi Widhana