Menuju konten utama

Anies Bersikap 'Bodo Amat' dengan Potensi Pajak dari Alexis

Langkah pemerintahan Anies Baswedan menolak perpanjangan izin Hotel Alexis bikin potensi pajak dari sektor pariwisata berkurang untuk Pemprov Jakarta.

Anies Bersikap 'Bodo Amat' dengan Potensi Pajak dari Alexis
Ilustrasi pendapatan dari hiburan malam. tirto.id/Gery Paulandhika

tirto.id - Kalau Anda berkunjung ke tempat hiburan malam di Jakarta, tengoklah kertas tagihan yang Anda bayar. Di sana tertera pajak yang Anda sumbang, yang secara tak sadar masuk ke kocek pemerintahan DKI Jakarta.

Besaran pajak resmi ini 30 persen, yang dibebankan kepada pengunjung, ketika Anda mencicipi fasilitas di semua tempat hiburan malam di Jakarta. Biaya masuk, minuman, hingga rokok yang Anda pesan pun beban pajaknya sama: 30 persen.

Jumat malam pekan lalu, kami mendatangi Malio Club, satu dari puluhan tempat hiburan malam di Jakarta Pusat, berjarak sekitar 3 kilometer dari Balai Kota Jakarta. Sebelum masuk, dua petugas keamanan mengecek barang-barang yang dibawa pengunjung. Beres, pintu pun dibuka. Di dalam, empat petugas keamanan menanyakan jumlah pelancong.

“Empat orang,” teriak petugas itu kepada kasir yang duduk di depan pintu masuk Malio Club.

Sesudah kasir menginput data, kami diberi gelang bernomor sebagai akses masuk. Gelang ini juga dipakai untuk mencatat pesanan ke dalam tagihan.

Ketika kami memasuki Malio Club, musik disko menggema. Dari atas panggung, puluhan penari berpakaian serba minim meliuk-liuk sepadu irama musik yang memekak telinga. Para pelancong malam menggoyangkan seluruh badan, seraya mengepulkan asap rokok. Di sofa-sofa yang mengelilingi panggung para penari itu, para perempuan berparas ayu berpakaian serba ketat duduk menemani para pelancong. Pandangan mata mereka menyambut kedatangan kami.

Pemandangan ini jelas tak ada yang gratis. Sekali masuk buat menikmati tarian sensual itu, Anda harus membayar Rp130 ribu. Kalau mau duduk di sofa, biayanya juga ada: Rp100 ribu. Bila ditemani wanita, Anda harus menambah biaya mentraktir minuman beralkohol. Per seloki, harganya Rp65 ribu.

Hanya setengah jam kami berada di Malio Club, menghabiskan dua batang rokok, sambil menikmati alunan musik dugem dikerubungi enam wanita, tagihan sudah membengkak hingga Rp2,2 juta. Rinciannya: Rp1.720 ribu buat biaya masuk dan minuman yang kami pesan, sedangkan sisanya, Rp529 ribu, adalah beban pajak yang kami setorkan secara tidak sadar untuk Pemda DKI Jakarta.

Di tempat-tempat hiburan malam di Jakarta, pajak bagi pelancong malam pun serupa.

Di Colosseum Club, misalnya, tiket sekali masuk Rp200 ribu. Harga ini sudah termasuk pajak dan sebotol Smirnoff, yang Anda bisa tukarkan di meja bar, tepat di depan lantai dansa. Kalau mau duduk, yang lokasinya tepat di depan panggung disjoki, Anda kena biaya tambahan. Minimal harus transaksi Rp2,5 juta untuk duduk dengan memesan minuman beralkohol. Kalau mau duduk di sofa, biayanya juga ada, yakni Rp5 juta untuk 10 orang. Harga itu sewaktu-waktu bisa berubah.

Anda bisa menikmati permainan musik DJ yang bikin panas lantai dugem dari pukul setengah 10 malam hingga empat dinihari. Saban hari kelab malam yang terafiliasi dengan Grup Alexis ini menghibur para pelancong malam dari disjoki lokal hingga mancanegara. Pada 22 November nanti, misalnya, Colosseum Club mendatangkan DJ muda asal Belanda, Sophie Francis.

Infografik HL Indepth Hiburan Malam

Setoran Pajak Hiburan Malam bagi Jakarta

Meski besaran pajak itu dibebankan kepada para pelancong hiburan malam di Jakarta, nyatanya bisnis ini tak pernah surut. Perolehan pajak terus naik saban tahun. Posisinya tak pernah berubah: peringkat kedua di bawah pendapatan pajak kendaraan bermotor.

Realisasi pendapatan pajak dari bisnis hiburan pada 2016 mencapai Rp536 miliar atau 74,20 persen dari target sebesar Rp750 miliar. Hingga Oktober tahun ini, realisasi pajak hiburan mencapai Rp556 miliar dari target yang sama.

Pajak hiburan yang ditetapkan Pemprov DKI Jakarta, sebagaimana Perda Nomor 3 tahun 2015, dibagi ke dalam 11 objek pajak, di antaranya diskotek, karaoke, kelab malam, panti pijat, dan spa. Pungutan pajaknya berbeda: 25 persen untuk diskotek, karaoke, dan kelab malam; 35 persen untuk panti pijat dan spa.

Penepatan besaran pajak itu berlaku ketika DKI Jakarta dipimpin Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Penaikan pajak itu disebut oleh Ahok untuk menggenjot pendapatan daerah dari target pajak sebesar Rp45 triliun. Dan sesuai undang-undang pariwisata, pajak hiburan tergolong ke dalam pajak pariwisata, termasuk mencakup hotel dan restoran.

Total pendapatan pajak pariwisata di DKI Jakarta tahun 2016 sebesar Rp4,7 triliun.

Dalam kasus hotel dan griya pijat Alexis, yang perpanjangan izinnya ditolak oleh Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada akhir Oktober lalu, manajemen telah menyumbangkan pajak bagi Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp27,2 miliar pada 2016. Hingga Oktober 2017, total pajak yang sudah disetorkan Alexis kepada Pemprov Jakarta sebesar Rp20,8 miliar. Jumlah ini dirinci dari pajak karaoke Rp8,7 miliar, pajak hotel Rp4 miliar, dan pajak spa Rp8,1 miliar.

Bila ditotal sepanjang 2015-2017, dari data setoran masuk dan omzet Alexis yang diperoleh redaksi Tirto, pajak Alexis bagi pemerintahan DKI Jakarta mencapai 63,6 miliar.

Wajar bilamana manajemen Alexis mengklaim jika mereka membayar pajak sekitar Rp30 miliar kepada Pemprov Jakarta.

”Kami taat pajak, per tahun kami bayar sampai Rp30 miliar. Sudah include semuanya. Kalau pajak sebesar itu, bisa dibayangkan berapa omzetnya,” ujar Lina Novita, kuasa hukum Hotel Alexis saat jumpa pers, akhir Oktober lalu.

Baca juga: Alexis Klaim Setor Pajak Rp30 Miliar per Tahun

Namun, berbeda dari pendahulunya, Anies justru menutup salah satu saluran PAD Jakarta dengan menghentikan kegiatan Hotel Alexis. Ia bahkan berencana menutup hotel sejenis Alexis dengan alasan “ingin uang (pajak) halal” untuk pembangunan DKI Jakarta.

“Enggak berkah,” kata Anies di Balai Kota Jakarta.

Baca juga: Pemprov DKI Tolak Perpanjangan Izin Usaha Hotel Alexis

Soal perpanjangan izin Hotel Alexis yang dihambat pemerintahan baru Jakarta, Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta Erick Halauwet mengatakan hal itu "akan berdampak" pada usaha sejenis. Alasannya, usaha sejenis Alexis berkontribusi signifikan bagi pendapatan pajak Jakarta.

"Seharusnya ada peringatan dulu, ada tim investigasi datang. Jangan [giring] opini masyarakat terus, nanti lama-lama semua hotel digituin," ujar Erick melalui sambungan telepon.

Baca juga wawancara dengan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, Tinia Budiati: 'Kalau Mau Menutup Alexis, Harus Ada Bukti Pelanggaran'

Baca juga artikel terkait PENUTUPAN ALEXIS atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Bisnis
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam