Menuju konten utama
5 tahun Pemerintahan Jokowi

Angka Pengangguran Turun Tapi SMK Hingga Sarjana Susah Kerja

Meski pertumbuhan ekonomi cuma berada di kisaran 5-5,2 persen, tapi tingkat pengangguran terbuka masih bisa dikurangi oleh Jokowi. Patutkah mantan Walikota Solo itu jemawa?

Presiden Joko Widodo keluar dari ruang sidang paipurna usai memberikan pidato kenegaraan dalam Sidang Bersama DPD-DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Upaya Jokowi mengurangi jumlah pengangguran di periode pertama pemerintahannya patut diapresiasi. Meski ekonomi cuma tumbuh di kisaran 5-5,2 persen, tingkat pengangguran terbuka (TPT) masih bisa ditekan hingga posisi 5,01 persen—per Februari 2019.

Namun, bukan berarti pemerintah bisa jemawa. Sebab, penurunan tingkat pengangguran itu justru melambat ketimbang periode 2009-2014. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pengangguran di periode akhir SBY itu menyusut dari 7,87 persen (Agustus 2009) menjadi 5,94 persen (Agustus 2014.)

Pemerintah perlu berhati-hati dengan serapan tenaga kerja yang mencapai 94,9 persen atau setara 129,36 juta orang itu. Sebab, dari komposisi tenaga kerja Indonesia didominasi lulusan SD dan SMP sebanyak 75,37 juta orang atau 58,7 persen.

Belum lagi, persentase pengangguran berpendidikan tinggi mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir—kecuali lulusan SMA yang turun dari 9,10 (Februari 2014) menjadi 6,78 persen (Februari 2019).

Pengangguran dengan ijazah SMK, misalnya, bertambah dari 7,21 persen menjadi 8,63 persen. Sementara pengangguran lulusan Diploma I/II/III dan Sarjana naik dari 5,87 persen menjadi 6,89 persen dan 4,31 persen menjadi 6,24 persen.

Berbanding terbalik, tren angka pengangguran SD sampai dengan SMP dalam 5 tahun terakhir ini justru menurun. Pada 2014, angka pengangguran SD turun dari 3,69 persen menjadi 2,65 persen. Sementara SMP turun dari 7,44 persen menjadi 5,04 persen.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan, angka ini bisa menjadi bom waktu karena pasar tenaga kerja ke depan mengarah ke automatisasi.

“58 persen orang yang bekerja masih lulusan SMP ke bawah. Ada isu nanti ke depan lapangan kerja banyak yang akan hilang meski ada juga yang bermunculan. Kalau skill terbatas, mereka akan susah adaptif,” ucap Heri saat dihubungi reporter Tirto Selasa (15/10/2019).

Tak Terserap Industri

Memang, secara intuitif, umumnya lulusan pendidikan SMA hingga Universitas cenderung pilih-pilih dalam mencari pekerjaan. Tapi menurut Heri, hal itu tak bisa dijadikan apologi lantaran di saat yang bersamaan, kinerja industri pengolahan atau manufaktur juga menunjukkan perlemahan.

Akibatnya, ribuan tenaga kerja terutama lulusan sekolah kejuruan (SMK) tak bisa terserap ke sektor industri.

BPS mencatat, pertumbuhan pekerja sektor manufaktur mengalami perlambatan sebesar 0,2 persen year on year. Di sisi lain, kontribusi industri pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga turun dari 4,51 persen (kuartal IV/2017) menjadi menjadi 4,25 persen (kuartal IV/2018).

Lantaran itu lah, menurut Heri, pemerintah harus mempertimbangkan ketersediaan lapangan kerja ketika mendirikan sekolah-sekolah kejuruan. Di samping itu, penyiapan tenaga kerja lewat SMK juga harus memperhatikan potensi masing-masing daerah.

“Ini bikin sekolah-sekolah untuk pekerjaan yang lagi dicari, padahal nanti ada titik optimum dan tidak efektif. Harusnya sesuai core daerahnya apa,” terang Heri.

Pekerja Informal Masih Tinggi

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Akhmad Akbar Susamto, memberi catatan pada proporsi tenaga kerja informal yang masih tinggi.

Dalam lima tahun terakhir, pekerja informal hanya turun dari 59,81 persen (Februari 2014) menjadi 57,27 persen (Februari 2019), meski sempat ditekan hingga 51,85 persen pada 2015.

Hal ini dirasa tak bagus bagi perekonomian sebab, sumbangsih sektor informal atau "jasa lainnya" terhadap PDB hanya sebesar sebesar 1,84 persen, meski mengalami pertumbuhan cukup--hingga 9,84 persen pada kuartal IV tahun lalu.

“Kita kalau bisa memang banyaknya di formal bukan non formal. Kalau bisa formal naik, informal turun. Masalahnya ini kebalikannya,” tutur Akhmad dalam paparannya di Hongkong Cafe, Jakarta Selasa (30/7/2019).

Apalagi, menurutnya, tingkat kesejahteraan para pekerja informal seperti buruh tani, buruh bangunan, dan pembantu rumah tangga masih minim.

Dari analisisnya, upah nominal terus naik dari tahun ke tahun, tetapi upah nominal sebagai ukuran daya beli yang mempertimbangkan kenaikan inflasi justru stagnan dan menurun.

Data BPS menunjukan upah nominal per 1 Agustus 2017 mencapai Rp 50.100 per hari dan naik per Agustus 2019 menjadi Rp 54.424 per hari. Namun, upah riilnya dari semula Rp 37.500 per hari hanya naik tipis menjadi Rp 37.904 per hari.

“Upah naik terus tapi nominalnya saja. Kalau dia stagnan atau turun di riil, artinya kurang sejahtera,” ucap tandasnya.

Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Binalattas) Kementerian Ketenagakerjaan Bambang Satrio Lelono menyatakan, capaian pemerintah dalam menurunkan jumlah pengangguran cukup baik karena diikuti dengan penurunan tingkat kemiskinan dari sekitar 11 menjadi 9,41 persen.

“Capaiannya 5 tahun terakhir di ketenagakerjaan menunjukan perbaikan,” ucap Bambang melalui pesan singkat Selasa (15/10/2019).

Ia tak memungkiri masih tingginya pengangguran dengan background pendidikan SMA hingga perguruan tinggi. Namun, pemerintah telah memberikan bantuan fasilitas agar mereka bisa meningkatkan kapasitas diri dan bersaing di pasar tenaga kerja.

Salah satunya, adalah Balai Latihan Kerja (BLK) yang aksesnya kini dipermudah dengan penghapusan persyaratan dan didukung kartu pra pekerja yang menyokong masyarakat yang mengikuti pelatihan.

“Jadi siapapun, apapun pendidikannya kalau butuh pelatihan silahkan datang ke BLK,” ucap Bambang singkat.

Baca juga artikel terkait PENGANGGURAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana