Menuju konten utama

Anggaran Tak Seperti KPK Jadi Dalih Polri Tak Maksimal Bekerja

Kapolri menghendaki agar sistem anggaran operasional di kepolisian diubah seperti yang diterapkan di KPK.

Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian memberikan konferensi pers akhir tahun di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (29/12/2017). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengeluhkan minimnya anggaran kepolisian dalam menangani perkara, terutama di bidang reserse. Ia mencontohkan kasus penghinaan yang mendapat bujet Rp7 juta per kasus, ternyata bisa membengkak karena pihaknya harus melakukan cek lapangan.

Hal tersebut terjadi karena anggaran di kepolisian menggunakan sistem indeks. Selama ini, Polri membagi penanganan perkara dalam empat kategori, yakni: kasus sangat sulit, sulit, sedang, dan ringan. Namun, anggaran yang dikeluarkan untuk kasus tertentu tidak bisa diprediksi, justru bisa bisa melampaui anggaran yang diperkirakan.

Tito pun menginginkan agar sistem dana operasional dalam pengungkapan kasus dan pelayanan masyarakat di kepolisian diubah menjadi at cost atau biaya yang dikeluarkan sesuai dengan bukti pengeluaran yang sah atau sistem klaim. Hal ini sudah diterapkan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Kalau di KPK menggunakan sistem at cost, sementara Polri indeks. Tidak akan mungkin maksimal bekerja,” kata Tito di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Rabu (3/1/2018).

Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP, Junimart Girsang membenarkan pernyataan Tito. Menurut dia, sistem anggaran kegiatan kepolisian memang harus diganti menjadi at cost.

Alasannya, dalam beberapa kali kunjungan lapangan yang dilakukan oleh Komisi III DPR ditemukan banyak polisi di daerah yang kesulitan untuk mengusut kasus karena kurang dana. “Saya kira tidak masalah dengan at cost. Asal under control. Tapi, kan, sekarang sudah eranya IT dan transparan,” kata Junimart kepada Tirto, Kamis (4/1/2018).

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, Azis Syamsudin sependapat dengan Junimart. Menurut Azis, tidak ada masalah apabila Polri menggunakan sistem at cost seperti halnya KPK. Namun dengan catatan ada jaminan peningkatan kinerja.

“Asal sistem pembukuannya harus dibenahi,” kata Azis kepada Tirto.

Kinerja Polisi Tak Tergantung Dana

Namun demikian, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyebut, kinerja tidak mesti berbanding lurus dengan dana. Menurut dia, berapapun dana yang dimiliki oleh kepolisian, asalkan sistem keorganisasian di dalamnya benar, maka kinerja mereka akan tetap berjalan dengan efektif.

“Karena itu, yang perlu dibangun itu etos kerja dan budaya kelembagaan sebuah lembaga atau organisasi,” kata Fickar kepada Tirto.

Bagi Fickar, dengan adanya penambahan remunerasi dari tahun ke tahun di tubuh kepolisian sudah cukup untuk melakukan kinerja yang efektif dalam menangani kasus dan melayani masyarakat.

Bila merujuk pada anggaran Polri dalam APBN, setiap tahun memang menunjukkan kenaikan. Misalnya, pada APBN Perubahan 2015, anggaran Polri mencapai Rp57,1 triliun. Anggaran lalu naik pada APBN 2016 menjadi Rp73 triliun, sementara pada APBN-P 2016 kembali naik mencapai Rp79,2 triliun. Begitu juga dalam APBN 2017 yang dianggarkan sebesar Rp84 triliun.

Berbeda dengan pagu anggaran KPK yang kenaikannya tidak terlalu signifikan, bahkan turun drastis pada APBN 2017. Misalnya, pagu anggaran KPK dalam APBN-P 2015 sebesar Rp898 miliar, naik menjadi Rp1 triliun pada APBN 2016. Akan tetapi, bujet tersebut dikurangi menjadi Rp991 miliar dalam APBN-P 2016, dan pada APBN 2017 hanya ditetapkan sebesar Rp734 miliar.

Dalam catatan Tirto, remunerasi Polri memang terus bertambah dari tahun ke tahun. Misalnya, anggaran untuk mengungkap kasus tindak pidana umum yang tadinya Rp445 miliar pada 2015 menjadi Rp598 miliar pada 2016. Anggaran buat pidana narkoba, Polri menerima Rp108 miliar pada 2015 dan naik menjadi Rp225 miliar pada 2016. Buat tindak pidana ekonomi khusus, anggarannya Rp20 miliar menjadi Rp25 miliar.

Kenaikan anggaran ini didistribusikan ke 33 Kepolisian Daerah, dan menetes lagi ke Kepolisian Resort Kota Besar, Resort Kota hingga Kepolisian Sektor. Lantaran bentuk laporan pemakaian anggaran ke Kementerian Keuangan tidak rinci, tidak ada angka pasti berapa jatah anggaran operasional yang dibagi-bagikan dari Markas Besar Polri.

“Persoalannya, sistem keorganisasian di tubuh Polri yang belum sehat dan masih rawan korupsi di tingkat atas,” kata Fickar.

Sistem yang belum sehat itu, kata Fickar, menjadikan dana operasional kepolisian di tingkat daerah terpangkas dan membuat kinerja mereka dalam menangani kasus dan pelayanan masyarakat menjadi tidak efektif.

Hal ini terbukti dari hasil penelitian oleh Kemitraan tentang Indeks Tata Kelola Kepolisian pada 2015 di 31 Polda seluruh Indonesia, ditemukan anggaran operasional untuk penanganan tidak pidana kejahatan umum hanya 36 persen. Imbasnya, hanya 19.670 berkas kasus yang ditangani dari total 130.264 kasus yang dilaporkan.

Sementara dari anggarannya hanya cukup buat 7.081 berkas kasus, dan yang naik ke meja persidangan cuma 3.965 berkas kasus. Untuk kasus narkoba, dari total 14.563 kasus yang dilaporkan, hanya 4.135 berkas kasus yang ditangani. Adapun untuk tindak pidana narkoba, hanya 654 kasus yang berhasil dipersidangkan dari 1.488 berkas kasus.

Minimnya anggaran yang sampai ke daerah ini pula yang sering dijadikan alasan dan celah terjadinya praktik penyuapan. Praktik itu, misalnya, mengubah pasal hingga merekayasa perkara dengan mengubah Berita Acara Pemeriksaan(BAP). Dari sana anggota-anggota penyidik Polri mengutip uang dari tersangka. Kasus ini bisa untuk pidana apa saja, termasuk pidana narkoba.

Pembenahan Struktur untuk Cegah Korupsi

Terkait kerawanan korupsi di tubuh kepolisian ini, Peneliti Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane menyatakan, tindakan korupsi bisa dicegah oleh kepolisian dengan perampingan struktur dan meningkatkan efektivitas organisasi.

“Karena, sebagian besar anggaran [kepolisian] itu untuk belanja pegawai, karena komposisi struktur Polri semakin tambun, jumlah jenderal dan jabatan-jabatan kian banyak," kata Neta kepada Tirto.

Menurut Neta, tanpa adanya perampingan struktur di tubuh Polri, maka sistem pendanaan apapun yang digunakan hanya akan habis untuk belanja pegawai. Bukan untuk pengungkapan kasus dan pelayanan masyarakat.

“Sedangkan untuk pengawasan korupsi lembaga pengawas internal dimaksimalkan dan pengawas eksternal diberi akses yang luas,” kata Neta.

Baca juga artikel terkait ANGGARAN POLRI atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi & Mohammad Bernie
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Abdul Aziz