Menuju konten utama

Anggaran Influencer & BPIP Melangit, Komnas HAM & LPSK Sebaliknya

ICW mencatat sekurang-kurangnya Rp1,29 triliun dianggarkan untuk media sosial sejak periode pertama Presiden Joko Widodo.

Anggaran Influencer & BPIP Melangit, Komnas HAM & LPSK Sebaliknya
Ilustrasi Influencer. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis kajian terbaru soal penggelontoran dana negara besar-besaran untuk keperluan aktivitas digital, media sosial sampai influencer dan mungkin buzzer.

Sejak periode pertama Presiden Joko Widodo, ICW mencatat sekurang-kurangnya Rp1,29 triliun dianggarkan untuk hal tersebut. Rp322,3 miliar di antaranya dihabiskan untuk 2020 yang notabene momen berhemat demi penanganan COVID-19.

Kajian ICW itu disampaikan dalam diskusi daring berjudul Rezim Humas: Berapa Miliar Anggaran Influencer yang berlangsung pada Kamis (20/8/2020). ICW menelusuri aktivitas pengadaan barang dan jasa (PBJ) di kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) di masing-masing situs LPSE selama 14-18 Agustus 2020.

“Beberapa kata kuncinya seperti: media sosial/social media, influencer, key opinion leader, komunikasi, Youtube," ucap Peneliti ICW Egi Primayoga dalam paparannya.

Selama 2014-2020, porsi anggaran medsos terbesar dipegang Kepolisian RI senilai Rp937 miliar (12 paket), Kementerian Pariwisata Rp263,99 miliar (44 paket), Kementerian Keuangan Rp21,25 miliar (17 paket), Kemenkominfo Rp11 miliar (11 paket), dan sisanya terbagi ke beberapa kementerian dengan nominal masing-masing di bawah Rp5 miliar.

Sementara itu, dari tahun ke tahun, jumlah anggaran medsos ini juga cukup besar. Dari Rp5,3 miliar (2015), Rp535,9 miliar (2017), Rp247,6 miliar (2018), Rp183,6 miliar (2019) dan Rp322,3 miliar (2020).

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan tingginya anggaran untuk medsos ini bermasalah. Pertama alokasi anggaran untuk medsos ini dilakukan secara gelondongan sehingga minim transparansi dan akuntabilitas.

Kedua, lonjakan anggaran medsos baru-baru ini justru malah diikuti munculnya berbagai kasus yang bernada membungkam kebebasan berpendapat. Ia mencontohkan adanya polarisasi dan stigma terhadap orang-orang yang berbeda pendapat.

Ditambah lagi kasus peretasan mulai sering terjadi seperti yang dialami aktivis Ravio Patra, akademisi hingga media massa. Lalu ada juga pengumbaran identitas pribadi ke publik (doxing) orang-orang yang bersikap kritis kepada pemerintah oleh pihak tak bertanggung jawab

“Jangan-jangan orang yang bergerak dibayar dari anggaran itu,” ucap Asfinawati dihubungi, Jumat (21/8/2020).

Di samping dana medsos, ia juga menyoroti Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang posisinya berbahaya karena mengarahkan tafsir tunggal Pancasila seperti Orde Baru. Anggarannya justru mendapat kemewahan dari hanya Rp68,9 miliar di 2018 bisa menjadi Rp404,1 miliar di 2019. Pada 2020 anggarannya tetap besar Rp216 miliar meski dipotong menjadi Rp160 miliar sesuai revisi APBN Perpres 72/2020.

Sebaliknya, anggaran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terus turun. Pada 2015 nilainya Rp150 miliar dan terus berkurang menjadi Rp75 miliar (2018), Rp65 miliar (2019).

Pada 2020, LPSK hanya memiliki Rp12 miliar untuk menjalankan fungsi perlindungan saksi-korban lantaran anggarannya hanya Rp54 miliar. Sebanyak Rp42 miliar dari total anggaran itu sudah dikunci Kementerian Keuangan untuk gaji dan operasional.

Pada revisi APBN Perpres 72/2020, anggaran LPSK dipangkas lagi menjadi Rp45 miliar saja. Tak heran pada Agustus 2019 lalu, LPSK menyatakan dirinya hampir kolaps.

Anggaran Komnas HAM juga stagnan. Pada 2014 anggaran Komnas HAM Rp84 miliar dan terus bertahan di bawah Rp100 miliar sampai pada 2019 mencapai Rp100 miliar. Pada 2020, anggaran Komnas HAM hanya senilai Rp100,3 miliar.

Asfinawati mengatakan hal ini menjadi ironi pemerintahan Joko Widodo. Pada Jumat (14/8/2020) misalnya, Jokowi menegaskan kebijakan harus mengedepankan ramah lingkungan dan perlindungan HAM termasuk tak main-main dengan penegakan hukum. Namun mata anggaran untuk pemenuhan HAM dan perlindungan saksi-korban saja mendapat prioritas terbelakang.

“Anggaran paling enggak bisa dibohongi. Pidato bisa sebutkan peduli HAM dan apapun, tapi tanpa anggaran orang enggak bisa kerja. Kemanusiaan tidak ada di pusat perhatian pemerintahan Jokowi,” ucap Asfinawati.

Pemerintah: Anggaran Influencer Bukan Masalah

Menanggapi hal itu, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menilai penggunaan influencer seperti yang dipersoalkan ICW tak perlu diributkan. Menurut dia, selama tujuannya bukan disinformasi bahkan manipulasi, maka keterlibatan influencer termasuk penyediaan anggarannya tak masalah.

Yustinus menilai saat ini platform komunikasi sudah bergeser dari cetak/elektronik ke digital dan utamanya medsos. Dalam pesan singkat, Jumat (21/8/2020) Yustinus beralasan, “Akan lucu dan boros jika memaksakan iklan di media yang sudah pudar pengaruhnya, meski itu juga tetap dilakukan dengan porsi lebih kecil.”

Soal penetapan anggaran yang terkesan kecil di lembaga tertentu--seperti LPSK dan Komnas HAM--menurutnya sudah melalui banyak pertimbangan. Ia bilang penurunan anggaran yang dialami sudah direncanakan setiap institusi dan semakin dalam karena COVID-19.

“Biasanya dikaitkan dengan kemampuan mereka membelanjakan atau menyerap anggaran sebelumnya, juga kemampuan merancang kegiatan/program,” ucap Yustinus

Sementara itu, Polri sudah sempat mengklarifikasi kehadiran anggaran medsos di lembaganya, Rabu (26/2/2020). Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra mengatakan kegiatan promosi akun resmi media sosial Polri bertujuan mengembangkan kegiatan kepolisian. Ia juga menyebutkan pelelangan sudah dilakukan sesuai prosedur.

Baca juga artikel terkait ANGGARAN INFLUENCER atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Politik
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan