Menuju konten utama

Ancaman Resesi Semakin Nyata Akibat COVID-19, Indonesia Bisa Apa?

Ekonom Indef Rizal Taufikurahman berkata resesi kemungkinan bakal terjadi karena pertumbuhan Q2 akan lebih buruk dari perkiraan awal dan akan berlanjut di Q3.

Ancaman Resesi Semakin Nyata Akibat COVID-19, Indonesia Bisa Apa?
Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelum memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (11/3/2020). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama.

tirto.id - Potensi resesi ekonomi kian membayangi Indonesia. Pada kuartal II (Q2) 2020, kontraksi pertumbuhan ekonomi sudah di depan mata dan Kementerian Keuangan memprediksi minus 3,1%. Sementara pada Q3 2020, prediksinya juga belum menggembirakan lantaran kontraksi dikhawatirkan masih tetap terjadi dan memenuhi syarat resesi: tumbuh negatif dua kuartal berturut-turut.

Pemerintah pun berjibaku agar pertumbuhan tak terus merosot. Mulai dari pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di awal Juni 2020 dan menggelontorkan anggaran jumbo dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Menteri Keuangan Sri Mulyani berharap tekanan terberat berakhir pada Mei 2020 dan membaik mulai Juni 2020 sehingga kontraksi seterusnya bisa diminimalisasi. Pada Q3, secara teknis, resesi bisa dihindari.

“Kuartal I (Q1) masih 3%, kuartal II (Q2) negatif, kami harap kuartal III (Q3) pulih mendekati 0%,” ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual, Selasa (16/6/2020).

Kepala Center of Macroeconomics and Finance Insitute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman mengatakan potensi resesi yang diantisipasi pemerintah kemungkinan besar bakal terjadi. Sebab pertumbuhan pada Q2 akan lebih buruk dari perkiraan awal dan berlanjut di Q3.

“Sangat besar peluang dan terbuka pintu resesi yang semakin terkontraksi. Resesi sudah di ambang. Barangkali sudah masuk di wilayah resesi,” ucap Rizal saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (17/6/2020).

Ia mencontohkan simulasi Indef pada Mei 2020 awalnya memprediksi kontraksi Q2 2020 masih bisa dijaga minus 0,15 persen dalam skenario sangat berat dengan asumsi realisasi stimulus lebih dari 50% dan penanganan COVID-19 cukup 3 bulan.

Kenyataannya, realisasi stimulus per Mei 2020 ini jauh di bawah itu, bahkan tak sampai 10%. Data Kemenkeu menunjukkan Insentif usaha hanya terealisasi 6,8%, UMKM 0,06%, dan pembiayaan korporasi 0% meski perlindungan sosial terealisasi 28,63%.

Untuk penanganan COVID-19 saja, saat ini kurva kasus baru belum menunjukkan tanda-tanda melandai. Rizal yakin masyarakat pun akan semakin menahan konsumsinya. Imbasnya ekonomi akan tergerus lagi lantaran konsumsi memegang lebih dari 58,14% porsi PDB pada Q1.

Rizal juga menyoroti prediksi Sri Mulyani yang menargetkan angka 0% pada Q3 2020. Meski secara statistik membaik dari minus Q2 2020, ia menilai ada potensi kebijakan fiskal pemerintah tak cukup efektif lantaran seharusnya bisa benar membawa pertumbuhan positif di Q3 2020.

“Kalau masih business as usual menjalankan insentif fiskal dan distribusi program-programnya tidak juga efektif, maka besar kemungkinan Q3 jauh dari nol dan bisa saja minus,” ucap Rizal.

Situasi Q3 2020 menurut Rizal masih akan tetap menantang. Pasalnya memasuki Q3 2020, sejumlah daerah penyumbang pertumbuhan ekonomi seperti Jakarta, Jawa Barat, dan terutama Jawa Timur masih masuk sebagai zona merah sehingga praktis menghambat efek pelonggaran PSBB.

Dari sisi konsumsi masyarakat tentu masih akan menahan diri lantaran ketidakpastian masih tinggi. Konsumsi juga menurun karena lonjakan PHK karyawan yang masih terus terjadi hingga penghujung Q2 2020. Di samping itu, buruknya ketepatan sasaran penyaluran bantuan sosial menurutnya juga semakin membuat peningkatan daya beli meleset.

Dari sisi investasi yang memegang 31,91% porsi PDB, trennya juga belum akan menguat signifikan. Indikator seberapa mahal investasi di suatu negara atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia terakhir di angka 6, lebih tinggi dari rata-rata ASEAN kisaran 3-4.

Indikator Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) pada Q3 2020 juga berpotensi tertekan karena penurunan impor barang modal terus terjadi dan semakin dalam pada Mei 2020. BPS mencatat pertumbuhannya minus 29,01% month to month dan minus 40% year on year.

Peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar B. Hirawan menilai pada Q3 2020, Indonesia seharusnya mulai pulih sehingga tak akan separah Q2 2020. Situasi ini didukung oleh pelonggaran PSBB dan transisi kelaziman baru.

Menurutnya jika pertumbuhan konsumsi dan investasi bisa dijaga di atas 2-3%, maka dampaknya akan signifikan agar Indonesia bisa lolos dari resesi.

Hanya saja arah pergerakan positif ini berlaku terbatas. Fajar bilang pemerintah memastikan penanganan COVID-19 berjalan baik dan pelonggaran PSBB tak malah menyumbang lonjakan kasus.

Menurut Fajar, potensi resesi yang terlihat dari capaian pertumbuhan Q3 akan sangat bergantung pada seberapa besar ketidakpastian yang masih akan terjadi, kapan puncak pandemi terjadi, dan cara penanganan COVID-19.

“Potensi [resesi] tetap ada tapi lagi-lagi tergantung dari evaluasi selama masa relaksasi ini. Kita tidak mau jika relaksasi malah akan membuat kasus semakin naik dan ekonomi memburuk,” kata Fajar dalam pesan singkat, Rabu (17/6/2020).

Baca juga artikel terkait RESESI EKONOMI atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz