Menuju konten utama

Ancaman Resesi Global Mengintai Indonesia, Pemerintah Harus Apa?

Sinyal resesi terlihat ketika bank-bank sentral di seluruh dunia secara bersamaan menaikkan suku bunga sebagai respons terhadap inflasi yang tinggi.

Ancaman Resesi Global Mengintai Indonesia, Pemerintah Harus Apa?
Deretan permukiman penduduk dan gedung bertingkat yang terlihat dari kawasan Tanah Abang, Jakarta, Jumat (8/2/2019). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

tirto.id - Bank Dunia (World Bank) memprediksi resesi global akan terjadi pada 2023. Sinyal tersebut terlihat ketika bank-bank sentral di seluruh dunia secara bersamaan menaikkan suku bunga sebagai respons terhadap inflasi yang memanas.

Bank-bank sentral di seluruh dunia telah menaikkan suku bunga tahun ini dengan tingkat sinkronisitas yang belum terlihat selama lima dekade terakhir. Bank Dunia memproyeksikan tren tersebut akan berlanjut hingga tahun depan.

Dari dalam negeri, Bank Indonesia sendiri telah memutuskan menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin menjadi 3,75 persen. Selain itu, bank sentral juga menaikkan suku bunga deposit facility 25 basis poin menjadi sebesar 3 persen persen dan suku bunga lending facility naik menjadi sebesar 4,5 persen.

Investor memperkirakan bank-bank sentral akan menaikkan suku bunga kebijakan moneter global hingga hampir 4 persen hingga 2023.

"Jika ini disertai dengan tekanan pasar keuangan, pertumbuhan PDB (produk domestik bruto) global akan melambat menjadi 0,5 persen pada 2023. Kontraksi 0,4 persen dalam hal per kapita yang akan memenuhi definisi teknis dari resesi global," demikian laporan Bank Dunia dikutip dari Antara, Jumat (16/9/2022).

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, ramalan terhadap resesi global dilakukan Bank Dunia sebetulnya sudah terjadi dan menimpa Amerika Serikat (AS).

Negeri Paman Sam itu, mencatatkan pertumbuhan ekonomi negatif alias kontraksi sebesar 0,9 persen pada kuartal II-2022 secara tahunan (year-on-year/yoy).

Dengan pertumbuhan tersebut, maka AS masuk ke jurang resesi setelah mencetak pertumbuhan negatif alias kontraksi sebesar 1,6 persen pada kuartal sebelumnya.

"Jadi itu tanda-tanda pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat negatif adalah sinyal bahwa terjadi resesi ekonomi di negara maju," kata Bhima kepada Tirto, Jumat (16/9/2022).

Tidak hanya AS, Uni Eropa juga mengalami tekanan cukup dalam. Mulai dari krisis energi, pangan, serta harga gandum tinggi. Kondisi itu menyebabkan krisis biaya hidup di Uni Eropa.

"Jadi sebelum Bank Dunia memproyeksikan akan terjadi resesi semua sudah sepakat. Semua dalam artian para pelaku pasar, pengusaha di level internasional itu dalam beberapa survei probabilitas resesi ekonomi akan terjadi paling lambat awal 2023," jelas Bhima.

Resesi diperkirakan para pelaku pasar dengan melihat berbagai dinamika terjadi di global. Contohnya kombinasi dari perang Ukraina, gangguan rantai pasok, hiperinflasi, stagflasi dan juga terjadinya krisis biaya hidup akibat harga pangan.

"Buat Indonesia apa harus dilakukan dan kita siapkan itu yang jadi pertanyaan besar," ujarnya.

Bhima mengingatkan, jika terjadi resesi secara global, maka suprlus perdagangan selama ini dibangga-banggakan pemerintah bisa berubah menjadi defisit perdagangan.

Diketahui, sampai akhir Agustus neraca perdagangan RI mengalami surplus sebesar 5,76 miliar dolar AS. Surplus ini menjadi tren positif selama 28 bulan secara berturut-turut sejak Mei 2020.

Kemudian dampak dari resesi global juga akan terasa oleh masyarakat rentan miskin yang jumlahnya cukup besar. Untuk menangkal ini, maka pemerintah perlu memberikan perlindungan sosial semacam bansos, dimana selama ini diberikan kepada kelompok miskin.

"Dan itu paling terdampak dan rentan mereka harusnya diberikan perlindungan sosial bukan hanya orang miskin diberikan bansos, tapi rentan miskin juga berhak mendapatkan kompensasi dari kenaikan inflasi," terangnya.

Bhima melanjutkan, untuk memitigasi dampak dari terjadinya resesi global pemerintah harus menyiapkan protokol krisis dari kesiapan perbankan. Supaya tidak menjalar seperti kasus kasus gagal bayar perbankan terjadi pada 1998 dan 2008. "Itu yang harus diantisipasi," imbuhnya.

Kemudian dari segi pelaku UMKM sebagai bantalan paling efektif dalam mempertahankan perekonomian, perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Pemerintah, kata Bhima, harus all out melalui pembiayaan murah, bantuan modal langsung, pendampingan, sampai dengan bisa cepat langsung ke ekosistem digital.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi IndiGo Network, Ajib Hamdani menambahkan, untuk meredam risiko resesi global pemerintah cukup fokus dengan program yang sedang didorong, yaitu transformasi ekonomi. Melalui peningkatan nilai tambah atas setiap komoditas unggulan yang ada.

"Ditambah dengan keunggulan jumlah penduduk sebesar 273 juta orang, nomor 4 besar dunia, Indonesia relatif bisa terhindar dari potensi resesi global. Kondisi paling buruk adalah adanya imbas inflasi yang juga akan mengerek di ekonomi domestik Indonesia," pungkas dia.

Baca juga artikel terkait RESESI EKONOMI GLOBAL atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang