Menuju konten utama

Ancaman Mutasi Virus dan Kemunculan Virus Purba

Perubahan lingkungan bisa menjadi ancaman mutasi virus dan munculnya virus-virus purba ke lingkungan.

Ancaman Mutasi Virus dan Kemunculan Virus Purba
Ilustrasi Virus. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Novel Coronavirus (2019-nCoV ) menjadi momok akibat ketiadaan vaksin dan keterbatasan informasi. Belum tuntas persoalan tersebut, diperkirakan masih banyak mutasi virus jenis baru yang akan dihadapi manusia.

Corona merupakan satu dari sekian jenis virus yang lazim menyebabkan gangguan pernapasan seperti pilek. Namun, beberapa turunan virus corona terbukti telah menggegerkan dunia karena membikin wabah berbahaya, seperti Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), Middle East Respiratory Syndrome (MERS), dan sekarang 2019-nCoV.

Sejauh ini, 2019-nCoV diduga menyebar lewat kelelawar. Meski hewan nokturnal ini memang sumber virus corona, tapi kelelawar tidak menularkannya secara langsung ke manusia. Penyakit SARS diduga dibawa oleh rakun atau musang. Kemudian MERS lebih dulu menjangkiti unta sebelum akhirnya menular ke manusia. Agen penyebar 2019-nCoV, diduga berasal dari ular. Namun, teori ini masih diperdebatkan oleh para ahli dunia.

“Sebagian besar kasus memerlukan agen perantara untuk mentransmisikan virus corona ke manusia,” tulis laman Science News.

Efek Zoonosis

Penyebaran penyakit dari hewan ke manusia seperti 2019-nCoV, SARS, dan MERS disebut penyakit zoonosis. Setidaknya ada 80 persen penyakit menular pada manusia bersumber dari hewan. Sementara sekitar 75 persen penyakit baru pada manusia disebabkan oleh mikroba yang berasal dari hewan.

Sebelumnya Tirto pernah membahas tiga faktor yang memengaruhi persebaran zoonosis dari satwa liar. Pertama, keanekaragaman mikroba satwa liar dalam suatu wilayah tertentu; kedua, perubahan lingkungan; dan ketiga, frekuensi interaksi antara hewan dan manusia. Jika salah satu faktor ini terganggu, dipastikan zoonosis pun menyebar.

Penyakit zoonosis yang dibawa oleh satwa liar bukan cuma 2019-nCoV, SARS, dan MERS. Pada akhir 1997 hingga awal 1998, Malaysia pernah mengalami wabah virus nipah. Penyebaran virus ini bermula dari migrasi kelelawar buah dari hutan ke kebun buah dan peternakan babi. Respons tak lazim para kelelawar dipicu oleh pohon-pohon di hutan gagal berbuah akibat El Nino.

Virus nipah yang dibawa kelelawar disebarkan lewat air liur. Sisa buah yang mereka makan tercecer dan dikonsumsi oleh babi milik penduduk. Hewan ternak itulah yang kemudian menjadi perantara virus nipah dari kelelawar ke manusia. Industri peternakan babi di negeri jiran itu diperkirakan merugi miliaran dolar akibat virus nipah.

Indonesia pernah mengalami ancaman zoonosis berupa avian influenza (AI) atau flu burung pada 2003. Luasnya sebaran flu burung (H5N1) karena Indonesia termasuk perlintasan migrasi burung dunia. Burung-burung liar yang secara periodik bermigrasi setiap perubahan musim menularkan virus ke peternakan unggas.

Perubahan demografi dan perubahan ruang hidup seperti penggundulan hutan juga menjadi penyebab meningkatnya kontak antara satwa liar dan manusia. Misal hilangnya karnivora penyantap hewan pengerat membuat agen penyebar penyakit seperti leptospirosis (virus melalui air seni hewan yang terinfeksi).

Kemudian dampak banjir bisa mempermudah penyebaran salmonelosis (karena makanan atau air yang terkontaminasi), demam gigitan tikus (rat bite fever), penyakit pes atau sampar, dan sindrom paru hantavirus (virus yang dibawa hewan pengerat yang bisa menyebabkan penyakit serius).

Risiko penyakit zoonosis yang muncul dari perburuan juga meningkatkan transmisi hewan ke manusia. Selain mendekatkan jarak, kegiatan berburu memungkinkan kontak langsung dengan cairan tubuh hewan yang membawa ragam penyakit zoonosis. Misalnya pada kejadian penyebaran virus ebola di Afrika karena meningkatnya kontak antara kelelawar saat perburuan.

Ancaman Virus Purba

Layaknya seleksi alam membentuk evolusi manusia, tanaman, dan semua makhluk hidup di planet ini, seleksi alam juga mengubah virus. Mereka bermutasi dan mengembangkan model baru pada generasi berikutnya ketika masuk ke inang dan beradaptasi melawan sistem imun. Sebelum membunuh inangnya, generasi virus yang sudah bermutasi harus menemukan inang baru agar mutasinya berkembang.

Dalam kondisi inilah ancaman virus anyar muncul, seperti halnya virus corona tipe 2019-nCoV. Di awal kemunculannya pada 31 Desember 2019 kemarin, tenaga kesehatan di China tak bisa mendeteksi jenis virus tersebut karena sudah mengalami mutasi dari generasi corona sebelumnya. Mutasi virus zoonosis dapat terjadi antar hewan maupun manusia.

Pada virus influenza, misalnya, bisa menginfeksi burung, babi, dan manusia. Ketika virus flu babi dan virus flu manusia bergabung di burung, maka kedua virus ini akan menghasilkan jenis flu yang berbeda. Virus juga bisa melompat antar organisme, contohnya dari burung, ke manusia. Jika virus menginfeksi manusia dan ditransmisikan secara efisien maka terjadilah pandemi.

Saat ini, lantaran perubahan lingkungan besar-besaran, manusia sedang menghadapi ancaman mutasi virus yang lebih besar. Selain itu, ahli dunia juga menemukan ancaman lain berupa virus purba –– yang bisa saja muncul akibat perubahan iklim.

Infografik Mutasi Virus

Infografik Mutasi Virus. tirto.id/Quita

Pada tahun 1992, sekelompok peneliti pernah mengumpulkan sampel inti es dari gletser di dataran tinggi Guliya, Tibet Barat. Kemudian di tahun 2015, tim berbeda dari Amerika dan China mengambil sampel es yang sama. Mereka memprediksi sampel tersebut berumur sekitar 520-15 ribu tahun.

Para ilmuwan mengambil sampel dua inti es dengan cara mengebor gletser hingga kedalaman 50 meter. Agar sampel es tidak terkontaminasi, mereka memotong beberapa lapisan luar setiap sampel kemudian mencucinya dengan etanol agar lapisan es mencair sekitar 0,2 inci. Setelah itu lapisan es yang tersisa masih dicuci ulang menggunakan air steril guna mencairkan 0,2 inci es.

“Mulanya peneliti hanya ingin mencari petunjuk tentang iklim masa lalu. Tapi kami justru menemukan jendela evolusi mikroba (virus),” ungkap studi yang dipublikasikan dalam server preprint bioRxiv.

Mereka menemukan 33 generasi virus. Dari jumlah tersebut, sebanyak 28 virus tidak teridentifikasi. Dari hasil temuan ini pula, tim peneliti menduga perubahan lingkungan yang membikin es bumi mencair dapat membebaskan perangkap es yang membekukan mikroba dan virus purba.

Skenario terburuk: suatu hari nanti, patogen tersebut mungkin saja dapat kembali ke lingkungan dan membuat pandemi pada hewan atau manusia. Sebab itulah, selain ancaman mutasi virus, manusia harus bersiap menghadapi ancaman kemunculan virus purba di lingkungan.

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Eddward S Kennedy