Menuju konten utama

Anakku Bukan Urusanmu, Stop Baby Shaming!

Pelaku baby shaming menilai dirinya lebih baik dan sempurna sehingga cenderung kurang memiliki empati, kepekaan dan pengendalian diri yang baik.

Anakku Bukan Urusanmu, Stop Baby Shaming!
Ilustrasi Baby Shaming. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tasya Kamila menumpahkan rentetan uneg-uneg dalam sebuah unggahan cerita di Instagram pada Rabu, (31/07) lalu. Pasalnya, Arrasya Wardhana Bachtiar, anaknya yang baru berumur dua bulan, banyak menerima celaan dari warganet: mulai dari rupa hingga bobot sang bayi jadi sasaran.

"Jidat anaknya lebar."

"Hidung dedek dipencet-pencet dong biar mancung."

"Arrasya kurang gembul, masih kurus kelihatannya."

Di balik potret gemas anaknya, Tasya menahan gusar. Ia tak habis pikir, mengapa ada orang-orang yang begitu tega melakukan celaan pada seorang bayi. Di akhir unggahan, alih-alih berterima kasih, ia menyematkan kalimat sindiran atas perhatian yang diberikan terhadap anaknya.

"Thank you for your concern, but my baby is healthy and happy."

Melemparkan celaan terhadap cara pengasuhan ibu bukanlah suatu perkara yang remeh pun etis, terlebih jika dialamatkan kepada bayi-bayi mereka, seperti yang terjadi pada Tasya. Baby shaming, begitu perilaku ini disebut, merupakan kondisi yang jamak dialami para ibu yang bisa saja berujung pada depresi dan rasa kecil hati.

Pengalaman baby shaming tak hanya menyasar ibu dari kalangan selebritas seperti Tasya, tapi jamak juga dirasakan para ibu dalam skala yang lebih umum. Adhariani Sarah (26 tahun), misalnya, harus selalu menyiapkan mental setiap Lebaran.

Sudah jadi sebuah kelaziman bahwa momen berkumpul bersama saudara ini bukan hanya jadi ajang melempar maaf, namun juga jadi ajang saling tanya soal pencapaian karier, pernikahan, dan anak. Mereka yang merasa sudah senior dan kaya pengalaman hidup akan dengan 'senang hati' berbagi saran dan komentar kepada yang dirasa belum sampai ke titik setara.

Hal yang sama juga dialami Sarah. Saat anaknya berusia dua tahun dan mulai banyak beraktivitas, Sarah kebanjiran komentar yang menyasar pada fisik anaknya. "Kok kurus sih sekarang, kan dulu gendut banget ya?" begitulah kira-kira komentar yang sering ia dengar dari sanak saudara yang hanya bertemu satu-dua kali dalam setahun.

Awalnya, Sarah masih bisa bersikap masa bodoh. Namun, lama kelamaan ia jengah juga. Ia juga sempat terpengaruh dan merasa kesal ketika anak lelakinya susah makan, dan ingin sang anak gemuk lagi. Padahal sebelumnya tak ada pikiran semacam itu dalam benaknya.

Sarah paham bahwa sangatlah wajar di usia aktif anak menjadi lebih kurus dari biasanya karena energi yang dikeluarkan pun lebih besar. "Karena keseringan [dikomentari] lama-lama responsnya dari senyum doang sampai aku ketusin 'Kurusan yang penting sehat. Tambah tinggi loh ini'.”

Bikin Ibu Depresi

Memang, kadang kala tak ada maksud melakukan celaan dari orang-orang yang melakukan baby shaming. Beberapa dari mereka bahkan mengaku hanya 'iseng' bertanya. Tapi, tak sedikit pula yang merasa bahwa mereka memiliki informasi lebih, sehingga 'merasa perlu' untuk menyampaikannya pada orang tua si bayi. Mirisnya, mereka tidak paham bahwa komentar-komentar tersebut berpotensi membuat orang tua bayi menjadi stres.

Pengalaman ini dirasakan langsung oleh Nur (28 tahun). Sewaktu anak perempuannya belum genap berumur 40 hari, ia sudah mendapat baby shaming dari mertua dan pembantunya. Mereka melabeli Nur sebagai ibu yang tega karena seolah membiarkan bayinya memiliki tali pusat atau pusar menonjol.

"Pembantunya mertua bilang anak gue pusarnya bodong harus dipakein koin logam," ujarnya.

Waktu itu, Nur memang memilih tidak memakaikan koin di pusat sang bayi merujuk pada beberapa artikel yang pernah ia baca. Pusat menonjol pada bayi baru lahir sangat wajar karena otot dinding perut bayi masih lemah dan membikin pusar terdorong keluar. Dinding perut bayi akan semakin kuat dan pusat akan berubah sesuai bertambahnya umur si bayi.

Namun, mertua Nur akhirnya tetap menyiapkan koin logam untuk ditempel ke pusar cucunya.

Infografik Baby Shaming

Infografik Baby Shaming. tirto.id/Rangga

Pernah juga anak Nur dicela karena sering menangis. Iparnya menyebut sang anak dengan istilah 'anak bau tangan'. Kalimat itu diucapkan seolah tanpa beban, sambil tertawa-tawa di depan teman-temannya.

Seketika perasaan Nur campur antara sedih dan marah karena merasa diejek di depan umum. Akibat peristiwa-peristiwa yang ia alami, Nur sempat trauma bertemu dengan orang. "Karena dibilang 'bau tangan', gue sempat jadi jarang gendong anak. Ini yang gue sesali," sebutnya.

Psikolog dari Rumah Sakit Pondok Indah Jane Cindy Linardy mengatakan dampak baby shaming lebih mungkin menyasar pada orang tua, ketimbang anak. Ibu akan cenderung merasa konsep dirinya negatif, kurang percaya diri, hingga merasa belum bisa menjadi ibu yang baik.

Efek jangka panjangnya, lanjut Jane, orang tua bisa jadi terkucil dan menghindari pertemuan sosial karena rasa percaya dirinya menurun. "Baby shaming ini tidak lepas dari mom shaming, karena bayi tidak lepas dari asuhan ibunya. Bisa berupa verbal maupun siber," papar Jane saat dimintai penjelasan oleh Tirto.

Menurut Jane, semua orang berpotensi menjadi pelaku celaan terhadap bayi selama mereka kurang memiliki empati, menilai dirinya lebih baik dan sempurna, serta kurang memiliki kepekaan dan pengendalian diri yang baik. Tapi dari kondisi ini, ia menggarisbawahi bahwa tidak semua komentar negatif yang disampaikan orang terhadap bayi adalah fakta.

Para orang tua perlu menyaring informasi yang diterima, menanyakan kebenarannya kepada ahli, terutama yang berkaitan soal pemilihan ASI/sufor, berat badan anak, hingga MPASI. Yang terpenting, lanjutnya, perlu ada dukungan yang baik dari suami untuk sama-sama membentengi anak dari celaan.

Sementara bagi pelaku baby shaming, Jane mengingatkan bahwa saran bisa diberikan tanpa label kalimat negatif. "Bukan hak orang lain mengatur bagaimana ibu menentukan pilihan untuk bayinya," tegas Jane.

Baca juga artikel terkait BABY SHAMING atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara