Menuju konten utama

AMSI Sebut Intimidasi Siber terhadap Jurnalis Bisa Rusak Demokrasi

AMSI mengecam intimidasi siber, doxing hingga ancaman pembunuhan terhadap jurnalis Detikcom. Organisasi ini menilai intimidasi seperti itu bisa merusak kebebasan pers dan demokrasi.

AMSI Sebut Intimidasi Siber terhadap Jurnalis Bisa Rusak Demokrasi
Ketua Umum AMSI Wenseslaus Manggut. foto/rilis AMSI

tirto.id - Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) mengecam intimidasi siber yang dilakukan terhadap jurnalis Detikcom, penulis berita yang terkait dengan Presiden Joko Widodo.

Sejak 26 Mei 2020 lalu, jurnalis itu mendapatkan intimidasi dan perisakan di media sosial, bahkan informasi pribadinya diumbar di internet (doxing) hingga diancam akan dibunuh.

Ketua Umum AMSI Wenseslaus Manggut menyatakan organisasinya menilai praktik intimidasi siber terhadap wartawan seperti itu bisa mengancam kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia.

"AMSI mengkritik keras perisakan dan intimidasi siber, terutama praktik doxing atau membuka informasi pribadi, yang dilakukan para buzzer maupun warganet, yang berpotensi merusak kebebasan pers dan demokrasi di negeri ini," kata Wenseslaus dalam siaran persnya yang diterima Tirto pada Kamis (28/5/2020).

"Tanpa pers yang bebas dan jurnalisme yang berkualitas, informasi yang beredar di masyarakat akan mudah disetir oleh pihak-pihak tertentu dengan berbagai kepentingan politik maupun ekonomi," dia menegaskan.

Wenseslaus menambahkan, AMSI meminta aparat penegak hukum untuk segera mengusut dugaan pelanggaran pidana berupa kekerasan siber terhadap jurnalis, seperti perisakan online, doxing dan ancaman pembunuhan. Menurut dia, pelaku kekerasan siber itu perlu diadili di pengadilan.

Kata Wenseslaus, AMSI juga mendesak para pejabat pemerintahan dan semua warga negara yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa untuk menggunakan mekanisme penyelesaian yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Caranya dengan mengirimkan permintaan hak jawab maupun koreksi ke media terkait, lalu jika tidak mendapat respons yang diharapkan, baru mengadukan masalahnya ke Dewan Pers," ujar Wenseslaus.

"Sejak era reformasi 1998, mekanisme ini telah disepakati secara hukum untuk menyelesaikan sengketa pers tanpa mengganggu independensi media maupun kebebasan pers," tambah dia.

Semua warga negara bisa mengadukan sengketa pemberitaan ke Dewan Pers untuk dicarikan solusi melalui proses mediasi.

Sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, Dewan Pers adalah lembaga negara yang berhak memberikan penilaian atas ada atau tidaknya pelanggaran kode etik jurnalistik serta memberikan sanksi kepada media massa, demikian penjelasan Wenseslaus.

Intimidasi siber terhadap jurnalis Detikcom bermula ketika medianya menurunkan berita tentang rencana Presiden Joko Widodo membuka mal di Bekasi, Jawa Barat, di tengah pandemi Covid-19.

Informasi itu berdasarkan pernyataan Kasubbag Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi. Belakangan berita itu dikoreksi karena ada ralat dari Kabag Humas Pemkot Bekasi, yang menyebut bahwa Jokowi hanya meninjau sarana publik dalam rangka persiapan New Normal setelah PSBB.

Setelah koreksi itu dipublikasikan, kekerasan terhadap jurnalis Detikcom mulai terjadi. Identitas pribadi jurnalis itu dibongkar dan dipublikasikan di media sosial, termasuk nomor telepon dan alamat rumahnya.

"Jejak digitalnya diumbar dan dicari-cari kesalahannya. Dia juga menerima ancaman pembunuhan melalui pesan WhatsApp. Serangan serupa ditujukan pada redaksi media Detikcom. Hal ini jelas mencederai kemerdekaan pers dan bertentangan dengan amanat Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers," Wenseslaus menegaskan.

Dia mengakui pers tidak alpa dari kesalahan. Oleh karena itu, UU Pers dibuat untuk memastikan koreksi bisa dilakukan, dengan tetap menjunjung perlindungan terhadap kebebasan pers.

"Dengan kebebasan pers yang kokoh, publik diuntungkan dengan adanya mekanisme check and balances untuk memastikan akuntabilitas pemerintah melayani kepentingan warga," ujar dia.

"Menyerang pers dan mengintimidasi wartawan hanya akan mencederai ekosistem informasi yang kredibel dan bebas, serta merusak demokrasi," tambah Wenseslaus.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN JURNALIS

tirto.id - Sosial budaya
Sumber: Siaran Pers
Penulis: Addi M Idhom