Menuju konten utama

Amnesty: RI Berpotensi Alami Krisis HAM Usai RUU Ciptaker Disahkan

RUU Cipta Kerja disahkan berpotensi membuat Indonesia mengalami krisis HAM menurut Amnesty International Indonesia.

Amnesty: RI Berpotensi Alami Krisis HAM Usai RUU Ciptaker Disahkan
Seorang buruh berunjuk rasa di kawasan EJIP (East Jakarta Industrial Park), Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (5/10/2020). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/pras.

tirto.id - Pengesahan Rancangan Undang-Undang Ciptaker (RUU Ciptaker) menjadi Undang-Undang baru pada Senin (5/10/2020) berpotensi membuat Indonesia mengalami krisi Hak Asasi Manusia (HAM).

“Pengesahan Ciptaker hari ini menunjukkan kurangnya komitmen Pemerintah Indonesia dan anggota DPR RI untuk menegakkan hak asasi manusia," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Selasa (6/10/2020).

Usman mengatakan, meski banyak yang menentang substansi Ciptaker dan prosedur penyusunan UU baru ini, hal tersebut tetap tidak dijadikan pertimbangan oleh para pembuat kebijakan.

"Anggota dewan dan pemerintah, nampaknya, lebih memilih untuk mendengar kelompok kecil yang diuntungkan oleh aturan ini. Sementara hak jutaan pekerja kini terancam,” kata Usman.

Seharusnya, lanjut Usman, serikat pekerja dan kelompok masyarakat sipil dilibatkan secara terus-menerus dalam pembahasan Undang-Undang Ciptaker dari awal, karena anggota mereka-lah yang akan menanggung langsung dampak dari berlakunya Omnibus Ciptaker.

“Peristiwa penting di rapat paripurna hari ini akan memberikan lebih banyak ruang bagi perusahaan dan korporasi untuk mengeksploitasi tenaga kerja, dan akan berujung pada kurangnya kepatuhan pengusaha terhadap upah minimum menurut undang-undang,” jelas Usman.

“Belum lagi, perusahaan tidak lagi berkewajiban mengangkat pekerja kontrak menjadi pegawai tetap. Aturan seperti ini berpotensi menyebabkan perlakuan tidak adil bagi para pekerja karena mereka akan terus-menerus menjadi pegawai tidak tetap,” sambung Usman.

Karenanya, Amnesty mendesak anggota DPR untuk merevisi aturan-aturan bermasalah dalam UU Ciptaker, karena hak asasi manusia harus menjadi prioritas di dalam setiap pengambilan keputusan.

Selain itu, pemerintah juga harus melindungi dan menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi dari mereka yang dirugikan atas pengesahan Ciptaker ini.

"Pandemi Covid-19, lagi-lagi, tidak boleh dijadikan alasan untuk melindungi hak mereka karena bersuara adalah satu-satunya jalan untuk didengar bagi mereka yang haknya dirampas. Jangan sampai pengesahan ini menjadi awal krisis hak asasi manusia baru, di mana mereka yang menentang kebijakan baru dibungkam,” pungkas Usman.

View this post on Instagram

#BatalkanOmnibusLaw ❗❗ Hari ini, 5 Oktober 2020, pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja memasuki tahap pembahasan tingkat II atau pengambilan keputusan. Sebelumnya pengambilan keputusan RUU Cipta Kerja dikabarkan baru akan dilakukan Kamis, 8 Oktober 2020. Pembahasan sebelumnya dilakukan tertutup saat hari libur, Sabtu 3 Oktober 2020. Waktu pengesahan lebih cepat dari yang dijadwalkan. Sejak awal, prosedur dan substansi RUU Cipta Kerja tidak sejalan dengan kewajiban HAM Indonesia di bawah hukum internasional. Proses penyusunannya yang tidak transparan telah mengabaikan hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik dan hak atas informasi. @DPR_RI, sampai kapan suara rakyat diabaikan? Utamakan hak-hak warga agar semua bisa bekerja secara aman, adil dan layak! Lindungi pekerja dengan mengatur upah minimum yang layak, jam kerja dan hak cuti yang adil, serta kepastian status pekerja dan sistem pengawasan efektif agar hak-hak pekerja semakin terlindungi.

A post shared by Amnesty International (@amnestyindonesia) on