Menuju konten utama

Amnesty International: Myanmar Lakukan Kejahatan Perang di Rakhine

Militer Myanmar dinilai bertanggung jawab atas sebagian besar pelanggaran yang didokumentasikan oleh Amnesty International.

Amnesty International: Myanmar Lakukan Kejahatan Perang di Rakhine
Sejumlah umat muslim Rohingya menunaikan Salat Iduladha di Masjid Pealeshung, di kawasan kamp pengungsian internal di kota Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Sabtu (2/9/2017). ANTARA FOTO/Willy Kurniawan

tirto.id - Investigasi terbaru Amnesty International berhasil mengumpulkan dan mengkonfirmasi bukti baru bahwa militer Myanmar telah melakukan kejahatan perang dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di negara bagian Rakhine, Myanmar.

Hingga saat ini operasi militer ini masih berlangsung, sehingga meningkatkan kemungkinan kejahatan tambahan terjadi.

Dalam Laporan berjudul “No one can protect us”: War crimes and abuses in Myanmar’s Rakhine State, merinci bagaimana militer Myanmar, yang dikenal dengan nama Tatmadaw, telah membunuh dan melukai warga sipil dalam serangan-serangan membabi buta sejak Januari 2019.

Pasukan Tatmadaw juga telah melakukan pembunuhan di luar hukum, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya, serta penghilangan paksa.

Temuan tersebut meneliti periode operasi militer intensif yang terjadi setelah serangan terkoordinasi terhadap pos-pos polisi oleh Tentara Arakan atau Arakan Army (AA), kelompok bersenjata etnis Rakhine, pada tanggal 4 Januari 2019. Operasi militer terbaru ini dilaksanakan setelah adanya instruksi pemerintah untuk “menghancurkan” AA.

"Kurang dari dua tahun sejak masyarakat internasional mengecam kejahatan massal terhadap Rohingya, militer Myanmar kembali melakukan pelanggaran mengerikan terhadap kelompok etnis di Rakhine," ujar Nicholas Bequelin, Direktur Regional Amnesty International untuk wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Rabu (29/5/2019).

"Operasi terbaru di Negara Bagian Rakhine ini menunjukkan sikap militer yang tidak berubah, tidak tereformasi, dan tidak bertanggung jawab, yang meneror warga sipil dan melakukan pelanggaran luas sebagai taktik yang disengaja," tambahnya.

Amnesty International melakukan 81 wawancara, termasuk didalamnya 54 wawancara lapangan di Rakhine pada akhir Maret 2019, dan 27 wawancara jarak jauh dengan orang-orang yang tinggal di daerah yang terkena dampak konflik.

Mereka berasal dari kelompok etnis Rakhine, Mro, Rohingya, dan Khami, yang beragama Budha, Kristen, dan Islam. Amnesty International juga menganalisis foto, video, dan citra satelit, serta mewawancarai pekerja kemanusiaan, aktivis hak asasi manusia, dan pakar lainnya.

Bequelin menyebut dari Laporan terbaru Amnesty International terdapat bukti pasukan militer terlibat kejahatan masa lalu. Selain dari wawancara juga ada bukti citra satelit yang menunjukkan pelanggaran hukum dalam serangan yang menewaskan 14 orang.

Selain itu dalam laporan tersebut militer Myanmar dinilai bertanggung jawab atas sebagian besar pelanggaran yang didokumentasikan oleh Amnesty International, AA juga telah melakukan pelanggaran terhadap warga sipil, termasuk beberapa aksi penculikan.

Ketika laporan pelanggaran oleh militer meningkat, aparat keamanan berupaya untuk membungkam laporan-laporan kritis. Mereka dalam beberapa bulan terakhir melaporkan editor tiga outlet berita berbahasa Myanmar setempat kepada polisi.

“Awal bulan ini pihak berwenang akhirnya membebaskan wartawan Reuters Wa Lone dan Kyaw Soe Oo setelah secara sewenang-wenang menahan mereka selama lebih dari 500 hari. Kemarahan global atas kasus mereka tidak menghentikan pihak berwenang untuk menggunakan taktik ketakutan yang yang sama, untuk dijadikan contoh terhadap orang lain , ” Kata Nicholas Bequelin.

Baca juga artikel terkait ETNIS ROHINGYA atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Hukum
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri