Menuju konten utama

Amerika Serikat dan Kasus Penembakan yang Tiada Henti

Bulan Januari 2023 belum berakhir, tapi Amerika Serikat (AS) sudah mencatatkan jumlah penembakan massal yang melebihi jumlah hari di bulan ini.

Amerika Serikat dan Kasus Penembakan yang Tiada Henti
Karangan bunga, mainan dan benda lainnya diletakkan di tugu peringatan bagi korban penembakan brutal di sekolah dalam kurun waktu satu dekade yang menyebabkan 19 anak dan 2 guru tewas di Sekolah Dasar Robb di Uvalde, Texas, Amerika Serikat, Minggu (29/5/2022). ANTARA FOTO/REUTERS/Veronica G. Cardenas/RWA/djo

tirto.id - Bulan Januari 2023 belum berakhir, tapi Amerika Serikat (AS) sudah mencatatkan jumlah penembakan massal yang melebihi jumlah hari di bulan ini. Per 25 Januari 2023, Negeri Paman Sam mencatat setidaknya 40 insiden penembakan massal. Dalam data BBC, ini adalah jumlah penembakan massal tertinggi yang pernah tercatat di bulan Januari.

Untuk diketahui, yang masuk dalam kategori penembakan massal adalah insiden penembakan yang mengakibatkan setidaknya 4 orang korban terluka atau terbunuh, tidak termasuk penembak.

Yang menyedihkan adalah, penembakan termasuk hal yang lumrah terjadi di Amerika Serikat. Namun bulan Januari tahun ini, jumlah kejadian di atas rata-rata dengan selang waktu penembakan kurang dari 24 jam. Gun Violence Archive melaporkan bahwa setidaknya ada 279 peristiwa penembakan.

Ratusan insiden penembakan tersebut mengakibatkan 2.919 orang meninggal dunia, dengan 1.269 jiwa tewas karena pembunuhan sengaja atau tidak disengaja, sedangkan 1.650 jiwa tewas karena bunuh diri. Dari korban tewas yang dilaporkan tersebut, sebanyak 21 jiwa merupakan anak-anak di bawah 11 tahun dan 101 jiwa adalah remaja berumur 12-17 tahun.

Lebih lanjut, dibandingkan dengan negara lain yang mengizinkan kepemilikan senjata api untuk umum, Negeri Paman Sam membukukan presentase kasus pembunuhan akibat penembakan senjata yang cukup tinggi, yakni 79% di tahun 2020.

Presentase Pembunuhan dari Penembakan

Presentase Pembunuhan dari Penembakan. (Sumber: BBC)

Berdasarkan tingginya jumlah penembakan massal bulan ini, banyak pihak meramalkan pada akhir tahun ini kasus penembakan akan kembali mencatatkan kenaikan. Argumen tersebut berlandaskan fakta adanya lonjakan yang cukup signifikan akan kasus penembakan massal di AS.

Merujuk statistik di atas, meskipun jumlah penembakan massal tiap tahunnya tidak terus meningkat, akan tetapi terlihat adanya tren kenaikkan yang cukup tajam jika dibandingkan dengan tahun 2014.

Faktor Penyebab Tingginya Penembakan di AS

Salah satu penyebab utamanya tingginya kasus penembakan senjata di AS adalah karena kemudahan akses atas kepemilikan senjata api.

Pada 2018, Small Arm Survey, lembaga penelitian asal Swiss, menerbitkan survei komprehensif tentang kepemilikan senjata api. Hasil riset menemukan pada 2017, AS menjadi negara dengan kepemilikan senjata api oleh penduduk sipil terbanyak: sebanyak 393,3 juta penduduk sipil memiliki senjata api.

Kemudian merujuk pada data di bawah ini, terdapat 120,5 kepemilikan senjata api dari 100 warga sipil di AS. Alhasil dapat ditarik kesimpulan walaupun banyak penduduk AS yang sama sekali tidak memiliki senjata api, banyak penduduk lainnya yang memiliki senjata lebih dari 1. Tingkat kepemilikan tersebut naik signifikan dibanding tahun 2011, dengan 88 kepemilikan senjata per 100 penduduk.

Lebih lanjut, besar kemungkinan angka tersebut meningkat karena jumlah penjualan senjata di AS mencatatkan kenaikan yang signifikan. Komite Ekonomi Bersama (JEC) Partai Demokrat dalam sebuah studi melaporkan pada tahun 2020 pembelian senjata mencapai rekor tertinggi, yakni sebesar 22,8 juta unit.

Josh Horwitz, salah satu direktur di Pusat Solusi Kekerasan Senjata Rumah Sakit Johns Hopkins, menyatakan kenaikan penjualan senjata berkaitan erat dengan pola pikir bahwa senjata api membuat kita aman, terutama di periode ketidakpastian.

“Orang-orang takut dan mereka ingin menghilangkan rasa takut itu dengan membeli senjata,” ujar Horwitz dilansir dari BBC.

Lebih lanjut, beberapa ahli menyampaikan bahwa tingginya tingkat stress akibat pandemi juga menjadi penyebab kenaikan insiden penembakan.

BBC mengutip sebuah laporan yang menemukan bahwa hampir 93% pelaku penembakkan mengalami masalah pribadi sebelum melakukan penyerangan. Masalah pribadi ini termasuk perceraian, masalah kesehatan, masalah di sekolah atau tempat kerja.

Kerugian Ekonomi dari Kasus Penembakan

Peristiwa penembakan yang terjadi di AS tidak hanya mengakibatkan korban luka dan meninggal. Ada dampak ekonomi cukup serius yang mengakibatkan negara harus mengucurkan dana hingga jutaan dolar AS tiap harinya untuk menangani dampak kekerasan senjata api.

Hasil riset lembaga penelitian asal AS, Everytown, tentang kerugian ekonomi atas kekerasan senjata di Negeri Paman Sam, menyebutkan bahwa pemerintah merogoh kocek hingga USD557,2 miliar atau setara Rp8.358 triliun (asumsi kurs Rp15.000/USD). Kerugian tersebut sebanding dengan 2,6% dari total Produk Domestik Bruto AS.

Sementara itu, kerugian ekonomi paling besar dihabiskan untuk mengganti biaya atas rasa sakit akibat kehilangan korban, termasuk biaya kesejahteraan korban dan keluarganya. Biaya lainnya termasuk biaya penyelidikan polisi, biaya atas hilangnya sumber pendapatan, biaya perawatan medis, dst.

Perlu dicatat, di AS korban atau keluarga korban dapat meminta kompensasi tanpa adanya batasan nilai maksimum atas kehilangan korban dan trauma emosional yang diakibatkan.

Penembakan Senjata Api

Biaya yang dikeluarkan dari kasus Penembakan Senjata Api. (Sumber: Everytown Research)

Kemudian, hasil studi juga menggarisbawahi bahwasanya meskipun tidak semua komunitas di AS mengalami tingkat kekerasan senjata yang tinggi, tapi seluruh penduduk Negeri Paman Sam menanggung beban ekonomi akibat insiden tersebut.

Hal ini disebabkan setiap tahun negara harus membayar epidemi kekerasan senjata api sekitar USD12,62 miliar atau setara Rp189,3 triliun, yang diambil dari uang pajak negara. Jika diperinci, maka setiap kematian akibat senjata api membebankan pembayar pajak AS sebesar USD273.904 atau senilai Rp4,11 miliar. Lalu atas cedera yang tidak fatal, membebankan pembayar pajar senilai USD25.151 atau Rp377,26 juta.

Everytown menekankan bahwa pemerintah sejatinya harus mulai mengevaluasi kembali hukum yang mengatur kepemilikan senjata api bagi publik. Jika kekerasan senjata dapat dihindari, kerugian ekonomi raturan miliar dolar AS dapat dialihkan untuk investasi pendidikan, revitalisasi sarana publik, kegiatan sosial, dan sebagainya.

Negeri Paman Sam awalnya memiliki Undang-Undang (UU) yang mengontrol peredaran senjata api di publik pada tahun 1994. Namun, 10 tahun kemudian UU tersebut dihapuskan karena kepemilikan senjata api dianggap sebagai hak untuk melindungi diri yang seharusnya tidak dihalangi.

Kemudian, dalam 30 tahun terakhir upaya untuk mengaktifkan UU tersebut gagal karena diblokir oleh Partai Republik. Selain itu, National Rifle Association (NRA) AS juga menentang pemberlakuan UU kontrol senjata karena dianggap tidak akan menghentikan kekerasan.

Meskipun demikian, mempertimbangkan tren kenaikan kekerasan senjata di AS, Presiden Joe Biden pada bulan Juni 2022 telah menandatangani Undang-Undang (UU) Kontrol Senjata. Walaupun belum dapat menyelesaikan masalah seluruhnya, setidaknya risiko dari senjata api dapat diminimalisir.

UU kontrol senjata itu menekankan hal-hal di bawah ini:

  • Pemeriksaan latar belakang yang lebih ketat untuk pembeli usia 18-21 tahun;
  • Pendanaan federal mencapai USD15 miliar untuk program kesehatan mental dan keamanan sekolah.
  • Pendanaan untuk mendorong negara-negara bagian menerapkan “bendera merah” untuk menghapus senjata api bagi orang-orang yang dianggap sebagai ancaman.
  • Melarang semua terpidana kekerasan dalam rumah tangga untuk memiliki senjata.

Baca juga artikel terkait SENJATA API atau tulisan lainnya dari Dwi Ayuningtyas

tirto.id - Hukum
Kontributor: Dwi Ayuningtyas
Penulis: Dwi Ayuningtyas
Editor: Nuran Wibisono