Menuju konten utama
19 Oktober 1995

Ambisi Mahathir di Balik Pembangunan Pusat Pemerintahan Putrajaya

Proyek pembangunan pusat administrasi pemerintahan Malaysia di Putrajaya banyak dicurigai sebagai ambisi politik Mahathir semata.

Ilustrasi Mozaik PNS Malaysia Ke Putrajaya. tirto.id/Tino

tirto.id - Tahun 1990-an, kemacetan di seluruh penjuru kota dan maraknya proyek pembangunan gedung pencakar langit menjadi pemandangan sehari-hari warga Kuala Lumpur. Hal ini ditambah dengan tingginya kepadatan penduduk sehingga banyak memunculkan permasalahan sosial.

Persoalan ini mengundang banyak keluhan. Salah seorang yang mengomentari permasalahan ini ialah Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad. Dalam autobiografinya berjudul A Doctor In The House: The Memoirs of Tun Dr Mahathir Mohamad (2012, hlm. 686), Mahathir menyebut persoalan yang dihadapi Kuala Lumpur menghambat kerja pemerintah karena membuat beban pegawai negeri menjadi lebih berat.

Para pegawai negeri menghadapi kemacetan jalanan yang menghabiskan waktu, tenaga, dan uang. Hal ini kemudian mendorong Walikota Kuala Lumpur, Tan Sri Elyas Omar menemui Mahathir dan menyarankan agar ibu kota Malaysia dipindahkan ke tempat lain. Mahathir setuju, tapi dia juga sadar pemindahan ibu kota bukan hal yang mudah sebab Kuala Lumpur kadung menjadi identitas dan kebanggaan nasional.

Akhirnya Mahathir memilih jalan tengah yang lebih realistis dan murah, yakni hanya memindahkan kegiatan administrasi pemerintahan ke tempat baru, bukan keseluruhan isi ibu kota.

Antara Ambisi Politik dan Kebutuhan Publik

Pembangunan kota baru untuk urusan administrasi negara memang mendesak. Hal ini juga sangat beririsan dengan ambisi Mahathir yang tertuang dalam kebijakan Visi 2020, ceta biru pembangunan yang dikeluarkan pada 1991 yang bertujuan untuk mentransformasikan Malaysia menjadi negara maju, selevel dengan negara-negara Barat seperti AS dan Inggris.

Dalam kurun waktu 30 tahun, Mahathir—dan diharapkan diikuti oleh penerusnya—akan agresif dan masif membuat kebijakan-kebijakan untuk memordenisasi Malaysia berbasis pengetahuan ekonomi, salah satunya dengan menggarap megaproyek. Tujuannya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Malaysia adalah negara modern yang berkomitmen untuk pembangunan global.

Berlandaskan kebijakan modernisasi negara inilah pembangunan yang direncanakan diharapkan akan terus berjalan, apapun rintangannya. Pembangunan proyek ini, termasuk di dalamnya membangun ibu kota baru, menjadi pertaruhan politik Mahathir.

Bermodalkan keuntungan perdagangan minyak serta pemasukan lain dari perhitungan ekonomi yang cermat, dimulailah beragam proyek besar dalam rentang waktu yang berdekatan, antara lain Menara Petronas, Kuala Lumpur International Airport, Malaysian Super Corridor—Sillicon Valley versi Malaysia--sekaligus Putrajaya kota baru untuk pusat pemerintahan.

Selain didasarkan pada kepentingan politik, Mahathir juga ingin membuang masa lalu kolonial dalam pembangunan perkotaan, khususnya kota baru. Kota-kota di Malaysia, khususnya bekas kota kolonial, memang terinspirasi oleh gaya kolonialisme Inggris, baik secara arsitektur ataupun tata ruang.

Maka itu, merujuk studi Sarah Moser bertajuk “Putrajaya: Malaysia’s New Federal Administrative Capital” (2009), ketika muncul wacana pembangunan ibu kota baru, pemerintah Malaysia berupaya “menjauhkan diri” dari masa lalu kolonial sembari memperkuat identitas sebagai bangsa yang berdaulat.

Memulai Langkah Serius

Pembangunan kota baru mulai serius dilakukan pada tahun 1993. Kota yang akan dibangun mesti strategis, memiliki aksesibilitas yang baik, memenuhi syarat pembebasan lahan, mempunyai vetegasi dan topografi yang masih alami, serta berdampak positif kepada daerah tetangga.

Mengacu pada pertimbangan ini, ada enam lokasi yang menjadi kandidat kuat, antara lain Janda Baik (Bukit Tinggi), North West Rawang, North Port Dickson, Pantai Sepang, Dataran Kenaboi, dan Perang Besar. Secara pribadi, Mahathir ingin tempat pemerintahan yang baru itu berada di daerah pergunungan yang sangat sejuk dan asri. Maka, dipilihlah Janda Baik (Bukit Tinggi) karena wilayah itu berada di perbukitan negara bagian Pahang. Namun, keinginan Mahathir ternyata tidak dapat direalisasikan. Wilayah yang berada di utara Kuala Lumpur itu tidak memenuhi pertimbangan yang ditentukan pemerintah: biaya kompensasi tanah mahal dan tidak strategis.

Alhasil, setelah penentuan yang ketat, pada Juli 1993 wilayah Perang Besar dipilih sebagai lokasi kota baru. Perang Besar adalah wilayah perkebunan kelapa sawit dengan luas hampir 5 ribu hektare. Pemilihan wilayah ini lantaran memenuhi seluruh pertimbangan yang ditetapkan, khususnya terkait aksesibilitas lokasi karena Perang Besar berada di antara Kuala Lumpur dan bandara internasional yang akan dibangun.

Pemerintah membeli seluruh tanah di Perang Besar seharga RM 700 juta. Lalu dirumuskanlah konsep kota yang bernuansa Garden City dan memutuskan pembangunan meliputi seluruh kelembagaan negara, pendidikan, perumahan, pariwisata, dan beberapa institusi lain terkait administrasi negara. Juga dibangun beberapa fasilitas penting yang dapat mengantisipasi permasalahan-permasalahan yang dialami Kuala Lumpur.

Pada 19 Oktober 1995, tepat hari ini 26 tahun lalu, pemerintah Malaysia secara resmi mengumumkan pemindahan pusat administrasi negara ke kota baru di Perang Besar yang dinamakan Putrajaya. Nama ini diambil dari nama Tengku Abdul Rahman Putra sebagai bentuk penghormatan kepada PM pertama Malaysia. Jarak Putrajaya dengan Kuala Lumpur cukup dekat, hanya sekitar 25 km—kurang lebih sama dengan jarak dari Monas ke Cibubur.

Pembangunan Putrajaya tidak menggantikan identitas Kuala Lumpur sebagai ibukota negara. Artinya, Kuala Lumpur hanya berfungsi sebagai pusat perdagangan dan ekonomi, sedangkan Putrajaya digunakan sebagai pusat pemerintahan yang saling berhubungan dengan kota induknya.

Proyek "Sunyi" dan Penuh Kecaman

Sejak wacana pembangunan pusat pemerintahan baru mencuat hingga berjalannya proyek, kritik dari oposisi terus mengiringi pengembangan Putrajaya. Mereka mengkritisi bahwa Putrajaya hanyalah pemborosan yang bertujuan untuk memenuhi ambisi Mahathir semata. Mahathir dinilai sekadar ingin meninggalkan warisan dan kenang-kenangan sebagai perdana menteri dengan kuasa hampir dua dekade.

Dalam laporan The New York Times (27 April 1999) bertajuk “Malaysia Shy About Cost as a Grand New City Arises”, kritik ini semakin meningkat tatkala Malaysia dilanda krisis finansial 1997-1998. Kala itu ekonomi Malaysia merosot enam persen dan banyak proyek besar terhenti. Namun, kondisi ini tidak terjadi pada proyek Putrajaya. Pemerintah tetap melanjutkan pembangunan Putrajaya dengan menggelontorkan dana 5 miliar ringgit dan seakan tidak peduli dengan situasi ekonomi negara yang lesu, suara demonstran di jalanan, serta perdebatan politik.

Infografik Mozaik PNS Malaysia Ke Putrajaya

Infografik Mozaik PNS Malaysia Ke Putrajaya. tirto.id/Tino

Untuk tetap berjalan, cara yang dilakukan adalah dengan membangun secara diam-diam. Tidak banyak informasi mengenai pengerjaan konstruksi dan tidak menjadi berita utama sepanjang tahun 1998. Tujuannya tentu supaya tidak diketahui publik dan tidak mengundang kritik. Cara ini berhasil meredam kritikan dan membuat pemerintah berhasil memulai kehidupan baru di Putrajaya pada tahun 1999.

Karena diduga kuat sebagai ambisi politik Mahathir, banyak yang menilai proyek ini tidak akan berjalan lancar saat Mahathir tidak lagi menjadi PM. Dan anggapan ini terbukti. Masih mengutip studi Sarah Moser, PM baru Malaysia Abdullah Ahmad Badawi (menjabat 2003-2009) secara nyata telah memperlambat pengeluaran dalam konstruksi Putrajaya dan mengarahkan dana besar ke proyek yang diinisasi dirinya sendiri—suatu proyek yang seolah-olah dirancang untuk bersaing dan mengalahkan warisan Mahathir.

Sikap penggantinya ini diungkap juga oleh Mahathir dalam autobiografinya.

“[Tun Abdullah] telah mengemukakan bahwa ini adalah salah satu proyek yang membuat negara bangkrut dan menyebabkan semua proyek pemerintah dalam [berbagai rencana kebijakan] tidak berjalan. [Banyak proyek pemerintah] tidak dapat dimulai karena tidak ada uang. Mereka (para kontraktor) menyalahkan saya atas kesulitan mereka,” tulis Mahathir.

Meski demikian, Mahathir menampik segala tuduhan tak berdasar Abdullah. Mahathir melihat bahwa keuangan Malaysia ketika dirinya mengundurkan diri sangat sehat. Ia menduga bahwa pemerintah telah gagal mengelola keuangan dan tidak menuruti sarannya dalam mencari sumber dana bagi Putrajaya.

“Properti pemerintah di Kuala Lumpur akan dikosongkan setelah pindah ke Putrajaya. Saya telah menyarankan bahwa itu harus dijual ke publik. Apalagi banyak di antaranya yang strategis dan sangat komersial. […] Dari hasil penjualan, pembebasan tanah dan pembangunan Putrajaya pasti bisa dibiayai dengan mudah, tanpa beban anggaran. Sebagai pengembang Putrajaya, Pemerintah juga seharusnya dapat memperoleh keuntungan yang cukup besar, sehingga secara finansial, pemerintah tidak merugi dari pengembangan Putrajaya. Kritik bahwa Putrajaya adalah megaproyek dan pemborosan uang tidak beralasan; sebaliknya, itu ternyata menjadi investasi yang sangat bagus,” kata Mahathir.

Kini, setelah puluhan tahun berdiri, kritik-kritik yang pernah terjadi tampaknya menjadi angin lalu. Putrajaya telah berdiri megah dan menjadi kebanggaan baru masyarakat Malaysia.

Baca juga artikel terkait PUTRAJAYA atau tulisan lainnya

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Muhammad Fakhriansyah
Editor: Irfan Teguh