Menuju konten utama

Ambiguitas Aturan Seleksi CPNS yang Melukai Guru & Pegawai Honorer

“Makanya, saat Permenpan 61 (2018) terbit, kami sakit hati. Ini melukai hati banyak honorer.” (Sekjen Front Pembela Honorer Indonesia (FPHI) Muhammad Nur Rambe).

Ambiguitas Aturan Seleksi CPNS yang Melukai Guru & Pegawai Honorer
Sejumlah honorer K2 berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (30/10/2018). ANTARA FOTO/Reno Esnir.

tirto.id - Kemunculan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan) Nomor 61 Tahun 2018 membawa angin segar bagi pelamar Seleksi CPNS 2018. Mereka yang semula tak lolos Seleksi Kompetensi Dasar (SKD), karena nilai di bawah passing grade (batas minimal nilai), mendapat kesempatan “kedua” dengan pemberlakuan sistem ranking.

Akan tetapi, Permenpan 61/2018 menerima respons sebaliknya dari guru dan pegawai honorer. Sekjen Front Pembela Honorer Indonesia (FPHI) Muhammad Nur Rambe menilai Permenpan itu bermasalah.

Sebab, kata Rambe, regulasi itu menganulir ambang batas nilai (passing grade), yang sudah ditetapkan, sehingga ketentuan ketat syarat Seleksi CPNS 2018 terkesan ambigu atau tidak konsisten. Padahal, ia mencatat, Kemenpan dan panitia seleksi pernah mengklaim perumusan batas nilai dan soal ujian sudah berdasar riset dan survei.

“Ini tanda tanya besar, apakah ada permainan? Kalau kami curiga, wajar,” kata Rambe kepada Tirto, pada Jumat malam (23/11/2018). “Ini luar biasa seenak hatinya, kalau begini, tak usah bikin standar tinggi.”

Rambe tidak memerinci dugaan “permainan” itu. Dia hanya membandingkan dengan ketentuan batas nilai dalam Seleksi CPNS untuk tenaga honorer K2 pada 2013. Saat itu, tidak ada toleransi passing grade meski banyak tenaga honorer dengan masa kerja bertahun-tahun gagal memenuhinya. Padahal, diduga kuat banyak honorer K2, yang lolos ujian pada 2013, memalsukan data lama kerja. Nilai ujian pun, kata dia, tidak pernah diumumkan panitia.

“Makanya, saat Permenpan 61 (2018) terbit, kami sakit hati. Ini melukai hati banyak honorer,” ujarnya.

Belum lagi, menurut Rambe, banyak tenaga honorer sudah kecewa sejak awal sebab batas usia pelamar seleksi CPNS 2018 dibatasi maksimal 35 tahun. Oleh karena itu, ia menilai Kemenpan-RB lebih baik menggelar lagi seleksi pada 2019 dengan syarat lebih longgar, khususnya bagi tenaga honorer, daripada menerapkan sistem ranking.

Permenpan 61/2018, yang mulai berlaku 21 November lalu, mengatur penerapan sistem ranking untuk meloloskan peserta SKD yang tidak memenuhi passing grade. Sistem ranking berlaku jika terjadi 2 kasus.

Pertama, ketika tidak ada peserta SKD dari satu jenis formasi memenuhi passing grade, untuk bisa ikut tes tahap II, Seleksi Kompetensi Bidang (SKB). Kedua, jika jumlah peserta SKD dengan nilai sesuai passing grade lebih sedikit dari banyak lowongan yang dibuka pada satu jenis formasi.

Menpan-RB Syafruddin sudah menjelaskan sistem ranking digunakan untuk mencegah banyak formasi CPNS pada seleksi tahun ini tak terisi. Ia mengakui jumlah peserta SKD yang memenuhi passing grade pada tahun ini memang minim.

“Kalau passing grade kita jatuhkan [ambang batas nilai SKD diturunkan], itu [kualitas] sumber daya manusia aparatur nanti kembali mundur. Kita ingin maju,” kata dia seperti dilansir setkab.go.id.

Deputi Bidang SDM Aparatur Kemenpan-RB Setiawan Wangsaatmaja juga menjelaskan, selain karena peserta yang lolos passing grade minim, sistem ranking diterapkan untuk mengatasi masalah disparitas hasil kelulusan SKD antar-wilayah.

“Sistem perankingan dengan nilai kumulatif minimum [255] ini hanya berlaku untuk mengisi formasi yang kosong. Oleh karena itu, peserta yang telah lolos passing grade tidak dirugikan,” kata dia.

tes cpns Passing grade

Guru Honorer Kebumen Gugat Jokowi dan Menpan-RB

FPHI berencana menggugat Permenpan 36/2018 ke Mahkamah Agung (MA) supaya usia maksimal 35 tahun tak berlaku ke pelamar CPNS berstatus tenaga honorer dengan masa kerja 5 tahun lebih. Rambe menilai syarat batas usia bagi tenaga honorer sangat mungkin dipatok jauh di atas umur 35.

“UU ASN [UU 5/2014] tak menyebut detail batas maksimal usia, yang mengatur Permenpan 36,” kata Rambe.

Bahkan, dia melanjutkan, semestinya pemerintah bisa merekrut CPNS dari tenaga honorer tanpa ujian, jika saja lekas mendorong revisi UU ASN. Karena menilai pemerintah tak berniat merevisi UU ASN, FPHI pun berencana mengajukan gugatan uji materi beleid tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Jumlah eks tenaga honorer K2 memang melimpah. Data Badan Kepegawaian Negara (BKN) mencatat jumlahnya 430-an ribu. Jika dihitung dari masa kerja 5-20 tahun, FPHI menaksir jumlah tenaga honorer 800-an ribu. “Banyak honorer kerja tahunan dibayar murah, kenapa rekrut PNS dari luar?” Kata dia.

Ternyata, puluhan guru dan pegawai honorer asal Kebumen, Jawa Tengah sudah lebih dulu menempuh upaya hukum. Mereka menggugat secara perdata Presiden Joko Widodo dan Menpan-RB Syafruddin.

Gugatan diajukan ke PN Jakarta Pusat, awal November lalu. Sidang perdana perkara ini digelar pada Kamis (22/11/2018), tapi perwakilan tergugat tidak datang. Penggugat meminta hakim menghukum Presiden dan Menpan-RB dengan membatalkan aturan pada Lampiran Huruf F Permenpan-RB 36/2018. Aturan yang dimaksud: batas usia 35 tahun bagi pelamar CPNS formasi khusus guru dan tenaga medis Eks Tenaga Honorer K2.

“Ada 48 penggugat, kami mewakili 4000-an honorer di Kebumen,” kata Ketua Forum Komunikasi Guru Tidak Tetap dan Pegawai Tidak Tetap (GTT dan PTT) Kebumen, Ahmad Zahri saat dihubungi Tirto.

Zahri mengaku organisasinya didampingi advokat Andi Muhammad Asrun dalam upaya hukum itu. Ia menambahkan, organisasinya juga sedang mengupayakan pengajuan uji materi Permenpan 36/2018 ke MA.

"Masa, tahunan mengabdi, dibatasi usia 35 tahun, itu tak manusiawi,” ujar Zahri.

Apalagi, kata dia, banyak guru maupun pegawai honorer bernasib merana, bertahun-tahun bekerja dengan gaji rendah. Zahri mencontohkan ia bekerja sebagai guru honorer SD negeri, sejak 2008. Di tahun pertama bekerja, gajinya Rp100 ribu per bulan. “Beberapa tahun kemudian, hanya naik jadi Rp250 ribu sebulan,” kata Zahri.

Mulai 2018, Zahri menerima tambahan gaji berupa tunjangan Rp300 ribu. Itu pun bisa ia terima setelah kuliah lagi agar bergelar S1 Ilmu Pendidikan. Ia kuliah lagi sebab semula bergelar S1 PAI (Pendidikan Agama Islam) dan itu tak sesuai syarat guru kelas yang bisa mendapat tunjangan dari pemda Kebumen.

Tidak heran, Zahri mendesak pemerintah mengangkat semua honorer dengan lama kerja di atas 5 tahun seperti dirinya menjadi PNS. “Kalau revisi UU ASN terlalu lama, presiden terbitkan Perppu saja,” kata dia.

Kepala Bagian Humas Kemenpan-RB Suwardi mengaku belum mengetahui detail gugatan 48 guru dan pegawai honorer asal Kebumen itu. Ia juga tidak tahu alasan bagian hukum Kemenpan tidak hadir pada sidang perdana. Tapi, di sidang lanjutan pada 13 Desember, dia memastikan, “Kami akan hadir.”

Suwardi mengklaim Kemenpan mengikuti ketentuan UU ASN saat menetapkan syarat usia maksimal 35 tahun bagi pelamar Seleksi CPNS 2018. “Pada UU ASN, juga disyaratkan [rekrutmen] CPNS harus melalui tes [tidak bisa lewat pengangkatan],” kata dia kepada Tirto melalui komunikasi telepon.

Sayangnya, Kemenpan belum memiliki solusi konkret untuk menjawab tuntutan para guru dan pegawai honorer. Suwardi memang menyebut, salah satu solusi bagi honorer berusia di atas 35 tahun ialah mengikuti seleksi lowongan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun, dia mengakui skema PPPK tidak dikhususkan bagi honorer karena tujuannya merekrut pegawai dari kalangan profesional.

“Tapi, peluang honorer masih terbuka,” ujar dia.

Pelaksanaan rekrutmen PPPK kini masih menunggu penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi dasar hukumnya. Meski demikian, Suwardi menyatakan, “Dari segi penghasilan, PPPK [bisa] setara PNS.”

Baca juga artikel terkait CPNS 2018 atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Addi M Idhom
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Muhammad Akbar Wijaya