Menuju konten utama

Amankah Tidur dengan Televisi Masih Menyala?

Beberapa penelitian dan ahli bersilang pendapat terkait sehat tidaknya memakai TV sebagai sarana pengantar tidur.

Amankah Tidur dengan Televisi Masih Menyala?
Ilustrasi tertidur di depan tv. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Bagi Dimas (26) rasanya kurang lengkap apabila tidak menyalakan laptop sebelum istirahat tidur malam. Penat setelah seharian bekerja di sebuah perusahaan IT di Kota Malang, dia biasanya memutar anime, YouTube, lagu dan lainnya. Selain laptop, kadang Dimas menyalakan TV untuk teman tidur, meski tidak sesering laptop. Ajaibnya, dengan cara itu Dimas justru bisa tertidur dengan cepat.

"Pernah ketika belum ngantuk, lalu menyalakan laptop dan buka YouTube, eh jadi ngantuk berat. Rebahan sebentar, bablas ketiduran sampai pagi," ujar Dimas kepada Tirto.

Menurut pengalaman Dimas, pengalaman tidur dengan TV atau laptop menyala tidak pernah mengganggu kualitas tidurnya. Dia masih bisa bangun bagi dalam keadaan bugar. Apa yang dilakukan Dimas jamak dilakukan banyak orang di seluruh dunia. Bahkan, tidur dengan televisi menyala bukanlah hal yang aneh.

Orang-orang Belgia misalnya. Dalam penelitian Exelmans L dan Van den Bulck J berjudul The Use of Media as a Sleep Aid in Adults (2014), disebutkan bahwa dari 844 responden orang dewasa berusia 18-94 tahun, ada 31,2 persen yang menyalakan TV untuk mengantar tidur.

Sementara National Sleep Foundation dalam laporan tahunan 2011 menyebut, duapertiga orang AS usia 30 hingga 64 tahun menyalakan TV beberapa jam sebelum tidur. Ravi Gupta dkk dalam penelitian berjudul Sleep-patterns, co-sleeping and parent's perception of sleep among school children: Comparison of domicile and gender (2016) menemukan 76,2 persen anak-anak India usia 8 dan 9 tahun di perkotaan lebih sering menonton TV sebelum tidur dibanding anak-anak perdesaan.

Pertanyaannya: apakah menyalakan TV sebagai pengantar tidur mempunyai dampak kesehatan? Jawabannya ternyata beragam. Beberapa jurnal penelitian, pun komentar para ahli, tak selalu senada.

Berkutat Pada Efek Cahaya Biru

Layar TV memancarkan sinar terang dan diklasifikasikan sebagai cahaya biru. Ini adalah sebuah rentang cahaya dalam spektrum kasat mata yang mengandung jumlah energi tertinggi. Diukur dalam satuan nanometer (nm), panjang gelombang cahaya biru berada di kisaran 400 sampai 500 nm.

Dahulu, cahaya biru memancar dari sinar matahari, bersama dengan jenis cahaya lainnya. Namun kini, cahaya biru lebih dekat lagi dengan kehidupan sehari-hari manusia dan tidak berkaitan langsung dengan matahari. Cahaya biru kini memancar dari layar yang ada pada berbagai gawai seperti ponsel, tablet, komputer atau laptop, dan termasuk TV.

Dilansir dari Scientific American, cahaya biru ini memiliki tingkat konsentrasi yang lebih tinggi dibanding cahaya lain pada umumnya. Ini dapat mempengaruhi hormon melatonin yang punya tugas dalam tubuh untuk mengatur kapan harus tertidur dan terbangun.

Jika radiasi cahaya biru bisa mengganggu hormon melatonin, maka akan ada perubahan pola tidur. Hal ini akan menggeser jam alamiah dalam tubuh yang disebut ritme sirkadian. Pergeseran ini akhirnya berdampak buruk pada kesehatan akibat kurangnya jam tidur, juga sedikitnya waktu tidur yang berkualitas.

Situs sleep.org yang didukung oleh National Sleep Foundation mengklaim, fase tidur memasuki REM (gerak mata mulai cepat dan acak) bisa tertunda karena paparan cahaya biru. Ini membuat meski mata sudah menutup, kita masih merasa mengantuk di pagi hari. Dengan kata lain, cahaya biru ini bisa membuat kualitas tidur berkurang.

Sammy Margo, psikoterapis dan penulis buku The Good Sleep Guide turut menyalahkan efek cahaya biru yang memancar dari layar TV dapat mengganggu pelepasan hormon melatonin. Solusi yang ditawarkan adalah mematikan TV dan menggantinya dengan membaca buku sebagai sarana pengantar tidur.

Kualitas tidur yang tidak baik banyak dikaitkan dengan berbagai penyakit kronis, seperti serangan jantung, gagal ginjal, tekanan darah tinggi, diabetes, stroke, mempengaruhi kulit menjadi cepat tua, bikin cepat lupa, hingga mudah gemuk. Begitu pula dengan masalah kurang tidur yang juga menyebabkan penyakit serupa yang mematikan. Kualitas tidur buruk atau kurangnya jam tidur bisa benar-benar membunuhmu.

Infografik Ketiduran Pas Nonton

Kebiasaan Menonton TV agar Tertidur Boleh, Asal...

Soal cahaya biru dan kebiasaan menonton TV hingga tertidur ini menimbulkan silang pendapat di kalangan peneliti dan praktisi kesehatan. Michael J. Breus, ahli Psikologi Klinis yang aktif di organisasi American Board of Sleep Medicine dan American Academy of Sleep Medicine (AASM), adalah salah satu praktisi yang tidak melihat adanya masalah serius dari kebiasaan menonton TV sebelum tidur maupun sampai tertidur.

Breus yang ternyata juga terbiasa tidur dengan menyalakan TV berpendapat: kecil kemungkinan seseorang terjaga dari tidur akibat menyalakan TV. Apalagi jika dia hanya sekadar menyalakan tanpa benar-benar menontonnya. Atau jika siaran televisi sedang membosankan.

Selain itu, jarak umum antara televisi dan penonton biasanya tidak terlalu dekat. Sehingga cahaya biru yang dikhawatirkan peneliti tidak akan punya pengaruh signifikan. Selain itu, TV zaman kiwari sudah punya fitur sleep mode, atau mati otomatis, sesuai waktu yang kita inginkan.

Penyebab gangguan tidur tidak hanya televisi. Berselancar di internet jelang tidur juga salah satunya. Penelitian yang dilakukan Gema Mesquita dan Rubens Reimão di Brasil dalam jurnal berjudul "Quality of sleep among university students: effects of nighttime computer and television use" (2010) menghasilkan jawaban bahwa berselancar di internet sebelum tidur justru meningkatkan resiko kualitas tidur yang buruk di kalangan orang usia 17 sampai 25 tahun.

Masalahnya, selama ini penelitian tentang TV dan tidur banyak berkutat pada dampak buruk cahaya biru. Padahal, bermain ponsel menjelang tidur juga kian menjadi tren. Kebiasaan ini juga membuat peluang terpapar cahaya biru lebih tinggi. Belum lagi media sosial yang diakses dapat memicu berbagai reaksi perasaan yang akhirnya membuat kita terjaga dan tak bisa tidur. Masalah kurang jam tidur atau kualitas tidur saat ini juga lebih meluas dan kompleks, seperti beban pikiran karier, hingga faktor pemanasan global.

Pengalaman menangani pasien insomnia yang 40 sampai 50 persennya mengalami gangguan tidur, Breus mengatakan tidak selamanya gangguan tidur cukup diatasi dengan mematikan lampu dan berada di suasana hening atau tenang. Ini karena ada hal-hal lain yang menjadi pangkal masalah gangguan tidur, seperti kecemasan, detak jantung cepat, ketegangan otot dan pikiran melayang yang menyebabkan stres. Menonton TV dapat menjadi alternatif untuk membuyarkan segala pikiran cemas dan tegang, sehingga akhirnya tertidur.

Baca juga artikel terkait TIDUR atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Tony Firman
Editor: Nuran Wibisono