Menuju konten utama

Amankah Anak-Anak Berpuasa?

Dokter anak di Jerman merekomendasikan anak-anak tidak berpuasa karena berisiko terhadap kesehatan dan mengganggu kegiatan belajar.

Amankah Anak-Anak Berpuasa?
Ilustrasi aktivitas puasa ramadan ibu dan anak. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Di negeri dengan 4 musim, bulan Ramadan yang bertepatan dengan musim panas membuat aktivitas berpuasa jadi berat dan berisiko bagi kesehatan. Suhu tinggi berkolaborasi dengan waktu puasa panjang membuat cadangan energi semakin cepat habis, akibatnya membikin tubuh lemas dan kurang fokus. Anak-anak menjadi kelompok yang paling rentan terkena efek tersebut.

Tubuh manusia mulai dikategorikan berpuasa delapan jam setelah makan terakhir. Ketika tubuh selesai melakukan mekanisme pencernaan, kadar gula darah dan insulin akan turun. Usus kemudian merespons kondisi ini dengan memproduksi ghrelin (hormon lapar) dan mengirimnya ke otak, menginformasikan bahwa tubuh lapar dan memerlukan asupan energi.

Otak lalu membalas dengan perintah pelepasan hormon neuropeptida Y untuk merangsang nafsu makan. Saraf dalam usus akan mengirim informasi “kenyang” ke otak ketika mereka mulai mencerna makanan. Namun ketika tak ada makanan masuk, maka alur kerja usus-otak kembali pada sistem awal.

Saat mencapai kondisi tersebut, mekanisme tubuh mulai mencari sumber energi cadangan dengan membakar lemak. Jika dilakukan dalam jangka waktu panjang, aktivitas berpuasa dapat memicu dehidrasi, disorientasi, kurang fokus, limbung, bahkan pingsan. Efek tersebut akhirnya membuat dokter-dokter di Jerman tidak merekomendasikan anak-anak berpuasa.

Asosiasi Profesional Dokter Anak Jerman justru meminta mereka minum dan mendapat asupan cairan cukup, terutama pada siang hari. Eropa memiliki waktu berpuasa lebih lama dibanding Indonesia, selisihnya sekitar lima jam. Di sisi lain selama puasa, anak-anak di Jerman harus tetap bersekolah karena bulan itu bertepatan dengan pekan sibuk pada kalender pendidikan mereka. Wajar saja puasa tak dianjurkan bagi mereka karena dapat memengaruhi performa di sekolah.

“Kami selalu menemukan anak-anak yang pucat dan tidak fokus selama Ramadan,” ungkap dokter-dokter di sana.

Kebanyakan anak-anak tersebut mengeluhkan sakit kepala, sakit perut, bahkan pingsan seusai jam pelajaran. Tak hanya di Jerman, anjuran tidak puasa bagi anak juga terjadi di Inggris. Sekolah Dasar Barclay di Leyton, London bahkan sampai mengirim surat khusus kepada orangtua siswa untuk membujuk anak-anak mereka tak berpuasa. Guru di sekolah ini seringkali mendapati anak didiknya jatuh sakit, pingsan, dan tidak fokus dalam menerima pelajaran saat puasa.

“Puasa jatuh ketika jadwal hari-hari olahraga dan kunjungan lapangan. Jika tetap mau berpuasa, lebih baik dilakukan pada akhir pekan,” tulis surat imbauan tersebut.

Namun, meski tak dianjurkan oleh para dokter dan guru, Badan Kesehatan Nasional Inggris (NHS) justru menyatakan puasa sebagai aktivitas yang cenderung aman dilakukan anak. Mereka menyatakan tahapan berpuasa harus disesuaikan dengan umur anak. Puasa bisa mulai diajarkan pada anak-anak di bawah tujuh tahun dengan catatan hanya dilakukan dalam beberapa jam saja.

Puasa penuh baru dianjurkan bagi anak yang telah memasuki pubertas, yakni ketika anak perempuan mulai tumbuh payudara dan menstruasi, dan pada laki-laki saat sudah terjadi perubahan suara. Lazimnya, tanda-tanda ini mulai muncul ketika anak masuk usia 11-12 tahun.

Infografik Jangan Puasa

Otak Kedua Manusia

Efek berpuasa yang dialami anak seperti seperti lemas, kurang fokus dalam belajar, hingga pingsan bukan tak bersebab. Saat lapar, orang cenderung tidak fokus dan otak jadi buntu berpikir. Peneliti memperkirakan terdapat otak kedua manusia yang berada di “perut” yang mempengaruhi hal tersebut.

Studi yang dilakukan Nick J Spencer, dkk yang dipublikasikan di jurnal Jneurosci menyatakan otak kedua manusia biasa disebut sistem saraf enterik. Sistem tersebut memiliki jutaan neuron penting dalam mengatur sikap usus, termasuk mempengaruhi reaksi tubuh. Mereka diidentifikasi sama kompleksnya dengan jaringan neuron di sumsum tulang belakang.

Otak dan usus terhubung dalam jaringan neuron dan hormon yang saling merespons (saraf vagus). Sistem inilah yang memberikan sinyal lapar dari perut ke otak atau deteksi psikosomatik dari rasa stres. Sistem informasi itu kemudian disebut jalur otak-usus. Namun, meski berada dalam satu sistem yang saling merespons, saraf enterik dapat beroperasi sebagai entitas independen tanpa koneksi dari dan ke otak.

Faktanya, sebanyak 80-90 persen serabut saraf di sistem saraf enterik dimulai dari usus ke otak. Namun, ketika saraf vagus dipotong, sistem enterik tidak membutuhkan otak sama sekali dalam beraktivitas. Bukan karena usus dapat menyampaikan pesan ke otak, maka berarti otak mengendalikan usus. "Otak kedua" kita memiliki keputusannya sendiri.

Bakteri di dalam usus diyakini dapat memanipulasi hasrat, suasana hati, dan perilaku kita. Individu yang hidup sehat dengan bakteri usus sehat dan beragam juga cenderung tak rentan depresi. Hasil uji coba pada tikus yang tumbuh di lingkungan steril menunjukkan ciri sosial serupa spektrum depresi pada manusia. Ketika mereka diberi tambahan prebiotik, gejala depresi juga turut berkurang.

Kemiripan efek tersebut yang membuat banyak ilmuwan meyakini salah satu fungsi utama bakteri usus adalah memengaruhi perilaku sosial. Jika asupan makanan terpenuhi, terlebih ketika makanan tersebut cukup gizi, bakteri usus akan berkembang baik. Ia akan mempromosikan risiko stres yang rendah, begitu juga sebaliknya.

Dalam beberapa hal, otak kedua bahkan lebih punya pengaruh daripada pemikiran logis otak, seperti pikiran yang buntu saat lapar, misalnya. Maka wajar ketika lapar, kita terkadang jadi tak bisa berpikir karena bakteri pada usus sedang “marah” dan mengembangkan reaksi stres pada tubuh.

Melihat risiko-risiko di atas, sebaiknya dipertimbangkan lagi ihwal rentang waktu latihan berpuasa pada anak-anak. Apalagi jika mereka memang masih berusia di bawah 11 tahun dan belum akil balig.

Baca juga artikel terkait RAMADAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani