Menuju konten utama

Alun-Alun Malang: Simbol Kegagalan Belanda Menaklukkan Rakyat

Alun-Alun Kota Malang dibangun Belanda sebagai simbol kekuasaan kolonial. Kehilangan kesan angker karena digunakan bumiputera untuk berdagang dan beristirahat.

Alun-Alun Malang: Simbol Kegagalan Belanda Menaklukkan Rakyat
Alun-alun kota Malang. Foto/Wikipedia

tirto.id - Alun-alun Kota Malang di Jalan Merdeka, atau kadang juga disebut Alun-Alun Merdeka, tampak lebih ramai dikunjungi sejak direvitalisasi oleh Pemkot Malang pada akhir 2014. Sebagai salah satu fasilitas ruang terbuka publik, Alun-Alun Merdeka kini dilengkapi dengan toilet, deretan tempat duduk, arena skate park, dan air mancur.

Alun-Alun Merdeka didirikan pada 1882. Saat itu, Malang masih berstatus kabupaten, dengan pemerintahan pusat di Pasuruan. Hawa sejuk Kota Malang dan hasil perkebunan khas dataran tinggi menjadi pemikat orang-orang Belanda mendirikan koloni di wilayah ini.

Namun, keberadaan Alun-Alun Merdeka yang dibangun pemerintahan kolonial ini terkesan menyimpang dari pola pendirian alun-alun di Jawa pada umumnya. Alun-alun Jawa lazimnya terletak persis di depan keraton atau pendopo kabupaten sebagai sebuah halaman luas.

Alun-alun adalah tempat yang penting dan sakral. Jo Santoso dalam Arsitektur-Kota Jawa: Kosmos, Kultus & Kuasa (2008) menyebutkan, alun-alun tak cuma menjadi simbol dari pusat kekuasaan atau sebagai pusat inti yang mengawali perkembangan suatu kota, tetapi juga sebagai tempat berlangsungnya semua perayaan ritual atau upacara keagamaan penting serta arena parade militer.

Alun-Alun Merdeka berbeda. Wilayah alun-alun dan sekitarnya memang tetap berperan sebagai pusat kota, namun letak pendopo kabupaten justru agak jauh di sebelah timur alun-alun. Wajahnya pun menghadap ke selatan.

Di bagian selatan alun-alun berbentuk persegi ini, terdapat rumah asisten residen yang menghadap ke alun-alun. Di sebelah barat ada masjid, penjara di timur, gereja di utara. Bangunan-bangunan penunjang aktivitas pemerintahan Belanda terletak di ruas lainnya.

Handinoto & Paulus H. Soehargo dalam Perkembangan kota dan arsitektur kolonial Belanda di Malang (1996) menyatakan, di kota-kota kolonial di Jawa pada 1800-1900, pusat kendali pemerintahan berada di sekitar alun-alun kota. Tak heran jika melihat tata letak alun-alun dan bangunan penunjang di sekitarnya, Alun-Alun merdeka di Malang sejak awal memang didesain sebagai ruang publik khas pemerintahan kolonial yang jelas menerabas pakem tata kota tradisional Jawa.

Dalam perjalanannya, simbol koloni itu rupanya tak cukup sukses menjaga wibawanya sebagai arena penguasa kolonial. Alun-Alun Merdeka justru banyak dimanfaatkan oleh penduduk pribumi untuk beraktivitas, mulai dari bersantai hingga berdagang. Puncaknya, Alun-Alun Merdeka ditinggalkan oleh pemerintah kolonial yang memilih membikin alun-alun baru.

Ditaklukkan Rakyat dan Ditinggalkan

Sebuah foto hitam putih koleksi A. Bierens de Haan menampilkan potret kehidupan Alun-Alun Merdeka sekitar tahun 1900-an. Tampak para pedagang makanan dan minuman menduduki sebuah area alun-alun dengan latar rindangnya pohon beringin. Purnawan Basundoro dalam Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang Sejak Zaman Kolonial Sampai Kemerdekaan (2009) menjadikan foto tersebut bahan interpretasi bagaimana rakyat pribumi ketika itu secara tidak langsung berhasil merebut simbol kolonial dengan cara-cara keseharian.

"Setiap sore sampai malam hari perlawanan terhadap kolonialisme sebenarnya terjadi di alun-alun walaupun bukan perlawanan fisik atau peperangan," tulis Basundoro.

Bisa jadi, salah satu penyebab alun-alun Malang ini diduduki oleh para rakyat pribumi adalah tata letaknya yang tidak njawani: pusat kekuasaan seperti kabupaten justru berada di pinggiran alun-alun dan menghadap ke selatan. Walhasil, alun-alun ciptaan pemerintah kolonial ini tak punya makna sebagai otoritas di mata penduduk setempat yang terbiasa melihat alun-alun di halaman keraton atau kantor kabupaten.

Meski demikian, sebagai pusat pemerintahan kolonial, di area sekitar alun-alun terus dibangun gedung-gedung penunjang kehidupan orang Eropa, misalnya hotel, bank, gereja, bioskop, sampai gedung pusat hiburan macam Societeit Concordia yang terletak di barat laut alun-alun.

Di sisi lain, penduduk setempat semakin melihat kesenjangan antara elit penguasa kolonial dan rakyat jelata. Jika orang-orang Eropa bisa melepas penat dengan berdansa-dansi serta main kartu dan bilyar di Societiet Concordia, maka penduduk pribumi cukup puas dengan melepas penat di area alun-alun seraya menikmati hidangan pedagang setempat. Begitu pula saat orang Eropa menikmati hiburan di Rex Bioscoop, masyarakat setempat sudah cukup senang menyaksikan ludruk yang digelar di pojok alun-alun.

Menyadari situasi itu, penguasa kolonial memilih membiarkan alun-alun tersebut menjadi ruang terbuka biasa yang tak lagi punya makna kekuasaan. Salah satu buktinya adalah izin yang diberikan kepada jaringan rel trem kota yang dikelola Malang Stoomtram Maatschappij (MS) untuk melintasi alun-alun kota dari pojok barat laut menuju pojok tenggara. Sebuah halte trem bahkan berdiri di tengah alun-alun.

Malang baru mendapat status gemeente (Kotamadya) pada 1914. Status ini sekaligus menjadi penanda baru pembangunan Kota Malang modern yang meninggalkan tata ruang pembangunan kota lama. Alun-alun tidak dimasukkan ke dalam delapan tahap rencana pembangunan (bouwplan) Kota Malang.

Alun-alun Baru

Sebagian orang Belanda generasi baru memandang alun-alun sebagai pusat kota sebagai simbol usang, berbau indisch. Anggapan seperti itu muncul khususnya dari generasi yang datang belakangan ke Hindia Belanda. Menurut Basundoro, sesudah tahun 1900, Malang dan kota-kota lainnya kebanjiran orang Belanda totok yang menginginkan konsep kota baru.

Freek Colombijn & Joost Coté dalam Cars, Conduits, and Kampongs: The Modernization of the Indonesian City, 1920-1960 (2015) menyebutkan, sebagai tindak lanjut penerapan bouwplan dan perubahan status Malang dari kabupaten ke kotamadya, pemerintah Kota Malang membangun alun-alun baru yang dinamai J.P Coen Plein pada 1922. Desain alun-alun ini sudah dikerjakan sejak 1917. Jarak antara alun-alun lama ke alun-alun baru sekitar 700 meter ke arah timur laut. Keberadaan J.P Coen Plein membuat Malang memiliki dua alun-alun sekaligus.

Pada 1922, pemerintahan Kota Malang pindah dari alun-alun pusat ke J.P Coen Plein yang akrab disebut "Alun-Alun Bunder". Pada tahun-tahun berikutnya, kantor pemerintah Kota Malang didirikan menghadap ke utara dengan latar depan alun-alun J.P Coen Plein. Di sekeliling alun-alun baru itu, terlihat Gunung Kawi di barat, Gunung Semeru di timur, dan Gunung Arjuno di utara.

Infografik Alun alun malang

Infografik Alun alun malang

Tata letak alun-alun baru ini terbilang unik. Alun-alun dan pusat pemerintahan kembali bersatu dalam garis linier yang mengingatkan akan alun-alun khas Jawa. Konsep dan tata letak alun-alun baru ini tak lepas dari tangan dingin Herman Thomas Karsten, arsitek ternama Hindia Belanda yang anti-kolonialis. Ia menciptakan bangunan yang memadukan gaya arsitektur Barat dan identitas lokal.

Dalam perjalanannya, berbagai macam acara diselenggarakan di Alun-Alun bunder. Alun-alun lama semakin ditinggalkan dan berganti rupa menjadi arena bermain masyarakat setempat. Setahun setelah kemerdekaan, sebuah tugu dibangun di bagian tengah alun-alun bunder dan diresmikan oleh Presiden Sukarno.

Ada banyak hal yang membuat Alun-Alun Merdeka tetap ramai dikunjungi sampai hari ini, khususnya jika dibandingkan dengan Alun-Alun Tugu yang lebih bernuansa Jawa. Namun demikian, Alun-Alun Tugu alias Alun-Alun Bunder tak kalah penting kedudukannya. Sampai kini, ia tetap menjadi ikon Kota Malang, lengkap dengan Balai Kota Malang terus berfungsi dalam kehidupan sosial masyarakat setempat.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Humaniora
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf