Menuju konten utama

ALS, Penyakit yang Dialami Stephen Hillenburg si Pencipta Spongebob

Penderita ALS biasanya hanya bisa bertahan hidup dua hingga tiga tahun setelah gejala pertama muncul.

ALS, Penyakit yang Dialami Stephen Hillenburg si Pencipta Spongebob
Stephen Hillenburg menghadiri pemutaran perdana film "The Spongebob Movie: Sponge Out Of Water" di AMC Lincoln Square pada Sabtu, 31 Januari 2015, di New York. Charles Sykes / Invision / AP

tirto.id - Are you ready kids ?

Aye, Aye, Captain

I can't hear you

Aye Aye Captain

Ohh...

Who lives in a pineapple under the sea?

Spongebob squarepants

Teriakan garang dan senandung sang kapten kapal itu akan menjadi kenangan bagi para pecinta serial kartun SpongeBob SquarePants. Stephen Hillenburg, pencipta animasi bawah laut itu telah tutup usia setelah berjuang melawan penyakit Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS). Ia meninggal pada Senin, 26 November 2018 pada usia 57 tahun, setelah menderita ALS.

“Dunia Bikini Bottom akan berdiri lama sebagai pengingat nilai optimisme, persahabatan, dan kekuatan imajinasi tak terbatas,” demikian Nickelodeon menulis salam perpisahannya bagi Hillenburg, seperti ditulis Washington Post.

Sebelumnya, Hillenburg adalah seorang ahli biologi kelautan ketika memutuskan mempelajari animasi eksperimental. Ia berhasil memenangkan pertaruhan dan menciptakan tayangan legendaris untuk Nickelodeon. Hillenburg memadukan dua cintanya menjadi sebuah animasi tentang kehidupan makhluk bawah laut.

Namun, diagnosis penyakit ALS menjadi akhir dari petualangannya bersama si kuning Spongebob, Patrick Star, Squidward, dan teman-teman bawah lautnya.

Laman ALS Canada menjabarkan bahwa penyakit ini secara bertahap akan melumpuhkan penderitanya. ALS membikin orang kehilangan kemampuan berjalan, berbicara, makan, menelan, dan akhirnya bernapas. Secara normal otak terhubung ke otot melalui jutaan sel saraf khusus, yang disebut neuron motorik. Neuron ini berfungsi menghantarkan sinyal untuk memerintahkan otot berkontraksi, melakukan aktivitas yang dikehendaki.

“Dalam ALS, neuron motorik secara bertahap memecah dan mati sehingga otak tidak punya media berkomunikasi dengan otot-otot tubuh,” demikian paparan pada laman tersebut.

Belum Bisa Disembuhkan

Sang animator sejatinya telah mengumumkan penyakit yang ia derita sekitar setahun lalu. Penyakit itu menggerogotinya sedikit demi sedikit hingga akhirnya sampai ke fase terminal. ALS memang tergolong penyakit terminal yang hingga sekarang belum ditemukan obat penawarnya. Dokter lazimnya hanya memberikan obat-obatan pereda gejala dari ALS, tapi obat-obat itu tidak menghentikan keganasan penyakit tersebut. Di dunia, diprediksi terdapat 200 ribu orang yang hidup dengan ALS.

National Institute of Neurological Disorders and Stroke menyebut beberapa gejala terkait ALS yang seringkali tersamar. Beberapa gejala awal termasuk otot berkedut di lengan, kaki, bahu, atau lidah, kram otot, otot melemah sehingga memengaruhi lengan, kaki, leher atau diafragma, berbicara cadel, dan sulit mengunyah atau menelan.

Maka dari itu, untuk mendiagnosis penyakit ini diperlukan beberapa tes khusus, misalnya Electromyography (EMG) untuk mengetahui aktivitas hantaran otot, tes urine dan darah. Serta tes peluang penyakit lain seperti HIV, leukimia, polio, atau virus west nile.

Beberapa penderita juga sering mengeluhkan tersandung atau terhuyung saat berjalan atau berlari. Lalu, kesulitan melakukan aktivitas harian seperti mengancingkan kemeja, menulis, atau memutar kunci. Jamaknya, penderita ALS akan meninggal karena kegagalan pernafasan, rentang waktunya dua sampai lima tahun sejak gejala pertama muncul. Hanya sekitar 10 persen individu dengan ALS yang bertahan hidup selama 10 tahun atau lebih.

Risiko gejala ALS lebih tinggi menimpa pria dibanding perempuan, dan kebanyakan berkembang pada usia 55-75 tahun, serta ras Kaukasia dan non-Hispanik. Secara khusus, penelitian di Amerika Serikat menunjukkan veteran di sana juga memiliki risiko tinggi sekitar 1,4 sampai dua kali terkait ALS. Penyebabnya diduga karena paparan timbal, pestisida, dan racun lingkungan lainnya.

“Hingga kini belum diketahui secara pasti penyebab ALS, namun diduga karena mutasi gen,” tulis laman National Institute of Neurological Disorders and Stroke.

Sebanyak 90 persen dari seluruh kasus ALS bersifat random, artinya tidak mengenal garis kekeluargaan dan dapat menyerang golongan mana pun. Hanya sekitar 5-10 persen ALS yang diwariskan dari garis keturunan. Dari kelompok ALS minoritas tersebut, sekitar 25-40 persennya disebabkan kecacatan pada gen chromosome 9 open reading frame 72 (C9ORF72).

“Mutasi yang sama dikaitkan dengan kondisi otak yang menyebabkan demensia.”

Infografik ALS

Meski belum ditemukan obat penawarnya, individu dengan ALS bisa melakukan beberapa cara untuk memperlambat pemburukan penyakitnya. Food and Drug Administration (FDA) Amerika telah meloloskan obat riluzole (Rilutek) dan edaravone (Radicava). Obat tersebut dipercaya dapat mengurangi gejala kemunduran neuron dan memperpanjang harapan hidup hingga beberapa bulan.

Terapi fisik dan terapi berbicara juga penting dilakukan, tapi bukan latihan berat seperti berenang atau bersepeda. Terapis akan menyarankan terapi ringan seperti meniti, memakai bebat, berjalan lambat, dan memakai kursi roda.

Terapi bicara dilakukan dengan memasang alat bantu berbicara berbasis komputer. Alat ini menggunakan teknologi deteksi mata untuk membantu penderita ALS menjawab "ya" atau "tidak" dengan mata atau simbol nonverbal lainnya. Mereka juga bisa menyimpan sisa suara dalam alat tersebut sehingga bisa dipakai di waktu mendatang, saat mereka mulai sulit berbicara.

Langkah penanganan ALS selanjutnya adalah dukungan nutrisi. Individu dengan ALS cepat lambat akan kehilangan kemampuan menelan sehingga berpengaruh pada asupan nutrisi tubuh.

Ahli gizi dapat menerapkan perencanaan makanan dalam porsi kecil yang cukup kalori, serat, dan cairan, serta memilah makanan yang sulit ditelan. Penempatan beberapa alat medis diperlukan untuk memudahkan nutrisi masuk. Selang makanan untuk menyalurkan makanan langsung ke dalam perut. Alat hisap perlu untuk membuang cairan berlebih atau air liur agar tidak tersedak.

Dan terakhir, dukungan pernapasan seperti ventilasi noninvasif (NIV) yang diletakkan serupa masker di hidung atau menanam respirator berupa mesin pengembang paru-paru dan tabung pernapasan yang dipasang dengan pembedahan di bagian depan leher. Alat-alat inilah yang sempat dipasangkan pada Stephen Hawking sehingga ia menjadi bagian dari 10 persen individu dengan ALS yang mampu bertahan hidup lebih dari 10 tahun.

Baca juga artikel terkait BERITA DUKA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani