Menuju konten utama
Obituari

Aloysius Sugianto, Anak Buah Ali Moertopo Pengganda Supersemar

Anak buah Ali Moertopo yang diperintah menggandakan Supersemar. Karier Aloysius Sugianto mandek gara-gara bikin marah Soeharto.

Soeharto (kiri) berada dibelakang Soekarno (kanan) pada maret 1966. Foto/Getty Images/Beryl Bernay

tirto.id - Tersebutlah pada malam 11 Maret 1966, sebuah rapat digelar di Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Gambir. Bagian intelijen Kostrad hari itu juga ikut sibuk. Mayor Aloysius Sugianto tak bisa istirahat gara-gara ada perintah penting dari atasannya, Letnan Kolonel Ali Moertopo.

“Tolong cepat gandakan!” kata Ali, seperti diingat Sugianto dan dikutip majalah Tempo edisi 20 Oktober 2013. Ali lantas menyerahkan dua lembar kertas kepada Sugianto. “Segera kembali,” kata Ali lagi.

Sugianto segera menyadari betapa pentingnya surat tersebut. Seingat Sugianto, Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Jusuf, dan Brigadir Jenderal Amirmachmud baru saja bertandang ke markas Kostrad untuk menemui Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto. Sebelumnya, ketiga jendral itu menghadap Presiden Sukarno di Istana Bogor.

Pada zaman itu, seingat Sugianto, belum ada mesin fotokopi sehingga metode penggandaan dokumen yang lazim adalah dengan memfotonya. Maka Sugianto bergegas mencari studio foto dengan dikawal polisi militer naik jeep. Sebenarnya, itu adalah tugas yang agak mustahil karena hari sudah larut malam. Sugianto lalu teringat seseorang yang barangkali bisa membantunya: Jerry Sumendap.

Jerry adalah seorang pengusaha pelayaran yang belakangan mendirikan Bouraq Airline. Sugianto tahu belaka, Jerry yang sering melawat ke Eropa itu punya peralatan canggih di rumahnya. Maka dia pun bergegas menuju ke rumah Jerry di Jalan Lombok, kawasan elite Menteng.

Legalah Sugianto mengetahui Jerry sedang berada di rumah. Sugianto langsung memperlihatkan dua lembar dokumen penting yang harus digandakan itu. Semula, surat itu hendak difoto dengan kamera biasa, tapi urung karena tidak ada waktu untuk mencetak fotonya.

“Sumendap berpikir menggunakan polaroid miliknya,” ingat Sugianto.

Lalu dipotretlah dokumen itu dengan kamera polaroid. Dari lima kali jepretan, Sugianto menemukan tiga jepretan yang bagus. Lembaran-lembaran asli dan hasil jepretannya kemudian dimasukan ke dalam map. Tugas selesai dan Sugianto pun bergegas kembali ke markas Kostrad sesuai perintah Ali Moertopo.

Sugianto lalu menyerahkan map itu kepada Ketua G5 KOTI Brigadir Jenderal Sutjipto. Lembaran surat yang digandakan Sugianto dengan bantuan Jerry itu adalah Surat Perintah 11 Maret 1966 atau lebih dikenal sebagai Supersemar.

Andalan Ali Moertopo

Menggandakan Supersemar bukan satu-satunya jasa Sugianto kepada Orde Baru. Hingga 1970-an, kala Ali Moertopo sudah naik pangkat jadi Mayor Jenderal, Sugianto tetap jadi andalannya. Sugianto sendiri saat itu sudah jadi kolonel. Dia termasuk perwira penting dalam unit Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin oleh Ali Moertopo.

Ali Moertopo melibatkan Sugianto dalam upaya pendudukan Timor Portugal—kini Timor Leste. Lebih spesifik lagi, dia jadi bagian dari Operasi Komodo yang punya misi menjaga agar komunis tak berkuasa di Timor Portugal. Pasalnya, kawasan Timor Portugal kala itu dianggap terancam oleh kelompok kiri Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente (Fretilin).

“Sang kolonel yang Katolik—seperti sepertiga penduduk Timor—mendapat perintah mengunjungi ibu kota Timor, Dili, dalam sebuah misi pencarian fakta,” tulis Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2009, hlm. 86).

Sugianto keluar-masuk Timor Portugal dengan visa dari Konsulat Portugal di Jakarta. Dia ke Dili dengan mengaku sebagai direktur dari perusahaan fiktif. Di Dili, Sugianto disambut wakil dari Partai Apodeti.

“Saya akan dijemput di bandara Dili oleh wakil Apodeti. Sesudah berbicara dengan mereka, kemudian saya menuju hotel dan bertemu dengan pendukung persemakmuran Portugal sambil minum kopi. Malamnya, saya akan makan malam dengan mereka yang mendukung kemerdekaan,” kata Sugianto sebagaimana dikutip Conboy (hlm. 87).

Aloysius Sugianto sebetulnya termasuk salah satu perwira potensial di Angkatan Darat. Namun, pangkatnya hanya mentok di kolonel. Opsus dan misinya di Timor Portugal pun tak bertahan lama karena keburu dibubarkan Soeharto. Sejak itu, pamor Ali Moertopo dan Sugianto perlahan tenggelam.

Bikin Marah Soeharto

Sebagai tentara, Sugianto termasuk Angkatan ‘45. Dia dekat dengan Slamet Riyadi. Ken Conboy dalam Kopassus: Inside Indonesia's Special Forces (2003, hlm. 18) menyebut, dia dikirim ke Jakarta setelah Slamet Riyadi terbunuh di Ambon. Di Jakarta, dia ikut kursus intelijen tempur dan akhirnya masuk Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).

Sebelum terdampar di Kostrad, Sugianto adalah perwira berpangkat letnan di RPKAD. Julius Pour dalam Benny Murdani: Profil Prajurit Negarawan (1993, hlm. 118-122) menyebut, Sugianto adalah pembantu terdekat Mayor Djaelani—komandan yang dekat dengan kelompok Zulkifli Lubis dalam perseteruan internal di tubuh Angkatan Darat.

Sugianto kerap mewakili Djaelani dalam pertemuan dengan kelompok anti-Nasution itu. Dia dan komandannya itu juga terlibat dalam Peristiwa Kranji 1956—upaya penculikan Jenderal Nasution yang gagal. Para perwira yang terlibat dalam Peristiwa Kranji 1956 dihukum berat.

Mayor Djaelani dijatuhi hukuman disiplin, dikeluarkan dari dinas, dan tentu saja kariernya macet setelah itu. Sugianto agak terselamatkan karena dianggap masih muda dan bisa dibina. Namun, dia harus keluar dari RPKAD.

Infografik Aloysius Sugianto

Infografik Aloysius Sugianto 1928-2021. tirto.id/Fuad

Sugianto dikenal sebagai perwira Angkatan Darat aktif yang juga menjadi pengusaha penerbitan dan perfilman. Ketika masih menjadi bawahan Ali Moertopo di Opsus, dia menjadi wakil direktur Berita Yudha--salah satu koran yang jadi corong militer dan Orde Baru.

Sugianto juga pernah mendirikan majalah Pop. Orang yang menjadi pemimpin redaksinya adalah Rey Hanityo. Majalah Pop pernah bikin geger publik pada 1974.

Dalam edisi 17 Oktober 1974, redaksi menurunkan artikel bertajuk “Teka-teki Sekitar Garis Silsilah Soeharto” yang menyebut bahwa ayah Soeharto adalah seorang bangsawan bernama R.L. Prawirowijono alias Raden Rio Padmodipuro. Padahal, informasi yang beredar di publik selama ini, ayah Soeharto adalah Kertosudiro—seorang ulu-ulu atau pejabat pengairan desa dari Bantul.

Artikel itu tentu saja membuat Soeharto murka. Pimred Pop pun kemudian diseret ke pengadilan.

Ketika kehebohan itu terjadi, Sugianto sedang tak berada di Jakarta. Dia sedang sibuk dengan misinya di Timor Portugal yang dianggap Pemerintah Indonesia dan Amerika sedang dalam intaian komunis.

Terkait perkara majalah Pop itu, seturut Tempo edisi 9 November 1974, Sugianto sempat dipanggil menghadap Ali Moertopo di rumahnya di Jalan Matraman, Jakarta. Sugianto akhirnya menyanggupi untuk merilis permintaan maaf dan ralat terkait silsilah daripada Soeharto tersebut.

Meski tak ikut dipenjara, karir militer Sugianto mandek gara-gara masalah itu.

“Pangkat saya enggak bisa naik lagi. Saya pensiun dengan pangkat kolonel,” aku Sugianto kepada Tempo edisi 14 Februari 1999.

Padahal, Sugianto yang kelahiran Yogyakarta, 25 Juni 1928, sebenarnya masih mungkin naik pangkat. Umurnya saja masih 46 tahun dan punya koneksi dengan Ali Moertopo.

Baca juga artikel terkait OBITUARI atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fadrik Aziz Firdausi