Menuju konten utama

Alkisah Laptop Made in Rwanda

Pertengahan 1990-an Rwanda kenyang berurusan dengan konflik berdarah antar suku. Namun, Rwanda telah belajar banyak bagaimana meramu strategi pemasaran yang sukses menarik perhatian para investor di level internasional. Dukungan kuat ada di komitmen pemerintah, pertumbuhan ekonomi yang baik, inflasi rendah, iklim investasi bagus, dan jumlah angkatan kerja yang melimpah. Kini, Rwanda jadi incaran para investor produk berbasis teknologi sedunia.

Alkisah Laptop Made in Rwanda
Para pengguna laptop di Rwanda. FOTO/smedigest.co.ke

tirto.id - Kita mungkin sudah terbiasa melihat label “Made in China” di setiap barang elektronik. Semua maklum. Cina memang sedang “menjajah” dunia dengan produk buatannya, ataupun produk negara lain yang “numpang” produksi di negaranya. Namun, bagaimana dengan “Made in Rwanda”? Bukankah negara itu dulu sering kisruh karena perang saudara? Bagaimana bisa mereka menghasilkan produk elektronik untuk diekspor ke negara lain?

Rwanda dulunya memang suram. Pada pertengahan 1990-an lalu, negara dengan ibukota di Kigali itu memang kenyang berurusan dengan konflik berdarah antar suku. Namun, Rwanda telah belajar banyak bagaimana meramu strategi pemasaran yang baik untuk menarik perhatian para investor di level internasional. Kini, Rwanda akhirnya menjelma menjadi sebuah negara dengan peluang investasi produk berbasis teknologi yang amat menjanjikan.

Sebuah korporasi multinasional asal Amerika Selatan bernama Positivo BGH sudah terlebih dahulu menerima undangan tersebut. Positivo BGH adalah perusahaan teknologi patungan alias joint venture antara dua perusahaan, yakni Positivo Informativa dari Brasil dan BGH dari Argentina. Positivo BGH menjadi perusahaan pertama yang memproduksi laptop berlabel “Made in Rwanda”. Kabarnya mereka juga telah mengamankan kesepakatan dengan pemerintah Rwanda untuk menjual 150.000 laptop tiap tahunnya (sebagian besar lari ke sektor pendidikan).

Juan Ignacio Ponelli, kepala perwakilan Positivo BGH di Afrika mengatakan, saat ini perusahaannya memiliki 50 staf yang rata-rata berasal dari warga lokal dan mendapat pelatihan oleh beberapa ekspatriat. Jika ditotal dengan para pekerja yang berurusan dengan keamanan hingga kebersihan, Positivo BGH telah menciptakan peluang kerja bagi 120 orang asli Rwanda.

“Ini adalah strategi perusahaan untuk bersaing di tingkat global. Kami adalah perusahaan nomor satu di bidang teknologi, namun kami hanya dikenal di Amerika Selatan. Jadi sekarang kami memutuskan untuk menjangkau wilayah global dan memilih Rwanda untuk memulainya,” ujar Ponelli kepada CNN.

Ia percaya diri perusahaannya akan tumbuh besar di Rwanda meski harus diakui tantangan untuk meluaskan pasar di tingkat global tak semudah meludah. Namun, bagi Ponelli, Positivo BGH sudah akrab dengan kondisi yang demikian sejak lama. “Kami datang dari Argentina dan Brazil, jadi kami paham bagaimana menjalaninya, dan kami sudah mengerjakan hal yang sama sejak 100 tahun lalu,” imbuhnya.

Dukungan Penuh Pemerintah

Optimisme Ponelli memiliki dasar kokoh. Rwanda telah berubah dari negara yang dahulu mengandalkan punggung perekonomiannya hanya di sektor ekspor bahan mentah sekarang beralih ke sektor teknologi. Rwanda kini bahkan, didaulat sebagai pusat kegiatan teknologi. Belum lama ini, mereka meluncurkan Fablab, sebuah ruang kreatif bagi para anggotanya untuk mengubah ide produk teknologi menjadi produk sungguhan—bahkan unggulan.

Mei lalu, Rwanda juga bertindak sebagai tuan rumah ajang World Economic Forum on Africa dan dilaporkan menuai pujian atas kinerja atas Kigali Innovation City yang merupakan sebuah laboratorium pelatihan dan pendanaan untuk perusahaan-perusahaan berbasis teknologi di Rwanda maupun perusahaan dari luar seperti Positivo BGH.

Jalan ini memuluskan investasi perusahaan teknologi multinasional lain di masa depan. Apalagi, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Rwanda rata-rata berada di angka 8 persen per tahun sejak 2001 hingga 2015. Pertumbuhan yang progresif ini membuat pemerintah Rwanda optimis meluncurkan program Vision 2020. Cita-citanya di tahun 2020 nanti Rwanda terhubung dengan jaringan internasional dan mengubah Rwanda menjadi “negara berpenghasilan menengah berbasis pengetahuan”.

Selain keseriusan dukungan pemerintah, Rwanda diuntungkan dengan pertumbuhan penduduk usia kerja (15-64 tahun). Pertumbuhan penduduk usia produktif ini menjanjikan sebagai pangsa pekerja.

Menurut data Bank Dunia, pertumbuhan penduduk usia produktif Rwanda sejak tahun 10 selalu di atas 50 persen. Tahun 2006 mencatatkan angka 55,27 persen atau 9.231.041 jiwa. Sempat turun menjadi 55,22 dan 55,01 persen di tahun 2007 dan 2008, lalu melesat di angka 54,86 persen di tahun 2009. Tahun 2010 mencapai 54,88 persen, tahun 2011 menjadi 54,91 persen, dan pada 2012 untuk pertama kalinya mencapai angka lebih dari 55 persen. Di tahun-tahun berikutnya angkanya selalu naik, hingga di tahun 2016 ini sudah mencapai angka 56,16 persen atau berjumlah 11.609.666 jiwa.

Selain pertumbuhan populasinya yang menjanjikan — selalu dua digit — iklim investasi Rwanda juga tergolong menyenangkan bagi para investor. Sepuluh tahun lalu, data Penanaman Modal Asing (PMA/FDI) hanya berkisar 30,64 juta dolar AS. Rwanda hanya butuh waktu tiga tahun untuk melipatgandakan angka itu menjadi 118,57 juta dolar AS.

Pada 2010, memang sempat ada penurunan tajam di titik 42,33 juta dolar. Namun, di tahun-tahun setelahnya muncul tren pertumbuhan progresif. Sampai 2015, PMA di Rwanda sudah mencapai angka 323,21 juta dolar AS.

Pada 2006, PDB Rwanda yang didasarkan pada nilai pasar (current price) baru di angka 3.110,33 juta dolar. Namun, pada 2015 sudah mencapai angka 8.095.98 juta dolar. Atmosfer menggembirakan ini didukung pula oleh tingkat inflasi Rwanda yang sangat rendah atau hanya di kisaran 1,21 persen saja di tahun 2015. Sebuah prestasi yang membanggakan mengingat pada 2011, tingkat inflasi Rwanda mencapai 11,82 persen, bahkan menyentuh angka 14,27 persen setahun setelahnya.

Visi ekonomi Rwanda mirip-mirip dengan Cina yakni mengandalkan tenaga kerja yang melimpah di berbagai perusahaan multinasional (kebanyakan asal Amerika Serikat) yang membangun pabriknya di Cina. Alasannya sederhana: tenaga kerja yang melimpah dapat menekan angka produksi dan dengan dibukanya keran impor yang besar ke negara-negara tetangga, produk “Made in China” bisa dijual dengan harga lebih murah.

Pertumbuhan penduduk usia produktif yang cukup tinggi, inflasi yang rendah, nilai investasi yang besar, serta dukungan dan undangan dari pemerintah yang besar menjadi beberapa variabel kunci mengapa Rwanda bisa menjadi “tiruan” Cina, khususnya di bidang industri produk teknologi. Negara-negara berkembang tetangga Rwanda juga sekaligus bisa menjadi pangsa pasar yang besar, menyadur isi kesepakatan antara pemerintah Rwanda dan Positivo BGH, untuk memajukan dunia pendidikan warga Afrika.

Visi pemerintah Rwanda memang tak melulu dimotivasi oleh semangat menumpuk keuntungan tetapi juga demi meningkatkan kualitas hidup rakyatnya. Cita-cita ini bertemu dengan program Ekocentres yang digagas oleh Coca-Cola. Program tersebut berfokus pada pembangunan sarana air bersih, penguatan gerakan perempuan dan menghidupkan komunitas-komunitas di masyarakat yang bergerak untuk kemaslahatan publik.

Merujuk data Coca-Cola, Rwanda adalah satu dari 8 negara yang mendapat program Ekocenters. Hingga saat ini sudah ada 35 Ekocenters yang dibangun di Rwanda. Dari sekian banyak negara di Afrika, mengapa memilih Rwanda?

Dalam wawancara bersama Bussines Times, ketua perwakilan Coca-Cola untuk wilayah Afrika Tengah, Timur, dan Barat Kevin Balogun mengemukakan, Rwanda dipandang sebagai satu dari beberapa negara Afrika lain dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Muncul pula kerja sama yang kuat antara sektor swasta, masyarakat sipil, dan pemerintah, yang berdampak pada perkembangan atas inisiatif program yang positif untuk ke depannya.

“Coca-Cola telah menginvestasikan 64 juta dolar AS untuk bisnis minuman ringan di Rwanda sejak tahun 2011, dan akan bertambah 17 juta dolar AS untuk wilayah Afrika antara 2010-2020. Kerja sama dengan mitra kami telah menghasilkan bisnis yang berkelanjutan di Rwanda,” kata Balogun.

“Berkat inisiatif Ekocenters, kami menjadi yang terdepan dalam membawa para pemangku kepentingan (bisnis) dunia untuk bersama-sama menguatkan dan menjamin kelangsungan pertumbuhan dan kemajuan ekonomi dan sosial di Rwanda,” tegasnya.

Jika tren positif ini terus berlangsung di Rwanda hingga berpuluh-puluh tahun ke depan, imajinasi tentang Rwanda di dunia internasional akan turut berubah. Bukan lagi adegan-adegan sadis pembantaian Suku Hutu kepada Suku Tutsi seperti yang terilustrasikan di film “Hotel Rwanda” (2004), tetapi barisan para pekerja lokal yang bersemangat merangkai bagian-bagian laptop yang siap dipasarkan ke seluruh penjuru dunia.

Baca juga artikel terkait MILD REPORT atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti