Menuju konten utama

Aliarcham Mati Muda di Boven Digoel

Melihat penderitaan orang miskin, ia keluar sekolah dan melawan Belanda, sampai akhirnya dibuang ke Digoel.

Aliarcham Mati Muda di Boven Digoel
Makam Aliarcham. FOTO/Istimewa

tirto.id - Sebelum kenal dengan Marxisme, Aliarcham lebih dulu mengenal Samin Surosentiko. Kisah tokoh Sedulur Sikep itu sudah didengar oleh pemuda kelahiran Pati tahun 1901 ini sejak ia masih sekolah di Hollandsche Inlandsche School (HIS), sekolah elit untuk anak-anak pribumi berbahasa Belanda.

Sekolah di HIS tak hanya membuatnya bisa baca tulis huruf Latin, tapi juga bahasa Belanda, sehingga ia bisa mengakses surat kabar yang berpihak pada kaum kuli. Media-media itu adalah Sinar Hindia—yang kemudian menjadi Api—milik Sarekat Islam Merah, Suara Rakyat dan Het Vrije Woord milik Indische Sociaal Demokratische Vereniging (ISDV) alias Perhimpunan Sosial Demokratis Hindia, dan de Express milik orang radikal macam Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker.

“Dari guru-guru agamanya, ia menerima ajaran-ajaran Saminisme tentang persamaan dan persaudaraan manusia, tentang gotong-royong dan tiada penindasan, tentang membenci dan melawan penjajah Belanda,” demikian tertulis dalam buku Aliarcham Sedikit Tentang Riwayat dan Perjuangannya (1964), terbitan Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, Jakarta.

Baca Juga: Cara Samin Melawan dan Membikin Resah Belanda

Aliarcham adalah putra seorang guru agama kampung. Dia tak dibesarkan dalam sebuah keluarga miskin. Setelah lulus dari HIS, ia melanjutkan ke sekolah guru pribumi atau Kweekschool voor Inlands Onderwijs di Ungaran dan akhirnya ke sekolah guru menengah atas Hogare Kweekschool, di Purworejo. Namun, Aliarcham yang keras kepala tak menyelesaikan sekolahnya di Purworejo itu. Dia menyaksikan kemiskinan dan penghinaan terhadap orang-orang di sekitarnya, dan ia pun jadi komunis.

Ketika masih sekolah guru, pada 1921 dia sudah tercatat sebagai anggota PKI, selain terus menjadi anggota SI Merah. Saat itu, ia menjadi tukang kritik di sekolah, bahkan tak mau membungkukkan badannya di hadapan orang-orang Belanda, termasuk guru-gurunya. Ia menganggap orang-orang Belanda kerap menghina orang-orang Indonesia yang mereka biarkan bodoh dan miskin.

Suatu hari, pada 1922, Guru Kepala di sekolahnya memanggilnya jelang ujian akhir. Aliarcham diancam dikeluarkan dari sekolah jika terus menjadi tukang kritik yang keras kepala. Aliarcham tak mau diancam dan memilih undur diri dari muka gurunya. Namun, sang guru Belanda itu memanggilnya masuk ke ruangannya lagi dan mengulangi ancamannya. Bukannya takut, Aliarcham malah kesal dan keluar sambil membanting pintu.

“Tuan takkan dapat mematikan semangat perjuangan saja. Saya akan berjuang melawan penjajahan Belanda,” kata Aliarcham ketika hengkang dari sekolah guru calon abdi Belanda itu.

Ia kemudian menuju Semarang, tempat PKI tumbuh dan melawan Belanda dengan keras. PKI kala itu dipimpin orang-orang muda binaan seorang komunis Belanda, Henk Sneevliet. Aliarcham melihat Sneevliet lebih peduli pada penderitaan orang-orang Indonesia yang terbodohi dan dimiskinkan ketimbang orang-orang Indonesia terpelajar yang sibuk mencari posisi di jajaran birokrasi kolonial.

“Kaum intelektual Indonesia hendaknya merasa malu kepada intelektual kelas buruh Belanda seperti Sneevliet yang berjuang untuk kemuliaan rakyat Indonesia,” kata Aliarcham.

Baca Juga: Henk Sneevliet Mahaguru Pendiri PKI

Menurut Ruth McVey, dalam Kemunculan Komunisme di Indonesia (2010), Aliarcham muda sempat menjadi eksekutif PKI di Semarang, di bawah pengawasan Darsono. Menurut catatan Harry Albert Poeze dalam Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik (1897-1925), Aliarcham menjadi ketua setelah Winanta ditangkap pada pertengahan 1924.

Di PKI, Aliarcham tak kalah giat dibanding Sneevliet yang saat itu sudah terusir dari Indonesia. Sebagai orang terpelajar di PKI dan SI Merah, Aliarcham termasuk orang yang cukup didengar. Setelah Kongres Sarekat Islam di Bandung pada 1922, ada aturan anggota SI tak boleh punya keanggotaan ganda dengan PKI.

Maka dari itu, seperti diceritakan dalam buku Aliarcham Sedikit Tentang Riwayat dan Perjuangannya, ia lalu “mengusulkan agar nama SI Merah dirubah menjadi Sarekat Rakyat, dengan tujuan untuk dapat menarik garis pemisah yang tegas antara yang putih dengan yang merah. Usulnya ini diterima dengan suara bulat.”

Aliarcham adalah anggota PKI yang kerap diawasi polisi kolonial. Ia dianggap propagandis berbahaya dalam pemogokan buruh kereta api di Jawa Timur pada Oktober 1923 yang membuatnya dipenjara selama 4 bulan. Aliarcham tentu tak kapok. Pada 1925, ia kembali aksinya diulangi dalam pemogokan buruh pabrik gula Tanggulangin. Pemerintah kolonial membuangnya ke ujung timur Hindia Belanda.

Di penghujung tahun itu, Aliarcham bersama Marjohan berangkat ke Papua. Menurut catatan Mangkudan Sati yang dikutip buku Aliarcham Sedikit Tentang Riwayat dan Perjuangannya, ia menumpang kapal van der Wijk pada 24 Desember 1925. Sebelum kapal berangkat, Aliarcham bertemu isterinya, Sukimah, dan anak lelakinya yang masih kecil, meski hanya beberapa menit.

Di Papua, Aliarcham dikurung dalam satu kurungan sempit. Kepada penjaga-penjaga bersenjata di sekitar kurungannya yang sempit itu, Aliarcham berkata: “Pemerintah kalian sangat ketakutan kepada saya yang tidak bersenjata ini.”

Ketika Pemberontakan PKI 1926 meletus, bisa dibilang Aliarcham tak terlibat. Seperti Haji Misbach, ia sudah dibuang di Papua. Dan ketika seribuan orang PKI dibuang ke Boven Digoel, Aliarcham pun dikirim ke sana, di daerah yang saat ini disebut sebagai Tanah Merah. Di Tanah Merah, anak dan istrinya juga ikut serta.

Baca Juga:

Infografik Aliarcham

Meski dibuang jauh, Aliarcham masih keras kepala. Tak heran pada akhir 1928, ia bersama Sardjono, Dachlan, Mohamad Sanusi, Soenario, Soemantri, dan Thomas Najoan dipindah ke kamp Gudang Arang, tak jauh dari Tanah Merah. Dari Gudang Arang, mereka dipindahkan ke kamp Tanah Tinggi. Tempat itu begitu sunyi, dan kesunyian adalah musuh utama paling berbahaya di sana.

Sewaktu di Tanah Merah, Aliarcham pernah dituduh melakukan hal cabul. Menurut catatan Mas Marco Kartodikromo dalam Pewarta Deli (29/10/1931), Aliarcham diperiksa terkait perbuatan tak senonohnya kepada Noerhati—istri dari Hermawan. Tuduhan itu tak terbukti dan Aliarcham dinyatakan tidak bersalah oleh sebuah komisi yang terdiri dari orang-orang buangan juga.

Di akhir-akhir hidupnya, Aliarcham menghabiskan waktu di Tanah Tinggi. Penyakit paru-parunya kerap kambuh. Dia kerap terbatuk-batuk dan akhirnya terbaring. Hingga akhirnya, “ia dipapah oleh kawan-kawannya menaiki kapal sungai. Kapal berlayar kembali menuju Tanah Merah.” Belum sampai di Tanah Merah, maut menjemputnya pada 2 Juli 1933.

“Waktu Ali Archam meninggal, semua orang merasa diguyur air dingin karena sikap pribadinya yang kuat dan pantang menyerah,” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan (1997).

Dia dimakamkan di sebuah makam yang cukup sederhana. Dalam sebuah foto di buku Boven Digul (1936) yang disusun dr. L.J.A. Schoonheyt—pernah berdinas sebagai dokter di sana—tergambar makam Aliarcham terhiasi oleh lambang palu arit disertai puisi terkenal dari Penyair Belanda, Henriette Rolland Holst. Dan tampak di foto seekor anjing sedang menjaganya. Makamnya masih bisa ditemukan di Boven Digoel, di Taman Makam Perintis Kemerdekaan di Tanah Merah.

Baca Juga:

Dalam suratnya kepada Sukimah soal meninggalnya Aliarcham, dr. Schoonheyt menulis: “Saya melihat sesuatu yang luar biasa kuatnya pada diri suami nyonya, yaitu pendirian politiknya yang tak pernah kendor melawan pemerintah. Dan sebagai manusia, saya sangat menghormati akan keteguhan hati ini.”

Tak hanya Schoonheyt yang sadar soal itu. PKI menamai salah satu kampusnya, sebuah Akademi Ilmu Sosial, dengan nama Aliarcham. Sekolah ini kemudian menerbitkan buku tipis soal Aliarcham pada 1964: Aliarcham, Sedikit Tentang Riwayat dan Perjuangannya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani