Menuju konten utama

Aliansi Masyarakat Sipil Desak DPR Tunda Pengesahan RKUHP

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat mendesak agar DPR menunda pengesahan RKHUP. Mereka menilai ada kepentingan politik di balik upaya percepatan pengesahan RKHUP.

Aliansi Masyarakat Sipil Desak DPR Tunda Pengesahan RKUHP
Sejumlah aktivis lintas kampus bersama jurnalis mengangkat kartu merah sembari diam menutup mulut dalam aksi kamisan ke-12 di depan Monumen Mandala, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (22/2/2018). ANTARA FOTO/Darwin Fatir

tirto.id - Aliansi masyarakat sipil mendesak pemerintah dan DPR agar menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

"Kami dari Aliansi Masyarakat Tolak RKUHP satu suara mendorong pengesahan RKUHP ditunda." seru Lola Easter, peneliti Indonesia Corruption Watch saat membuka acara rilis pernyataan sikap di Gedung YLBHI Jakarta, Rabu (28/3/2018).

Aliansi terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI), Solidaritas Perempuan, dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Mereka menduga kuat percepatan rencana pengesahan RKUHP berkaitan erat dengan pesta politik seperti Pilkada dan Pilpres 2019 mendatang.

Dalam konteks Pilkada pengesahan RKHUP itu sangat relevan untuk menjadi dasar percepatan pengesahan karena beberapa anggota dewan butuh 'berjualan' agar dapat dipilih lagi oleh konstituen di Dapil masing-masing.

Dari segi pemberantasan korupsi, Lola melihat RKUHP yang sekarang tidak partisipatif dan tidak mencerminkan produk yang diharapkan KPK beserta lembaga independen lainnya. "Jika pun dilibatkan seberapa besar suaranya benar-benar diperhitungkan dan dilibatkan?" tutur Lola lagi.

Alfiani Qisty dari PKNI melihat bahwa mimpi besar Indonesia punya KUHP sendiri harus diimbangi dengan langkah-langkah arif. Ia mencontohkan persoalan narkotika yang sangat kompleks untuk bisa dicarikan solusi oleh pemerintah. "Apa itu prekusor, apa itu penyalahgunaan apa itu pecandu? Hal-hal ini tidak diatur dalam RKUHP. Jika dipaksa disahkan, maka sulit dalam penerapannya karena menimbulkan kebingungan," jelas Alfiani.

Zakiya dari Solidaritas Perempuan menilai, RKUHP merugikan perempuan lantaran menempatkan hukum secara buta dengan dalih perlindungan. Selain itu, pemerintah tidak melibatkan perempuan secara komprehensif dan substansif.

"Mereka tidak melihat apakah benar-benar melindungi apa justru malah menimbulkan penindasan baru bagi perempuan." tutur Zakiya.

Menurut dia, RKUHP justru memarginalkan peran perempuan. Ia mencontohkan, dalam RKUHP diatur penyebaran alat kontrasepsi dianggap sebagai tindakan kriminal. Padahal sebagian besar penderita HIV adalah para ibu rumah tangga akibat perilaku para suami. Apalagi, jika perempuan kesulitan mengakses alat kontrasepsi maka menjadi rentan terkena HIV.

"Perempuan lemah dilindungi, tetapi tidak dilihat lebih mendalam. RKUHP adalah lelucon yang sangat tidak manusiawi." jelas Zakiah.

Lebih lanjut Aliansi Masyarakat Tolak RKUHP mendesak agar masyarakat sipil, akademisi multidisiplin, kementerian lembaga terkait dan terdampak untuk dilibatkan.

"Kalau pengesahan RKUHP bentuk upaya dekolonialisasi atau nasionalisasi peraturan perundang-undangan, tapi itu tidak tercermin sama sekali." tutur Lola. "Bahkan nafasnya lebih buruk dari pemerintahan kolonial".

Pada awal Maret 2018 Presiden Jokowi baru saja mengadakan dua pertemuan untuk membahas RKUHP. Pertemuan pertama dengan empat orang ahli hukum dan kedua dengan Tim Perumusan dan Penyusunan RKUHP.

Dari rilis yang diterima Tirto, hasil dari pertemuan tersebut, Jokowi meminta agar RKUHP segera dirampungkan dan diputuskan di DPR. Kabarnya RKUHP akan disahkan pada April 2018 nanti sebelum akhirnya ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.

Baca juga artikel terkait RUU KUHP atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Hukum
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Agung DH