Menuju konten utama
Misbar

Ali & Ratu-Ratu Queens: Saat New York Tak Sekadar Latar Luar Negeri

Film Ali dan Ratu-Ratu Queens berlatar di New York. Seberapa jauh sineas Indonesia mengolah latar asing untuk cerita di filmnya?

Ali & Ratu-Ratu Queens: Saat New York Tak Sekadar Latar Luar Negeri
ALI & RATU RATU QUEENS (L to R) TIKA PANGGABEAN as ANCE, HAPPY SALMA as CHINTA, IQBAAL RAMADHAN as ALI, NIRINA ZUBIR as PARTY, ASRI WELAS as BIYAH in ALI & RATU RATU QUEENS Cr. RADITYA BRAMANTYA/NETFLIX © 2021

tirto.id - Ali & Ratu-Ratu Queens adalah film Indonesia kesekian yang mengambil latar luar negeri sebagai titik fokus cerita. Dari sederet film Indonesia sebelumnya, kita bisa membaca kecenderungan sineas memakai latar luar negeri untuk menceritakan banyak hal, mulai dari keadaan politik Indonesia pada masa lalu (Surat dari Praha, Rudy Habibie) hingga eksotisme negeri asing (Trinity Traveler, Belok Kanan Barcelona, Jilbab Traveler: Love Spark in Korea, dan lain sebagainya).

Hingga kemudian, Queens—salah satu daerah terpadat kedua di New York—dijadikan ruang bercerita Lucky Kuswandi, Gina S. Noer, dan Muhammad Zaidy dalam film terbaru mereka, Ali & Ratu-Ratu Queens. Niatan menggubah Queens sebagai pusat cerita bahkan sudah tampak dari pilihan judul film produksi Palari terbaru ini.

Pertanyaan selanjutnya, seberapa jauh sineas mampu mengolah latar tempat untuk cerita di filmnya? Atau juga, seberapa berpengaruh Queens terhadap pertumbuhan para karakter serta kepaduan cerita Ali & Ratu-Ratu Queens?

Film Ali & Ratu-Ratu Queens mengikuti karakter utamanya Ali (diperankan Iqbaal Ramadhan), yang nekat terbang dari Jakarta ke New York untuk mencari Mamahnya. Ibunya (diperankan Marissa Anita) meninggalkan Ali di usia 5 tahun, untuk mengejar mimpinya menjadi penyanyi.

Pencarian ini membawa Ali ke Queens, New York. Di sana ia bertemu empat imigran Indonesia yang tinggal bersama di satu apartemen, yaitu cleaning lady bernama Party (Nirina Zubir), pekerja serabutan yang gemar judi bernama Biyah (Asri Welas), Cintha si tukang pijat (Happy Salma), ibu tunggal pekerja trader, Ance (Tika Panggabean), serta Eva, putri Ance (diperankan Aurora Ribero).

Bersama mereka, Ali menelusuri Queens, Fort Greene, hingga Times Square dan menemukan arti keluarga yang lain dari yang selama ini ia imani. Mereka juga memberikan Ali banyak inspirasi untuk melanjutkan mimpinya yang lain dan menempuh jalan sendiri.

Ali & Ratu-Ratu Queens mendedah dan menambahkan—bukan meredefinisi—makna keluarga melalui tokoh Ali. Eksistensi keluarga meluas, dari yang sebelumnya sebatas dimaknai dari hubungan darah (Ali dan Ibunya), menjadi kekerabatan yang dibangun dari pertemanan dan komunitas (Ali dengan para Ratu dan hubungan empat Ratu itu sendiri). Kritikus film Eric Sasono dalam ulasannya menilai pengedepanan relasi kinship (keluarga dari pertemanan) ini adalah alternatif yang segar dalam film Indonesia.

Terkait hal ini, latar tempat yang ‘jauh’ memiliki peran penting dalam mengikat relasi para imigran yang bertahan hidup jauh dari tanah air. Di titik inilah, kota Queens berperan ganda sebagai pintu gerbang pembahasan keluarga dalam nasionalisme jarak jauh sekaligus ruang bertumbuh karakter.

Profesor di Universitas Manchester, yang lama bergelut dengan isu-isu transnasionalisme dan kosmopolitanisme Nina Glick Schiller menyatakan terdapat suatu jenis nasionalisme baru yang berkembang di kalangan komunitas imigran yang hidup jauh di luar tanah airnya, yang diistilahkan sebagai "nasionalisme jarak jauh". Nasionalisme jarak-jauh ini mengikat para imigran yang terpencar di banyak tempat ke dalam suatu konsep kewargaan lintas batas (trans-border citizenry). Sineas menghadirkan lewat kisah bagaimana empat ratu Queens bertahan hidup bersama, saling menerima kekurangan masing-masing, dan—sebagaimana hidup berkeluarga—merawat satu sama lain.

Dalam film Ali & Ratu-Ratu Queens, kota Queens berperan dalam menciptakan ‘keberjarakan’ dan ‘keterasingan’. Kedua hal ini penting ada, untuk mendedah ‘penerimaan’ yang juga berkali-kali dipertanyakan Ali. Mengutip kata-kata Ali: "Ma, ada banyak jalan untuk diterima. Seperti ada banyak jalan untuk dikecewakan. Ada banyak jalan agar kita menjadi satu keluarga. Seperti ada banyak jalan untuk mencintai dan jadi diri sendiri."

Keinginan ‘diterima’ ini ada pada Ali yang ingin diakui Mamanya. Keinginan itu juga ada pada cita-cita Mia sebagai penyanyi di New York, dan tak lupa, pada setiap imigran yang menjadi orang asing di Queens. New York dalam film adalah sebuah 'utopia' penerimaan.

Demikian, film Ali & Ratu-Ratu Queens tak berusaha menghakimi pilihan Mia dalam memandang cita-cita. Sineas di satu sisi menghadirkan fragmen Hasan merelakan (dan mendukung) kepergian Mia, selain itu Hasan juga legowo dalam pengasuhan Ali kecil.

Fragmen tersebut lalu diimbangi oleh adegan sebaliknya: keluarga Hasan yang mengomentari sinis keputusan Mia dan gambaran sang suami yang akhirnya menginginkan kepulangan Mia. Keputusan terakhir Mia dan pilihan Ali memaafkan ibunya di ending juga mengukuhkan premis awal film: kenekatan Mia ke New York, meninggalkan keluarga, untuk menjadi penyanyi ini adalah keputusan yang valid. Porsi berimbang ini adalah sebuah statement yang menegaskan bahwa sah-sah saja perempuan mengejar mimpi, tak peduli apakah dia seorang ibu.

Infografik Misbar Ali dan Ratu Ratu Queens

Infografik Misbar Ali & Ratu-Ratu Queens. tirto.id/Rangga

Sineas tak berusaha meromantisasi jarak (Indonesia-New York) dengan berlebihan. Banyak orang bilang kita baru bisa paham artinya pulang berkat jarak. Tapi, apakah setiap yang pergi itu selalu punya niatan kembali? Ada memang yang mendambakan pulang ke Indonesia seperti Party. Ini tak berlaku untuk Biyah. “Ali, nanti kalau aku jadi citizen, aku mau jadi petugas imigrasi di JFK. You in, you out, you came, you home. Bye. Adios!" ujarnya suatu ketika.

Ya, persos seperti jalan searah ("one way") di New York yang banyak itu. Tak semua orang ingin pulang. Ada yang sudah bertemu rumah tanpa harus pulang. One way. I’m home.

Selain itu, keberadaan Queens sebagai ruang budaya juga berfungsi untuk menggambarkan kelas antar-imigran. Hal ini nampak dari celetukan Biyah saat tahu Ibu Ali sekarang pindah ke Fort Greene, “Wuih naik kelas dia, itu tu daerah mahal lho.” Satu hal yang sineas juga ingin tunjukkan, setiap yang pergi ke New York itu belum tentu punya kehidupan raharja dan sempurna. Tak semua orang yang tinggal di negeri kapitalis-imperialis macam Amerika Serkat hidup makmur sentosa, seperti yang jamak diperlihatkan di film-film Indonesia.

Detail-detail tersebut tentu penting dalam memperkuat setting dan cerita. Pasalnya, film-film Indonesia yang mengambil latar luar negeri sangat rentan terjebak lubang eksotisme daerah semata, dan mengabaikan orang-orang yang betulan hidup di sana. Ali & Ratu-Ratu Queens berhasil lolos dari jebakan tersebut.

Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Film
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Windu Jusuf