Menuju konten utama

Ali Kalora Bawa Mujahidin Indonesia Timur Kembali Beraksi di Poso

Kelompok MIT sempat "menghilang" setelah Santoso ditembak mati, kini mereka diduga memutilasi penambang emas di Desa Salubanga.

Ali Kalora Bawa Mujahidin Indonesia Timur Kembali Beraksi di Poso
Satgas Operasi Tinombala 2016 melakukan patroli bersenjata di Posko Sektor II Tokorondo, Poso, Sulawesi Tengah, Selasa (16/8). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/16.

tirto.id - 18 Juli 2016, polisi memastikan pemimpin kelompok militan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Abu Wardah Asy Ayarqi alias Santoso tewas dalam baku tembak di salah satu hutan lebat di Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso.

Setelah Santoso tewas, Basri alias Bagong sempat memimpin kelompok ini. Namun, kepemimpinan Basri tak berlangsung lama lantaran ia keburu ditangkap polisi bersama istrinya, Nurmi Usman alias Oma, pada 14 September 2016. Pucuk pimpinan di MIT pun berubah.

MIT selanjutnya dipimpin Ali Ahmad, atau yang dikenal dengan nama Ali Kalora. Ali adalah orang ketiga di dalam kelompok ini dan menjadi orang kepercayaan Santoso setelah Basri. Sampai sekarang, Ali Kalora masih menjadi buruan Satgas Tinombala--satuan tugas yang menjalankan Operasi Tinombala untuk menangkap kelompok MIT.

Operasi Tinombala merupakan lanjutan dari Operasi Camar Maleo IV dan mulai berjalan sejak 10 Januari 2016. Operasi Camar Maleo I sampai Camar Maleo IV sebelumnya selalu gagal menangkap Santoso.

Dalam buku “Ancaman Virus Terorisme: Jejak Teror dan di Dunia dan Indonesia” yang ditulis Marsda Tni (Purn) Prayitno Ramelan, Ali Kalora disebut pernah mengikuti pelatihan militer bersama anak buah Santoso lainnya.

“Ali salah satu tangan kanan Santoso. Orang asli [Desa Kalora]. Sudah lama ia di sana [mengikuti Santoso], sudah mulai sejak Santoso melakukan teror tahun 2011,” ujar Karo Ops Polda Sulteng Kombes Herry Rudolf Nahak dalam buku tersebut.

Di Asia Tenggara, setidaknya ada tiga kelompok yang mengklaim bagian dari ISIS dan berbaiat kepada Abu Bakar Al-Baghdadi. Mereka adalah dua kelompok separatis Anshar Khilafah dan Abu Sayyaf di Filipina Selatan, serta satu kelompok lainnya di Indonesia yakni MIT.

Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai dalam bukunya “Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia” menyebut Santoso adalah bagian dari jejaring Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Ba’asyir.

JAT disebut-sebut sempat berbaiat kepada ISIS, tetapi dukungan itu telah dicabut.

Setelah Ba’asyir ditangkap, anggota kelompoknya yang tidak tertangkap membentuk jaringan sendiri di berbagai daerah, di antaranya Abu Tholut di Poso, pada akhir 2009. Abu Tholut lantas menyarankan proyek pelatihan militer tetap berlanjut dan dipusatkan di Poso.

Di sana, Abu Tholut mengajak Santoso sebagai penanggung jawab kegiatan yang berfokus di Gunung Mauro di Tambarana, Poso Pesisir Selatan, serta Gunung Biru, Tamanjeka di Kabupaten Morowali.

Sekitar 50-an orang kemudian bergabung dengan Santoso. Upaya Abu Tholut dan Santoso mencari simpatisan di Poso cukup cerdik. Mereka memanfaatkan konflik SARA yang sempat terjadi di sana. Banyak anak-anak muda dikompori bahwa perjuangan ini adalah bagian dari jihad.

Santoso memanfaatkan dendam sebagian kecil warga Poso terhadap aparat keamanan dan pemerintah akibat konflik. Faktor ekonomi menjadi dalih lain. Alasan-alasan ini penyebab kenapa banyak anak-anak muda bergabung dengan Santoso.

Selanjutnya, Santoso yang membutuhkan senjata tambahan bagi kelompoknya namun tak punya uang, nekat merebut senjata dari aparat. Tidak hanya merampas, Santoso mengizinkan kelompoknya membunuh aparat sebagai aksi balas dendam.

Rabu 25 Mei 2011, gerombolan ini menembak mati dua polisi dan melukai seorang personel lainnya yang sedang berjaga di BCA Palu. “Dua pucuk senjata dibawa kabur mereka,” terang Ansyaad.

Infografik Jejak Teror Kelompok Santoso

infografik jejak teror kelompok santoso

Kerahkan SST Brimob

Kini, Satgas Tinombala menggencarkan pengejaran terhadap kelompok MIT. Kelompok yang dipimpin Ali Kalora itu diduga memutilasi Ronal Batau alias Anang (34), penambang emas tradisional di Desa Salubanga, Sausu, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Jenazah Ronal ditemukan Ahad (30/12/2018) sekitar pukul 11.00 WITA.

Saat pencarian potongan tubuh korban, dua anggota polisi yakni anggota Resmob Satgas 3 Tinombala Bripka Andrew Maha Putra dan anggota Sat Intelkam Polres Parigi Moutong Bripda Baso tertembak dalam baku tembak dengan kelompok bersenjata yang diduga MIT di Desa Salubanga, Kecamatan Sausu, Parigi Moutong. Lokasi baku tembak itu berjarak 1,5 kilometer dari titik penemuan kepala korban.

"Polisi mengerahkan dua Satuan Setingkat Peleton (SST) Brimob, satu SST dari Polres Poso dan satu SST dari Polres Palu untuk membantu Polres Parigi Moutong melakukan pengejaran,” kata Karopenmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo dalam keterangan tertulis, Selasa (1/1/2019).

Senin (31/12/2018) sekitar pukul 14.30 WITA, satu SST Brimob yang terdiri dari 30 personel telah berangkat dari Polsek Sausu ke lokasi penembakan menggunakan tiga mobil double cabin.

Pukul 19.11 WITA, tim dengan empat personel Brimob kembali ke Polsek Sausu. Dan 44 menit kemudian, empat personel lainnya menyusul.

Dari lokasi baku tembak, masing-masing tim menemukan barang yang diduga milik kelompok MIT, yakni tiga bom lontong, satu teropong siang, tiga sendok makan, tiga toples plastik kecil berisikan sembilan kurma dicampur kue, dua amunisi aktif kaliber 5,56 dan tujuh selongsong amunisi kaliber 5,56.

Selain itu, mereka juga menemukan satu kaus berkerah, satu sebo warna hitam, tiga botol air mineral, empat jerigen kosong kapasitas isi dua liter, dan sepeda motor Suzuki 250 cc yang dikendarai Bripka Andrew dan Bripda Baso.

Baca juga artikel terkait MUJAHIDIN INDONESIA TIMUR atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abul Muamar