Menuju konten utama

Ali Ebram dan Siapa Sebenarnya yang Mengetik Naskah Supersemar?

Eks perwira Tjakrabirawa Ali Ebram mengklaim sebagai pengetik naskah Supersemar. Seorang purnawirawan intelijen meragukannya.

Ali Ebram dan Siapa Sebenarnya yang Mengetik Naskah Supersemar?
Ilustrasi mesin ketik. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pada 1965 Letnan Kolonel Ali Ebram adalah perwira intelijen dalam Resimen Tjakrabirawa, pasukan pengaman presiden. Sebelumnya, dia adalah Komandan Batalion Kawal Kehormatan yang personelnya berasal dari Banteng Raider. Laki-laki kelahiran Solo sekitar tahun 1928 ini pernah menjadi Komandan Batalion Infanteri 454 Banteng Raiders di Srondol, Semarang. Dia berkali-kali digantikan Letnan Kolonel Untung, komandan Gerakan 30 September 1965 (G30S). Setelah peristiwa G30S itu, Ali Ebram merasa terkejut.

Selepas penculikan, seorang polisi bernama Soekitman diperiksa Ali Ebram di tangsi Tjakrabirawa. Soekitman bercerita apa yang dilihatnya di malam jahanam 30 September itu. Ketika cerita sampai kepada jenderal bintang dua yang dianiaya dan dibunuh, Ali Ebram berseru sambil menggebrak meja, "Itu bapak saya!"

Jenderal bintang dua yang dimaksud adalah Mayor Jenderal Suwondo Parman. Seperti Ali, Parman juga dari Jawa Tengah, dari rumpun Diponegoro. Seperti Ali juga, Parman sejak lama adalah perwira intel.

Pengakuan Ali Ebram

Ali mengalami hari-hari yang sibuk setelah G30S, termasuk pada 11 Maret 1966. ”Pagi itu dari Bogor, Bung Karno berangkat ke Jakarta. Hari Jumat itu ada rapat kabinet 100 menteri di Istana. Bung Karno berangkat dengan menggunkan helikopter. Sedangkan saya sendiri lewat jalan darat, begitu heli mengudara,” aku Ali Ebram kepada Detak (22/2/1999) seperti dikutip buku Misteri Supersemar (2006: 17).

Ketika Jakarta dirasa tak kondusif, Sukarno kembali lagi ke Bogor dan Ali menyusul lewat jalan darat lagi.

Waktu Ali tiba di Istana Bogor, rupanya ada tiga jenderal yang datang. Ali Ebram merasa "dianggap taek-taek (diremehkan) oleh mereka." Para jenderal itu adalah Mayor Jenderal Basoeki Rachmat, Mayor Jenderal Amirmachmud dan Mayor Jenderal M. Jusuf. Ketiganya berbicara lama dengan Sukarno.

”Pak, berikan perintah pada Soeharto biar aman,” kata salah satu jenderal itu.

Amirmachmud yang paling ngotot agar Sukarno membuat surat untuk Soeharto. Sementara Basoeki terlihat agak kalem. Sukarno, seingat Ali Ebram, kala itu duduk dengan kepala bersandar di kursi. Hari itu adalah hari-hari yang berat bagi Sukarno dan Indonesia. Amir pun kemudian memaksa, "Sudah, Bapak bikin saja.”

”Hee, yang sopan, dong, Jenderal!” seru Ali Ebram kepada para jenderal yang dirasanya kurang sopan itu.

Beruntunglah para jenderal, karena kehormatan mereka dibela Sukarno dengan menempeleng pipi Ali Ebram dan bilang dalam bahasa Jawa, "Kowe buntutku ojo melu-melu! Kowe meneng wae!" Artinya kira-kira: "Kamu itu pembantuku, jangan ikut-ikut! Kamu diam saja!" Di hari berat itu, Sukarno tampak membiarkan dirinya terhina di hadapan tentara.

Ali pun keluar dari ruangan dan masih menyimpan marah kepada Amirmachmud yang tidak sopan. ”Waktu melihat tingkah Amir itu, rasanya saya sudah ingin merogoh pistol saja. Kalau tidak ada Bapak, enggak tahu apa yang terjadi,” ingat Ali Ebram.

Setelah dua jam, Ali Ebram pun dipanggil Brigadir Jenderal Saboer, Komandan Resimen Tjakrabirawa. Ali mengaku dirinya diminta mengetik sebuah surat. Tapi Ali Ebram adalah orang lapangan. Mengetik surat adalah tugas yang janggal baginya.

”Saya tidak bisa mengetik,” kata Ali Ebram.

”Sudahlah, ikut saja. Saya bantu,” tukas Saboer.

Mulanya mereka kesulitan menemukan blangko berkop kepresidenan. Masalah utama bagi Ali Ebram adalah kemampuan mengetiknya. Sekitar jam tiga sore, Ali Ebram dan Saboer masuk ke kamar Presiden. Ali Ebram mengaku dirinya terpaksa mengetik surat tersebut dengan didampingi Saboer. Dia merasa gemetar ketika mengetik. Sementara itu Sukarno, yang mengenakan baju santai, celana biasa, dan tidak memakai peci, mondar-mandir sambil mendikte isi surat.

Kemudian lahirlah Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Sebuah surat yang teramat sakti, yang dikira banyak orang sebagai surat pemindahan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto. Sebuah surat yang dianggap sebagai "akte kelahiran" Orde Baru. Hebatnya, meski ketikan asli surat itu dinyatakan hilang, Soeharto tetaplah "sakti".

Infografik Ali Ebram

Infografik Ali Ebram. tirto.id/Rangga

Benarkah Ali Ebram yang Mengetik?

Menurut Kolonel H.W. Sriyono, purnawirawan perwira intelijen yang pernah bertugas di Team Pemeriksa Pusat (Teperpu), seperti dituturkannya kepada Tirto (17/6/2019) di rumahnya, mengetik biasanya tugas kopral, sersan, atau staf lain. Masih menurut Sriyono, tidak mungkin orang yang pernah jadi komandan batalion bisa mengetik.

Sriyono, yang dulu juga bagian dari rumpun Diponegoro, sangat tidak yakin Supersemar diketik Ali Ebram. "Saya berani jamin, bukan Letnan Kolonel Ali Ebram. Itu Kapten J.B. Suparno. Setelahnya ditandatangani. Ali Ebram tidak ada di Bogor. Ali Ebram kelasnya sudah lain," aku Sriyono.

Jika benar Ali Ebram pengetik Supersemar, yang akhirnya membuat Letnan Jenderal Soeharto mengendalikan keamanan Republik Indonesia, maka surat penting itu adalah hasil ketikan seorang yang amatir dalam mengetik. Selain itu Supersemar juga lahir dari pikiran seseorang yang tengah berbaju santai dan bercelana biasa.

Setelah mengetik Supersemar, nasib Ali Ebram tidak terlalu bagus. Dia pernah 12 tahun ditahan tanpa kejelasan. Setelah bebas dari tahanan terkait G30S, Ali Ebram mengaku pernah ke rumah Soeharto untuk bersilaturahmi. “Dia kan bekas atasan saya,” kata Ali Ebram.

Waktu Ali Ebram masih di Banteng Raiders, Soeharto adalah panglima di Jawa Tengah. Beberapa pelaku G30S, maupun orang-orang yang tersangkut kasus itu, memang bekas bawahan Soeharto. Di antara yang paling menonjol adalah Letnan Kolonel Untung dan Kolonel Abdul Latief; bahkan serdadu rendahan macam Sersan Mayor Bungkus dan Letnan Satu Dul Arief. Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudra, yang ikut apes gara-gara G30S, juga pernah jadi bawahan Soeharto di Jawa Tengah.

Baca juga artikel terkait SUPERSEMAR atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan