Menuju konten utama
Obituari

Alfred Riedl dan Keberaniannya Dorong Perubahan di Timnas Indonesia

Afred Riedl berhasil membawa Timnas Indonesia ke final Piala AFF edisi 2010 dan 2016. Mampu menjawab tantangan, meski minim dukungan federasi.

Alfred Riedl dan Keberaniannya Dorong Perubahan di Timnas Indonesia
Alfred Riedl menjelang gelaran Piala AFF 2016. antara foto/wahyu putro a/pd/16

tirto.id - “Kenapa Anda tak pernah terlihat tersenyum?”

Ketika wartawan Tempo melontarkan pertanyaan itu, Alfred Riedl sudah sekitar setahun menangani Tim Nasional Indonesia. Reputasi Riedl sedang menanjak kala itu. Bagaimana tidak, dalam rentang waktu yang nisbi singkat itu, dia berhasil melakukan perubahan besar terhadap sepakbola Indonesia.

Dalam gelaran Piala AFF 2010, tangan dingin Riedl berhasil membuat penampilan Timnas jauh lebih bagus daripada sebelumnya. Timnas bermain sangat agresif dan mencetak banyak gol di bawah asuhan Riedl. Menurut Tempo, “Para pemain menggoreng bola dengan menawan dan melakukan kerjasama yang padu.”

Meski gagal meraih gelar, penampilan apik Timnas setidaknya membawa hoki bagi pedagang jersey tiruan di Tanah Abang—selain jadi bahan gorengan sejumlah politisi.

Namun, dengan torehan yang boleh dipuji itu, penampakan dan pembawaan pribadinya hampir tak pernah berubah. Riedl bahkan menggenapi tiga periodenya menangani Timnas Indonesia (2010-2011, 2013-2014, dan 2016). Sejak pertama kali datang ke Indonesia, Riedl hampir selalu mengenakan setelan latihan Timnas yang itu-itu saja, irit bicara, dan nyaris tak pernah tersenyum.

“Karena saya harus menghadapi orang-orang seperti Anda, ha-ha-ha...,” jawab Riedl kemudian, sebagaimana dikutip majalah Tempo edisi 3 Januari 2011.

Tentu saja itu jawaban bercanda. “Orang-orang seperti Anda” bagi Riedl bisa jadi tak benar-benar merujuk pada si pewawancara. Kalau saya boleh tebak, yang dia maksud adalah: Anda yang haus prestasi tapi enggan melakukan perubahan.

Menjelang gelaran Piala AFF 2010, Riedl memilih mencoret nama Boaz Solossa lantaran dia melakukan tindakan indisipliner. Kala itu, menurut Goal.com, Boaz dua kali tidak memenuhi panggilan pelatnas, salah satunya karena mengikuti pertandingan antar kampung. Keputusan Riedl sebenarnya masuk akal, tapi sangat tidak populer mengingat Boaz adalah bintang utama sekaligus kapten Timnas.

Keputusan Riedl tersebut lantas ditentang banyak pihak hingga jadi perdebatan di media sosial. Namun, Riedl bersikukuh dan mampu membuktikan bahwa dia tepat sasaran. Buktinya, Timnas tetap tampil menawan di Piala AFF 2010 tanpa Boaz.

Pun sejak kejadian itu, Boaz berubah menjadi pemain yang lebih bertanggung jawab. Tindakan buruknya jauh berkurang, sementara prestasinya semakin menanjak. Alhasil, Boaz mampu tampil maksimal saat Riedl memercayakan ban kapten kepadanya dalam Piala AFF 2016. Boaz mencetak tiga gol penting sekaligus menjadi alasan utama Timnas mampu melangkah hingga ke babak final. Padahal, saat itu Indonesia bukan tim yang diunggulkan.

Meski begitu, seorang Boaz yang berubah sama sekali tak cukup untuk mengejar prestasi. Bagi Riedl, sepakbola Indonesia harus melakukan perubahan secara penuh-seluruh.

Dijegal Federasi Sendiri

Dalam kesempatan wawancara lain, Riedl pernah pula menyatakan bahwa pesepakbola Indonesia masih mempunyai banyak masalah. Bukan hanya tidak disiplin, Riedl menilai mereka juga tidak peduli dengan nutrisi. Mereka makan apa pun yang mereka mau. Padahal, nutrisi amat penting untuk menunjang performa pemain di atas lapangan.

“Seorang atlet seharusnya punya kepedulian tinggi terhadap nutrisi. Bayangkan pemain kita (Timnas Indonesia) biasa makan kerupuk atau kentang goreng, yang jelas-jelas tak ada gizinya,” kata Reidl sebagaimana dikutip Tempo edisi 26 Desember 2016.

Penilaian ini agaknya masih relevan hingga kini karena masih banyak pemain Indonesia yang menganggap enteng asupan gizi. Riedl tak luput menambahkan: kebiasaan buruk para pemain tersebut adalah cerminan dari federasi yang buruk pula.

Para penggemar sepakbola Indonesia tahu belaka bahwa Riedl tak pernah menyerah untuk memberikan yang terbaik selama melatih Timnas. Meski dia pernah tiga kali dipecat karena kekisruhan sepakbola di negeri ini, setidaknya dia selalu menyambut tantangan yang diberikan Timnas dengan tangan terbuka.

Apakah pelatih asal Austria itu pernah mendapatkan dukungan maksimal dari PSSI? Tentu saja tidak. Apa yang terjadi dalam gelaran Piala AFF 2010 bisa menjadi contoh.

Saat itu, Timnas tinggal selangkah saja menggenggam gelar juara. Mereka menghadapi Timnas Malaysia di laga final. Kepercayaan diri Timnas sedang meninggi karena di babak penyisihan, mereka mampu menghajarnya dengan skor telak 5-1. Sayangnya, saat Riedl menginginkan anak asuhnya fokus terhadap pertandingan, PSSI justru melenakan mereka dengan memperlakukannya bak selebritas.

Repoter Tempo dalam artikel “Hikayat Juara Kepagian” menulis, “Tim nasional PSSI menjadi juara kepagian. Mereka seringkali muncul acara televisi, sebagai bintang pendongkrak rating [...] Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakrie, yang lebih doyan main tenis ketimbang bola, bahkan mengundang makan pagi bersama di rumahnya, kawasan Menteng, Jakarta Pusat.”

Agenda itu dan kemudian acara dadakan di sebuah pesantren lantas membuat Riedl marah besar. Dalam beberapa kesempatan, pelatih asal Austria itu bahkan menyebut keinginan Timnas Indonesia meraih gelar juara Piala AFF untuk pertama kali dalam sejarah justru diintervensi oleh PSSI sendiri. Timnas Indonesia pun secara mengejutkan kalah dari Malaysia di laga final.

“Di antara ketiga final AFF, kegagalan di final Piala AFF 2010 itu menjadi yang paling pahit buat saya, karena [waktu] itu Indonesia punya tim terbaik di turnamen,” sesal Riedl.

Infografik Alfred Riedl

Infografik Alfred Riedl. tirto.id/Fuadi

Pelatih Asing Terbaik

Kejadian buruk di Piala AFF 2016 juga patut jadi pelajaran. Saat itu sepakbola Indonesia baru saja lepas dari sanksi FIFA. Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi membuat gebrakan dengan rencana mengontrak Jose Mourinho sebagai pelatih demi memuluskan jalan meraih gelar juara. Namun, upaya itu gagal dan PSSI memutuskan kembali mendatangkan Riedl sebagai juru selamat.

Riedl hanya mempunyai waktu singkat untuk mempersiapkan tim. Ketika proses seleksi selesai dan nama-nama sudah didapat, Riedl justru terhambat karena masing-masing klub di Indonesia hanya bersedia melepas dua pemainnya untuk Timnas. Ironisnya, PSSI mendukung keputusan klub-klub itu. Alasannya pun bikin dahi banyak orang berkerut: PSSI memutuskan Liga Indonesia tetap berjalan selama penyelenggaraan Piala AFF 2016.

Dengan segala keterbatasan itu, Riedl toh berhasil memoles Timnas menjadi tim kejutan di Piala AFF 2016. Boaz Solossa dan kawan-kawan sukses melaju ke final. Meski gagal menjadi juara, Timnas mampu memberikan perlawanan sengit terhadap Timnas Thailand.

Berkat capaian itu, reputasi sepakbola Indonesia yang sempat terjerembab dalam gelap akhirnya terangkat. Namun, sepakbola Indonesia nyaris tak pernah menghargai kerja keras Riedl.

Menimbang semua capaian itu, Riedl sebetulnya pantas dianggap sebagai salah satu pelatih asing terbaik yang pernah menangani Timnas Indonesia. Meski gagal memberikan prestasi maksimal, dia telah memberi teladan berupa keberanian mendorong perubahan. Karenanya, insan sepakbola Indonesia berutang besar padanya. Sampai Alfred Riedl meninggal dunia karena serangan kanker pada 8 September 2020 kemarin, sepakbola Indonesia masih gagal membuatnya tersenyum puas.

Baca juga artikel terkait SEPAKBOLA atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Sepakbola
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Fadrik Aziz Firdausi