Menuju konten utama

Alexander Jacob Patty, Maluku, dan Kesetiaan yang Retak

Meski kerap dianggap sebagai anak emas Belanda, Maluku melahirkan tokoh pergerakan seperti Alexander Jacob Patty.

Alexander Jacob Patty, Maluku, dan Kesetiaan yang Retak
Header Mozaik Alexander Jacob Patty. tirto.id/Tino

tirto.id - Setelah puluhan tahun terpendam di Tempat Permakaman Umum Pandu, Kota Bandung, kuburan Alexander Jacob Patty (selanjutnya ditulis A.J. Patty) akhirnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kapahana, Kota Ambon.

Rabu, 22 Maret 2017, kerangka jenazahnya digali dan langsung diterbangkan ke Kota Ambon. Esoknya, acara pemakaman ulang dilangsungkan.

Terdapat beberapa versi tentang waktu dan tempat kelahirannya, juga waktu kapan ia meninggal dunia. Rudi Fofid menulis di Maluku Post yang ia kutip dari pelbagai sumber tentang ragam versi kelahiran dan kematian ini.

Beberapa variasi tempat dan titimangsa kelahiran A.J. Patty, berdasarkan sumber yang dikumpulkan Fofid, yakni Nolloth, 15 Agustus 1901; Nolloth, 12 Desember 1889; Nolloth, 1894; Banda, 1894; dan Ambon, 1894. Meski catatan tentang tempat meninggalnya semua di Bandung, titimangsanya berlainan: 15 Juli 1947 dan 1952 hingga 16 Januari 1953, 1955, dan 1957.

Dieter Bartels, antropolog Jerman-Amerika yang melakukan penelitian di Maluku Tengah selama 40 tahun lebih, dalam bukunya bertajuk Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku Jilid II: Sejarah (2017), menyertakan selembar foto A.J. Patty dengan keterangan yang menyebutkan bahwa A.J. Patty dilahirkan pada 1901 dan meninggal pada 1957.

Tokoh Ambon Nasionalis

Betapa rumitnya menentukan satuan waktu dan tempat yang menandai hayat A.J. Patty. Di luar itu, terhampar pula satuan karya dari tokoh ini sehingga ia disebut sebagai salah seorang tokoh perintis kemerdekaan Indonesia.

Dalam catatan Bartels, Revolusi Komunis yang terjadi di Rusia pada 1917 menjadi pendorong Belanda untuk mengawasi dengan ketat para aktivis dan organisasinya di Hindia Belanda, seperti Insulinde atau Nationaal Indische Partij (NIP) hingga Sarekat Islam.

Bangkitnya gelombang nasionalisme di kalangan intelektual pribumi di sejumlah wilayah Hindia Belanda, juga berjangkit di kalangan terpelajar Maluku—wilayah, yang menurut Bartels, “sudah cukup lama mengambil keuntungan lewat hubungan simbiosis dengan Belanda”.

“[Keuntungan] menikmati status khusus mereka, dan terus berusaha menjadi ‘Belanda Hitam’ [tapi] ada segelintir orang Maluku, baik di Maluku maupun di luar Maluku, bahkan yang bergabung dengan KNIL, merasa bahwa ‘Kesetiaan Sepanjang Masa’ hanya menguntungkan kebijakan penindasan kolonial Belanda, bukan terutama terhadap kelompok etnik lain, melainkan juga penindasan terhadap orang Ambon sendiri,” tulis Bartels.

A.J. Patty adalah salah seorang dari yang segelintir itu. Untuk memperjuangkan kepentingan moral dan material rakyat Ambon, serta mengembangkan ekonomi tanah leluhurnya, ia mendirikan Sarekat Ambon. Sebagai ketua, ia dikukuhkan di Semarang pada 9 Mei 1920 yang mayoritas dihadiri oleh serdadu KNIL.

Saat organisasi ini didirikan, di kalangan serdadu KNIL tengah terjadi tuntutan untuk menyamakan status dan besaran upah tanpa melihat latar belakang etnis. Serdadu yang berasal dari Ambon dan Minahasa saat itu memiliki status dan upah yang lebih tinggi dari etnis lainnya.

Kehadiran Sarekat Ambon, yang ikut memperjuangkan persamaan status, bukan hanya antar-serdadu pribumi, melainkan juga antara serdadu pribumi dan Eropa, dianggap ancaman oleh sebagian serdadu KNIL asal Ambon. Maka itu, mereka mendirikan organisasi tandingan yang bernama Onderlinge Steun (Bantuan Timbal Balik) dan De Amboinees.

“Patty teguh berpendirian bahwa orang Ambon harus bersatu dengan semua kelompok etnik lain di Indonesia demi memperoleh kemajuan dalam sistem kolonial. Dia mendukung pihak yang tidak populer dalam masalah persamaan hak, meskipun sadar bahwa sebagian besar orang Ambon yang hidup di Jawa adalah serdadu KNIL beserta keluarganya,” imbuh Bartels.

Mendapati sejumlah serdadu KNIL mendukung perjuangan Sarekat Ambon, pemerintah kolonial Belanda melawannya dengan ancaman pemecatan terhadap serdadu KNIL yang bergabung secara aktif dalam pelbagai organisasi yang tidak disetujui Belanda, termasuk Sarekat Ambon.

Ancaman tersebut otomatis memutus hubungan Sarekat Ambon dengan mayoritas pendukungnya sehingga vakum beberapa saat. Warsa 1922, organisasi ini mulai bangkit kembali, dan setahun kemudian mendirikan Ina Toeni—sebagian sumber menulisnya Inna Toeni—yang berarti Wanita Sejati, sebagai organisasi kewanitaan.

Pendirian Ina Toeni tidak terlepas dari tingginya dukungan dari para istri serdadu KNIL yang telah diancam pemerintah kolonial Belanda. Untuk memecah dukungan serdadu KNIL, beserta istri-istrinya kepada Sarekat Ambon, pada 1925—tahun yang sama dengan dibuangnya A.J. Patty ke Bengkulu—Belanda menegaskan kembali perbedaan status di kalangan bala tentara pribumi.

Sebelum dibuang ke Bengkulu, Patty sempat pergi ke Maluku Tengah untuk melebarkan sayap Sarekat Ambon. Ia diterima oleh kalangan terdidik seperti para guru yang juga memperjuangkan kepentingan warga. Namun, kalangan pemangku adat dan pemimpin agama menentangnya karena merasa kedudukannya terancam.

“Karena pandai berpidato, ia (A.J. Patty) mendapat sambutan hangat dari rakyat. Di mana-mana mulai berdiri ‘kring-kring’ Sarekat Ambon. Akan tetapi, ternyata, usaha A.J. Patty ini mula-mula mendapat tantangan dari para regenten (Kepala Negeri) yang merasa takut dan terancam wibawa mereka di kalangan rakyatnya,” tulis penyusun buku Sejarah Daerah Maluku (1976).

Rintangan tersebut tak membuatnya patah arang. Pada pemilihan calon-calon Ambonraad atau Dewan Ambon, ia beserta para pembantu utamanya terpilih pada 1924. Namun, kaum loyalis Belanda menekannya dengan memanfaatkan kekhawatiran Belanda akan pergerakan Sarekat Ambon di tubuh Dewan Ambon.

“Kawan-kawan terdekat A.J. Patty juga terancam bahkan ada yang sampai meninggalkan Sarekat Ambon. Meskipun sudah meninggalkan Sarekat Ambon, tetapi ide-ide A.J. Patty tetap menjiwai mereka,” tulis penyusun Sejarah Daerah Maluku (1976).

Tetap Berpolitik

A.J. Patty akhirnya ditangkap Belanda dan diadili di Makassar. Warsa 1925, ia dibuang ke Bengkulu. Riwayatnya di tempat pembuangan pertama dalam hidupnya itu beberapa kali diwartakan oleh surat kabar Pertja Selatan.

Seperti dikutip Basilius Triharyanto, dalam Pers Perlawanan: Politik Wacana Antikolonialisme Pertja Selatan (2009), meski pada mulanya hidup sengsara karena dilanda bahaya kelaparan, Patty mendapat pekerjaan di residentie kantoor Palembang dengan pangkat commies.

Di tempat pembuangannya, status tahanan politik tak menghentikan aktivitas politiknya. Menurut Triana Wulandari dalam Sarekat Islam dan Pergerakan Politik di Palembang (2001), dikenal sebagai pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI) di Palembang. Ia juga aktif di Badan Permufakatan Pergerakan Palembang (BPPP) yang memprotes pembubaran PNI dan penangkapan para pemimpinnya.

Pergerakan politik yang terus menyala-nyala membuatnya dipindahkan ke Ruteng, Flores, pada 1930. Menurut Triharyanto, pemindahan ini diputuskan lewat Besluit Gouvernement tanggal 12 Desember 1927 No. 2 X yang disepakati Raad van Indie (Dewan Hindia).

Dari Digoel ke Australia

Dua tahun kemudian, A.J. Patty dibuang ke Boven Digoel, Papua, sebuah kamp isolasi yang didirikan Belanda setelah pemberontakan PKI 1926 di Jawa dan Sumatra. Kisah-kisah mengerikan dicatat sejumlah tahanan dalam memoarnya tentang kamp isolasi ini.

Takashi Shiraishi, sejarawan asal Jepang, menggambarkan kamp isolasi ini dalam Hantu Digoel: Politik Pengamanan Politik Zaman Kolonial (2001) sebagai “[kamp yang] memaksa para interniran hidup normal di bawah kondisi yang tidak normal."

Dalam Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku Jilid II: Sejarah (2017), Dieter Bartels menulis tempat ini dikhususkan bagi tawanan nasionalis paling berbahaya. A.J. Patty satu-satunya orang Ambon nasionalis yang mendapat “kehormatan” tinggi itu.

Di Bovel Digoel, menurut Koesalah Soebagyo Toer dalam Tanah Merah yang Merah (2010), A.J. Patty dipekerjakan sebagai asisten apoteker dan sangat dihormati para dokter karena kecerdasannya.

“Ia seorang nasionalis yang pernah diasingkan ke beberapa tempat akibat tiga peristiwa yang berbeda-beda,” tulis Molly Bondan dalam Spanning A Revolution: Kisah Mohamad Bondan, Eks-Digulis, dan Pergerakan Nasional Indonesia (2008).

Saat Jepang telah menguasai Hindia Belanda, tepatnya pada 1943, A.J. Patty bersama sejumlah tahanan lain dipindahkan ke Cowra, Australia. Di tempat barunya, ia bersama tahanan yang lain yakni Yahya Nasution, Ali Siregar, dan Abdul Kadir, berhasil menyelundupkan surat-surat kepada Partai Buruh Australia cabang Cowra.

Dalam surat-suratnya, A.J. Patty dan kawan-kawan menyatakan bahwa mereka bukan tawanan perang, melainkan kaum pergerakan yang terlibat perjuangan politik untuk kemerdekaan Indonesia.

“Mereka minta perhatian kepada Pemerintah Australia, agar para tapol Indonesia ini bisa dibebaskan dari kamp, juga menyatakan kesanggupan mereka bekerja dalam usaha perang bersama melawan fasisme,” tulis Molly Bondan.

Pada 1946, A.J. Patty dan para tahanan lainnya kembali ke Indonesia. Di Bandung, pada titimangsa yang mempunyai ragam versi, ia mengembuskan napas terakhir. Namanya diabadikan pada sebuah ruas jalan di Kota Ambon, juga sebuah yayasan di Amsterdam.

Infografik Mozaik Alexander Jacob Patty

Infografik Mozaik Alexander Jacob Patty. tirto.id/Tino

Retaknya Kesetiaan Maluku terhadap Belanda

Kelompok pergerakan Maluku yang berjuang untuk Indonesia tentu tak hanya A.J. Patty. Sejumlah nama lain terpacak dalam sejarah republik ini, seperti G.A. Siwabessy, Johannes Leimena, Johannes Latuharhary, dan lain-lain.

Kehadiran orang-orang Maluku nasionalis dalam gerbong kelompok pergerakan Indonesia, menurut narasi Dieter Bartels dalam Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku Jilid II: Sejarah (2017), merupakan sebuah keretakan bangunan yang bernama “Kesetiaan Sepanjang Masa”.

Setelah pemberontakan Thomas Matulessy (Pattimura) pada 1817, masyarakat Maluku perlahan mulai bekerja sama dengan Belanda.

Bartels mencatat pemberontakan Pattimura menjadi salah satu batu tapal dalam penulisan sejarah Indonesia. Ia juga menandai titik balik hubungan Ambon-Belanda.

Merosotnya harga rempah-rempah yang menyebabkan perubahan ekonomi membikin Belanda mulai memerhatikan daerah lain di Hindia Belanda sebagai sumber pendapatan baru. Komoditas pengganti rempah-rempah seperti gula, karet, kopi, coklat, tembakau mulai diusahakan secara besar-besaran di sejumlah daerah di luar Maluku, terutama di Jawa dan Sumatra.

Bartles menambahkan, kondisi ekonomi yang memburuk serta kebutuhan Belanda terhadap sumber daya manusia, membuat orang-orang Maluku akhirnya bersedia bekerja sama dengan Belanda.

Sistem pendidikan dibangun dan rekrutmen serdadu dibuka. Perlawanan terhadap Belanda yang kian gencar di sejumlah daerah mendorong dibentuknya Koninklijke Nederlansch Indisch Leger (KNIL) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda pada 1830.

Mula-mula, tulis Bartels, jumlah orang Maluku yang mendaftar untuk masuk KNIL tak terlalu signifikan. Baru pada 1896, sekitar 1.000 orang mendaftarkan diri dari yang biasanya tidak melebihi 100 orang per tahun. Saat itulah pendaftar dari Maluku meningkat tajam. Lonjakan besar itu sempat membuat pendaftaran KNIL dibatasi.

“Namun sebenarnya, yang tiba-tiba menyebabkan kesediaan orang Ambon bergabung dengan KNIL bukan semata-mata harga cengkeh yang jatuh, melainkan juga jurang tingkat kehidupan antara warga kampung dengan serdadu KNIL yang semakin lebar. Itulah yang membuat banyak orang Ambon mendaftar sengaja KNIL,” tulisnya.

Kerja sama saling menguntungkan itulah yang kemudian melahirkan loyalitas. Pada akhir 1946, sebuah monumen dibangun Belanda di luar Kota Ambon bertuliskan “Door de Eeuwen Trouw” atau “Kesetiaan Sepanjang Masa”.

Seiring bergantinya zaman, bangunan kesetiaan kepada Belanda itu kemudian retak. Lahir orang-orang seperti A.J. Patty yang bertungkus-lumus untuk Indonesia.

“Tak lama kemudian [setelah monumen mengenang kesetiaan didirikan] para pemuda nasionalis menuntut ‘koreksi historis’ dengan diam-diam membuang huruf “T” dari “Trouw”, dan huruf “r” diganti dengan huruf besar, menjadi ‘Door de Eeuwen Rouw’ atau ‘Menangis Sepanjang Masa’,” terang Bartels.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh Pribadi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Irfan Teguh Pribadi
Editor: Nuran Wibisono