Menuju konten utama

Alasan Slogan 'Islam Yes Kafir No' Tak Patut Diajarkan di Sekolah

Gubernur DIY Sri Sultan HB X pun memberikan komentar soal yel-yel bernada SARA pada saat kegiatan pramuka di SDN Timuran Yogyakarta. Bagaimana duduk perkaranya?

Alasan Slogan 'Islam Yes Kafir No' Tak Patut Diajarkan di Sekolah
Suasana di SDN Timuran di Jalan Prawirotaman Kota Yogyakarta, Senin (13/1/2020). (tirto.id/Irwan A. Syambudi)

tirto.id - Aku prok..prok..prok.. Anak Sholeh prok.. 3x

Rajin salat prok..3x.. Rajin ngaji prok..3x

Cinta Islam prok..3x. Sampai Mati.

Lailaaha illa Allah Muhammadu Rosululloh

Islam.. Islam yes… Kafir kafir no…

Sayup-sayup yel-yel itu terdengar oleh seorang ibu murid SDN Timuran Yogyakarta berinisial K. Kala itu, Jumat (10/1/2020) siang, ia sedang menjemput anaknya di sekolah. Yel-yel itu terdengar dari kelas lain yang berdekatan dengan kelas anaknya.

"[Bunyi yel-yel] kurang lebih begitu, aku juga baru dengar itu seumur-umur," kata K kepada reporter Tirto, Selasa (14/1/2020).

Awalnya, kata dia, semua bernyanyi normal saja. Lalu, tiba-tiba ada salah satu pembina pramuka putri masuk dan ajak anak-anak tepuk Islam. Saat itu sedang berlangsung praktik pembina pramuka yang mengikuti kursus mahir lanjut (KML).

"Saya kaget karena di akhir tepuk kok ada yel-yel 'Islam Islam Yes Kafir Kafir No.' Spontan saya protes dengan salah satu pembina senior," kata K menceritakan kejadian itu.

Sang orang tua murid itu kemudian menyampaikan keberatan dengan adanya tepuk itu. Menurut dia, yel-yel seperti itu tak patut diajarkan di sekolah negeri.

"Menurut saya itu mencemari kebhinekaan pramuka. Seketika pembina senior itu menyampaikan permintaan maaf, dan berjanji menyelesaikan dengan pembina terkait," kata dia.

Kronologi yang disampaikan wali murid itu kurang lebih sama dengan yang disampaikan Wakil Ketua Kwartir Cabang (Kwarcab) Kota Yogyakarta, Suraji Widarta. Ia saat itu berada di lokasi kejadian.

Saat dipanggil Komisi D DPRD Kota Yogyakarta untuk diminta klarifikasi, pada Selasa (14/1/2020), Suraji menerangkan bahwa memang sempat ada yel-yel yang ia sebut "tepuk anak saleh" itu.

Hal itu, kata Suraji, diajarkan oleh salah seorang pembina pramuka berinisial E yang satu itu sedang praktik di depan para siswi SDN Timuran.

"Ada kakak pembina yang masuk langsung tempuk anak saleh. Tidak diajari dulu tidak, tapi langsung tepuk," kata dia.

Setelah itu, Suraji mengaku didatangi seorang wali murid yang komplain soal adanya "tepuk anak saleh" yang diajarkan di situ. Saat itu juga ia langsung meminta maaf dan menindaklanjuti komplain tersebut.

"Saya mengklarifikasi bahwa tepuk itu tidak ada dan tidak diajarkan. Kedua saya langsung menegur kakak pembina berinisial E tadi. Langsung saya tegur dan saya ingatkan agar tidak melakukan lagi," kata dia.

Setelah praktik selesai, Suraji juga mengumpulkan para pembina pramuka peserta kursus itu. Kepada mereka, ia menegaskan bahwa tepuk itu tidak ada dan tidak perlu diajarkan lagi.

"Saya juga tunjukkan pada anak-anak [SD] bahwa saya NKRI, saya tunjukkan merah putih saya. Tidak ada membeda-bedakan agama," kata dia.

Kepala SDN Timuran Esti Kartini saat dikonfirmasi mengatakan tidak mengetahui secara detail terkait kejadian itu. Alasannya, lantaran acara tersebut diselenggarakan oleh Kwarcab Kota Yogya.

"Kami cuma ketempatan praktik pembina kursus mahir lanjut yang diadakan Kwarcab. [Soal kejadian itu] nanti kami konfirmasi ke Kwarcab," kata Esti.

Tak Patut Diajarkan di Depan Anak SD

KH Ahmad Mustofa Bisri atau lebih sering dipanggil Gus Mus mengomentari soal pembina pramuka yang mengajarkan nyanyian atau yel-yel menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) pada saat kegiatan pramuka.

Gus Mus memberikan komentar saat menjadi pembicara dalam acara dialog kebangsaan dengan tema “Merawat Persatuan, Menghargai Keberagaman” di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Selasa (14/1/2020).

"Kemarin saya baca itu, sakit sekali saya merasa. Kok ada pramuka, kok yel-nya Islam yes kafir no," kata Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah tersebut.

"Wong mendem [orang mabuk] kok sampai begitu. Itu nyekoki-nya bagaimana? Itu merusak betul. Merusak. Menyakitkan sekali karena itu dilakukan oleh orang yang mengaku beragama," kata Gus Mus menambahkan.

Menurut Gus Mus, orang yang beragama tentu tahu kalau Tuhan itu maha pengasih menciptakan agama sebagai rahmatan lil alamin. Artinya memberikan kasih sayang kepada alam semesta termasuk sesama manusia.

"Kalau dengan saudara sendiri saja tidak bisa kasih sayang, lalu bagaimana dengan yang lain-lain. Jadi saya mau mengatakan mbok ya sebelum bikin fatwa itu ngaji dulu. [Tapi] nanti terlalu sombong saya, terlalui menggurui," kata Gus Mus.

Seharusnya, kata mantan Rais Aam PBNU itu, perbedaan harusnya disikapi dengan lebih bijak. Karena menurut dia, mengingkari perbedaan adalah melawan kehendak Tuhan.

"Kenyataannya begitu. Hal-hal yang sepele dijadikan besar, dijadikan sesuatu yang membedakan dengan yang lain. Itu bagaimana?” kata Gus Mus mempertanyakan.

Orang yang ingin mengucapkan kata-kata Islami, kata dia, harus belajar Islam. Jangan sampai, kata Gus Mus, tidak belajar agama, tapi bicara sembarangan. Entah itu mau diajarkan di sekolah negeri ataupun sekolah Islam.

Terlebih saat ajaran yang disampaikan itu kepada anak-anak, kata Gus Mus, mereka yang menyampaikan harus hati-hati. Saat yel-yel berbau SARA itu disampaikan di depan anak-anak, Gus Mus menilai yang menyampaikan tidak memahami agama dengan baik.

"Karena harus disesuaikan dengan yang diajak ngomong. Jangan anak TK dikuliahi seperti orang perguruan tinggi. Anak kecil jangan diajari yang enggak bener gitu," kata dia.

Gus Mus menekankan di forum mana saja dan di institusi mana pun, tidak bisa sembarangan menyampaikan "Islam yes kafir no". Orang yang ingin menyampaikan seperti itu, kata dia, harus ngaji terlebih dahulu.

"Ini akibatnya kalau ngomong soal agama, tapi tidak belajar agama. Itu yang menjadi masalah masyarakat kita. Ngaji dulu lah jangan mengungkapkan sesuatu hal yang tidak diketahui. Cuma ikut-ikut saja, dia begitu kan ikut atasannya," kata Gus Mus.

Dinilai Rendahkan Keberagaman & Keberagamaan

Gubernur DIY Sri Sultan HB X pun memberikan komentar soal yel-yel bernada SARA pada saat kegiatan pramuka di SDN Timuran Yogyakarta. Raja Keraton Yogyakarta ini mengaku prihatin dengan peristiwa tersebut.

"Saya sangat menyesal itu terjadi di pramuka. Tidak benar itu," ujar Sultan saat ditemui di kampus UII Yogyakarta, Selasa, (14/1/2020).

Sultan HB X menilai materi seperti itu sebaiknya tak diajarkan di pramuka. Ia menegaskan tak ada orang kafir di Indonesia.

"Tidak tempatnya di situ dan tidak perlu mengatakan seperti itu. Ya kan? Di Indonesia tidak ada kafir," kata Sultan.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD juga mengomentari peristiwa tersebut.

Mahfud menilai yel-yel tersebut tak seharusnya diajarkan di kegiatan pramuka. Yel-yel yang diajarkan oleh pembina tersebut, kata dia, merendahkan keberagaman yang ada di Indonesia. Bahkan yel-yel 'Islam Yes Kafir No' juga dinilainya bisa merusak keutuhan bangsa.

“Merendahkan keberagaman dan keberagamaan. Itu tanggapan saya. Tidak baik bagi keutuhan bangsa ini," kata Mahfud MD.

Terkait kasus yel-yel yang diajarkan dalam pramuka itu, Mahfud meminta agar si pembina tersebut dipanggil dan dilakukan pembinaan.

“Pembinaan saja dulu, dipanggil. Jangan-jangan gurunya [pembina pramuka] agak bego kali. Panggil saja gurunya dulu. Masa ada yel-yel begitu,” kata Mahfud.

Rekomendasi DisporaYogyakarta

Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kota Yogyakarta Edy Heri Suasana merekomendasikan agar Kwarcab Kota Yogya memberikan saksi kepada pembina pramuka berinisial E yang mengajarkan yel-yel berbau SARA tersebut.

Rekomendasi sanksi diberikan adalah dengan memberhentikan yang bersangkutan dari rangkaian kursus dan tidak meluluskannya dalam kursus mahir lanjut (KML) pembina pramuka.

"Selaku peserta kursus harus berhenti. Yang kedua saya sarankan untuk tidak diluluskan," kata Edy usai memenuhi panggilan Komisi D DPRD Kota Yogya, Selasa (14/1/2020).

Menurut Edy ketidaklulusan tersebut sudah layak untuk diberikan. Pasalnya, dalam materi baku yang diberikan pada tingkat Kwarnas, soal nasionalisme adalah yang menjadi utama.

"Kalau kemudian ada isu SARA dimunculkan di pramuka yang bukan menjadi materi. Artinya tidak paham materi. Maka selayaknya dia dinyatakan tidak lulus," kata Edy.

Edy yang juga pengurus Kwarda DIY meminta kepada Kwarcab Kota Yogya untuk memberikan bukti ketidaklulusan dengan surat resmi yang ditembuskan kepada Kwarting Cabang Pramuka DIY dan ke Dispora Kota Yogya.

Wakil Ketua Kwarcab Kota Yogya Suraji Widarta mengatakan akan segera melaksanakan rekomendari tersebut, baik dari Dispora Kota Yogya maupaun rekomendasi dari Komisi D DPRD Kota Yogya.

"Kami sudah memberikan teguran secara lisan dan kami juga akan menindaklanjuti dengan apa yang menjadi arahan Komisi D agar ijazah yang bersangkutan untuk kami tarik atau tidak kami sampaikan pada yang bersangkutan," kata dia.

Baca juga artikel terkait KASUS INTOLERANSI atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz