Menuju konten utama

Alasan Pengamen Korban Salah Tangkap Tuntut Ganti Rugi Rp750 juta

Empat pengamen mengajukan gugatan praperadilan untuk menuntut ganti rugi senilai Rp750,9 juta karena menjadi korban salah tangkap dan penyiksaan oleh polisi di kasus pembunuhan.

Alasan Pengamen Korban Salah Tangkap Tuntut Ganti Rugi Rp750 juta
Ilustrasi tuntutan korban salah tangkap polisi.

tirto.id - Arga Putra Samosir (19) dan tiga rekannya menjadi korban salah tangkap oleh Unit Kejahatan dengan Kekerasan (Jatanras) Polda Metro Jaya pada Juli 2013.

Keempatnya ditangkap dengan tuduhan membunuh sesama pengamen anak dengan motif berebut lapak mengamen di Jakarta Selatan. Saat ditangkap, mereka masih berusia anak.

Mereka sempat dipenjara. Namun, Mahkamah Agung (MA) menyatakan mereka tidak bersalah dalam sidang Peninjauan Kembali (PK), melalui putusan bernomor 131 PK/Pid.Sus/2016.

Bersama tiga temannya, yakni Fikri, Fatahillah dan Pau, Arga kini berencana untuk menuntut ganti rugi kepada negara atas kejadian salah tangkap dan penyiksaan yang mereka alami.

Arga dan tiga rekannya mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan pihak tergugat adalah Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI, serta Kementerian Keuangan sebagai turut tergugat.

Dalam gugatan itu, mereka menuntut ganti rugi kepada negara senilai Rp750,9 juta. Nilai tersebut dihitung dari ganti rugi materiil senilai Rp662,4 juta dan imateriil Rp88,5juta. Sidang pembacaan permohonan gugatan itu diagendakan pada hari ini. Akan tetapi, hakim mengundur jadwal sidang itu pada 22 Juli karena menilai ada berkas yang kurang.

Saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pada Rabu (17/7/2019), Arga menjelaskan alasannya mengajukan gugatan tersebut.

"Kalau persidangan ini ya harapannya sih biar polisi tuh lain kali enggak semena-mena sama masyarakat," kata Arga.

"Kalau dibiarin kan, kalau, maaf-maaf, kata kasarnya, ngelunjaklah. Makanya sekali-kali harus dituntut," tambah dia.

Arga menegaskan bahwa ia dan tiga rekannya tak hanya menuntut sekadar untuk mendapatkan uang ganti rugi. "Tapi [agar] pihak kepolisian harus bertanggung jawab juga, atas perlakuannya," ujar dia.

Berdasar cerita Arga, pada Juli 2013 silam, ia bersama beberapa kawannya semula justru berniat menolang korban yang berakahir tewas. Saat itu, ia berusia 13 tahun.

"Kalau saya kan, kasusnya salah tangkap. Awalnya, saya niatnya cuma nolong," kata dia.

Menurut Arga, awalnya polisi menangkap ia dan 3 rekannya untuk menjadi saksi. Dia mengaku sempat diiming-imingi uang oleh polisi. Mereka pun menuruti keinginan polisi.

"Kalau saya kan dulu masih di bawah umur, masih polos lah," ujarnya.

Namun, saat sampai di kantor kepolisian, Arga dan tiga rekannya justru dipaksa untuk mengakui bahwa mereka melakukan pembunuhan tersebut. Sepanjang pemeriksaan, anak-anak tersebut tak didampingi pengacara atau pendamping hukum.

"Abis dari polsek, dibawa ke polda saya diinjek [badannya], dibawa ke lapangan. [...] Abis itu, dibawa ke TKP di kolong jembatan [Cipulir] itu, saya dikemplanginlah kepala, dikerubungi polisi di situ," kata Arga.

Dia menambahkan, ketiga temannya bahkan menerima perlakuan lebih parah. Ada yang dilakban wajahnya dan disetrum. Karena sejumlah temannya sudah mengaku, Arga pun ikut mengaku.

"Posisinya waktu itu temen saya, yang dua, udah ngaku. Ya, saya jadinya bingung. Daripada saya, gak mau ambil pusing kan, ya udah, teman saya juga udah ngasih kode ke saya, 'sudah pura-pura saja mengaku'," ujar Arga.

Akibat pengakuan karena paksaan itu, Arga sempat mendekam di penjara selama sekitar 2 tahun 3 bulan. Ia lalu dinyatakan tidak bersalah oleh MA melalui putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.

Atas segala perlakuan buruk polisi, hingga kekerasan, Arga bersama Fikri, Fatahillah, dan Pau, kini menuntut Polda Metro Jaya, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, dan Kementerian Keuangan.

Baca juga artikel terkait KASUS PEMBUNUHAN atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Addi M Idhom