Menuju konten utama

Alasan Pemerintah Kurangi Jumlah Bank Penyalur KPR FLPP

PPDPP menetapkan syarat setiap bank harus mencapai minimal 70 persen dari target yang telah disepakati pada PKO yang ditandatangani.

Alasan Pemerintah Kurangi Jumlah Bank Penyalur KPR FLPP
Pekerja beraktivitas di area proyek pembangunan perumahan subsidi di Bogor, Jawa Barat, Kamis (29/11/2018). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya.

tirto.id - Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengurangi jumlah bank penyalur dana KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Dari semula berjumlah 43 bank penyalur per Agustus 2018, kini hanya tersisa 25 bank per 21 Desember 2018.

Keputusan itu didasarkan atas evaluasi yang dilakukan Badan Layanan Umum Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (BLU PPDPP) atas capaian kinerja dan partisipasi perbankan dalam program KPR FLPP tahun ini.

Direktur Utama PPDPP Budi Hartanto mengatakan lembaganya menetapkan syarat setiap bank harus mencapai minimal 70 persen dari target yang telah disepakati pada Perjanjian Kerjasama Operasional (PKO) yang ditandatangani. Misalnya, dari target 1.000 rumah, maka bank harus mencapai paling tidak 700 saat hari evaluasi.

Selain itu, kata Budi, bank juga diminta untuk menyalurkan minimal 100 unit rumah selama tahun 2018. Dengan demikian, rata-rata jumlah rumah yang disalurkan per bulannya paling tidak mencapai 9-10 unit.

“Itu dua-duanya harus masuk. Ternyata dari 43 bank itu, setelah kami evaluasi dengan 2 kriteria tadi yang lolos hanya 25,” kata Budi kepada reporter Tirto, Kamis (27/12/2018).

Dalam evaluasi yang dilakukan PPDPP menjelang penandatanganan PKO pada 21 Desember 2018, kata Budi, lembaganya mendapati sejumlah masalah. Salah satunya terkait bank yang belum siap dari aspek sumber daya manusia (SDM), pemasaran yang lambat, dan kinerja marketing yang kurang efektif.

Di samping itu, kata Budi, sejumlah bank juga menerapkan strategi pengembangan produk yang kompetitif. Misalnya untuk menggaet kontraktor, bank menawarkan kredit konstruksi sehingga segera terdapat pengembang yang dapat memulai pengerjaan rumah tersebut.

Akibatnya, kata Budi, baik konsumen maupun pengembang beralih ke bank lain yang lebih responsif.

Budi juga menilai bank-bank yang belum dapat mencapai minimal realisasi 100 rumah pada 2018, umumnya memiliki skala modal yang relatif kecil, seperti bank-bank pembangunan daerah.

Namun, di saat yang sama, terdapat bank yang memasang target PKO terlampau besar, tetapi tidak mampu memenuhi syarat minimal 70 persen realisasi.

“Jadi ini masalah kecepatan bank untuk memasarkan rumahnya, lebih ke persaingan. Tapi ada juga yang lambat [realisasinya]” kata Budi.

Respons Bank yang Tak Lolos

Head of Mortgage Sales Department Bank KEB Hana, Syaiful Mirza mengatakan hingga 21 Desemeber 2018, jumlah rumah yang berhasil dipasarkan institusinya berjumlah 31 unit. Hal ini sebelum saluran subsidi yang diberikan pemerintah dihentikan.

Syaiful mengklaim jumlah itu sudah cukup baik. Hanya saja, kata dia, capaian kinerja lembaganya belum memenuhi standar yang diwajibkan PPDPP. Hal ini, kata dia, lantaran adanya sejumlah rumah yang belum siap dihuni karena belum selesai dibangun maupun belum mengantongi sertifikat laik fungsi (SLF).

Karena itu, Syaiful menilai pada kondisi itu kredit rumah belum dapat dipasarkan. Belum lagi, kata dia, perusahaannya baru menjajaki Kabupaten Subang, Jawa Barat.

“Untuk kredit, memang kami dikejar-kejar waktu. Kalau bangunan belum ready, kami enggak bisa salurkan itu dulu,” kata Syaiful.

Meski demikian, Syaiful menyebutkan Bank KEB Hana sudah mempersiapkan strategi baru untuk menembus PKO di 2019 nanti. Ia mengaku Bank KEB Hana mengincar rumah murah bagi pekerja industri yang dikelola dari Korea maupun mempercayakan pembayaran gaji kepada banknya.

“Kami akan commit di tahun 2019 dan sudah mempersiapkan potensi pasar di wilayah kami. Kami akan fasilitasi itu,” kata Syaiful.

Berbeda halnya dengan Bank KEB Hana, Kepala Divisi Bisnis Digital Banking & Consumer BRI Agro, Ifan mengatakan realisasi perusahannya hanya mencapai 10 unit hingga evaluasi PPDPP. Jumlah itu, kata Ifan, disebabkan karena banknya baru mulai menjajaki PKO pada September 2018.

Selama Oktober-November 2018, perusahaannya tengah menjalin kerja sama dengan pengembang yang memerlukan penyelesaian administrasi cukup lama, seperti legalitas proyek dan sertifikasi bangunan.

Pemasarannya, kata Ifan, baru dimulai setelahnya. Dengan demikian, hasil yang diperoleh pun diakuinya memang belum maksimal.

“Sejauh ini enggak ada kendala sebenarnya. Syarat-syarat dari PPDPP juga bisa diterima kok. Kami memang baru menjajaki ini di akhir tahun. Jadi belum maksimal,” kata Ifan.

Sementara terkait target 2019, Ifan mengaku optimistis perusahaannya mampu menyarlurkan 300 unit rumah. Target BRI Agro yang menyasar rumah bersubsidi bagi pekerja perkebunan dapat dengan mudah dicapai.

Menurut Ifan, jumlah angsuran rumah bersubsidi yang dibandrol Rp500-700 ribu per bulan tidak jauh berbeda dengan harga menyewa rumah. “Kalau kami melihat ada potensi rumah bersubsidi bagi pekerja perkebunan di Lampung, Pekan Baru, dan Makasar,” kata Ifan.

Baca juga artikel terkait KPR atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz