Menuju konten utama

Alasan NU Tolak FPI & HTI: Agama & Nasionalisme Saling Menguatkan

Nahdlatul Ulama berpandangan nasionalisme dan agama adalah dua kutub yang harus saling menguatkan dan tidak boleh dipertentangkan.

Alasan NU Tolak FPI & HTI: Agama & Nasionalisme Saling Menguatkan
Spanduk Muktamar NU ke-34 terpasang di salah satu jalan Protokol di Bandar Lampung, Lampung, Selasa (21/12/2021). ANTARA FOTO/Ardiansyah/hp.

tirto.id - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj angkat bicara soal alasan organisasinya bersikap keras dengan keberadaan Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

"Mereka yang tidak paham sikap tegas NU atas HTI maupun FPI barangkali memang belum mengerti betapa berat amanah memoderasi kutub-kutub ekstrem di negeri ini," kata Said Aqil dalam sambutannya di Lampung, Rabu (22/12/2021).

"Bagi NU dan Pesantren, menjaga NKRI adalah amanah karena hanya dengan bersetia kepada konstitusi, tatanan bersama dapat terselenggara," sambung Said Aqil.

Said Aqil mengingatkan adanya wasiat dari pendiri NU, Kyai Hasyim Asy'ari soal nasionalisme dan agama. Kyai Hasyim berpesan bahwa nasionalisme dan agama adalah dua kutub yang saling menguatkan dan tidak boleh dipertentangkan.

Oleh karena itu, NU harus bisa memoderasi kedua kutub, yakni nasionalisme dan agama.

Pandangan tersebut pun akhirnya dipahami oleh Said Aqil ketika menetap di Arab. Ia menerangkan, agama di negara-negara Arab tidak menjadi unsur aktif dalam mengisi makna nasionalisme.

"Bila anda membaca sejarah dan naskah konstitusi negara-negara Arab, anda akan segera tahu betapa mahal dan berharga naskah Pembukaan UUD 1945 yang kita punya," kata Said.

Di Timur Tengah, kata Said, tidak banyak ulama yang nasionalis sekaligus kelompok nasionalis berbasis agama. Pada akhirnya, nasionalisme dan agama kerap kali bertentangan satu-sama-lain serta muncul konflik sekterian.

Ia lantas mencontohkan konflik di Myanmar, Rohingya, Israel, Somalia hingga Afghanistan sebagai contoh negara yang berbeda kutub antara nasionalisme dan agama. Ia pun mengingatkan untuk bersikap moderat juga banyak tantangan yang harus dipenuhi.

"Tawasuth atau sikap moderat di antara dua kutub bukanlah perkara mudah. Tawasuth mempersyaratkan kecakapan pengetahuan dan kebijaksanaan. Dua hal ini lah yang diteladankan para Imam Mazhab dan ulama-ulama kita. Sementara untuk menjadi ekstrimis, seseorang cukup bermodalkan semangat dan fanatisme buta," tutur Said.

"Atsar pengetahuan dan kebijaksanaan pada gilirannya mewujud dalam sikap kemandirian. Pribadi-pribadi besar dalam sejarah panjang NU dan Pesantren adalah kisah-kisah mengenai kemandirian. Hanya dengan menjadi mandiri, kita baru mungkin untuk menyumbangkan sesuatu, berkontribusi kepada hidup bersama, berkhidmat pada peradaban dunia," tambah Said Aqil.

Sebagai catatan, NU sudah menolak kehadiran FPI dan HTI sejak lama. Pada tahun 2014 lalu, PBNU sudah menyatakan bahwa kedua ormas tersebut sudah berada di luar nilai-nilai dakwah ahlussunnah wal jamaah yang dipegang NU.

Khusus untuk FPI, alasan lain NU menolak ormas yang didirikan Rizieq Shihab itu karena menggunakan kekerasan dalam kegiatan. Aksi FPI dinilai telah mengambil alih tugas aparat dalam menegakkan prinsip amar makruf nahi munkar.

Baca juga artikel terkait MUKTAMAR NU atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto