Menuju konten utama

Alasan Mengapa Tak Boleh Pakai Masker Scuba dan Buff di KRL

Satgas COVID-19 mengatakan, masker jenis scuba dan buff terlalu tipis dan tidak efektif menahan virus. 

Alasan Mengapa Tak Boleh Pakai Masker Scuba dan Buff di KRL
Petugas memakaikan masker kepada warga yang kedapatan tidak mengenakan masker saat digelar razia penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Total di wilayah perbatasan DKI Jakarta dengan Tangerang Selatan di Bintaro, Jakarta, Senin (14/9/2020).ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/wsj.

tirto.id - Alasan Mengapa Tidak Boleh Pakai Masker Scuba dan Buff di KRL

PT Kereta Commuter Indonesia (KCL) baru-baru ini mengumumkan kepada para pelanggannya untuk tidak menggunakan masker jenis scuba dan buff. Alasannya karena karena tingkat efektivitas masker tersebut disebut rendah dan tak efektif mencegah virus.

Imbauan tersebut diunggah melalui sebuah postingan di akun Instagram @commuterline pada, Sabtu (12/9/2020).

"Hindari pemakaian masker scuba atau buff yang hanya 5 persen efektif dalam mencegah risiko terpaparnya akan debu, virus, dan bakteri," dikutip dari akun Intagram resmi @commuterline, Selasa (15/9/2020).

Juru bicara Satgas COVID-19, Wiku Adisasmito merespons imbauan PT KCI tersebut. Menurutnya, kedua masker jenis scuba dan buff memang terlalu tipis, sehingga kemungkinan virus untuk tembus lebih besar.

"Masker scuba atau buff terlalu tipis, kemungkinan tembus lenih besar," katanya dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Selasa (15/9/2020), sebagaimana dilansir Antara.

Sementara itu, Menurut Dokter Spesialis Paru di Rumah Sakit Akademik UGM Yogyakarta, dr. Siswanto, dalam keterangannya kepada Tirto, masker jenis scuba dan buff memang tidak direkomendasikan.

Hal tersebut karena masker jenis buff atau scuba hanya memiliki satu lapisan dan tidak efektif untuk mencegah penularan virus Corona.

"Masker buff dan scuba hanya satu lapis dan itu hanya kain semua. Scuba dan buff kurang efektif karena dua lapis, fitting tesnya itu yang dipertanyakan, karena engga bisa menutup efektiif," ujar Siswanto kepada redaksi Tirto.

Siswanto mengatakan masyarakat memang diimbau untuk menggunakan masker kain saat harus beraktivitas di luar rumah. Namun menurutnya, berdasarkan hasil penelitian jika menggunakan masker kain sebaiknya minimal menggunakan yang dua lapis kain.

"Ada penelitiannya, soal efektivitas masker kain yang paling bagus yang minimal dua lapis dan salah satunya itu dari katun, misalnya digabung dengan flanel dan sebagainya, disebutnya ini masker kain hybrid," ujarnya.

Ia menambahkan, dengan menggunakan masker kain minimal dua lapis ini agar lebih maksimal untuk menyaring virus maupun partikel debu.

Masker yang direkomendasikan WHO

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), masker non-medis (juga dikenal sebagai masker kain, masker buatan sendiri, atau masker DIY) dapat bertindak sebagai penghalang untuk mencegah penyebaran virus dari pemakai ke orang lain.

Namun, jika menggunakan masker non-medis jenis yang direkomendasikan oleh WHO adalah masker yang memiliki tiga lapisan.

Tiga lapisan masker tersebut terdiri dari lapisan dalam yang dapat menyerap, lapisan bagian tengah yang dapat menyaring, serta lapisan bagian luar yang sebaiknya berbahan poliester.

Masker tersebut dapat dibeli secara komersial atau buatan tangan, dan umumnya tidak standar seperti masker medis. Selain itu, penggunaan masker juga harus dilakukan dengan benar, yaitu harus menutupi hidung, mulut, dan dagu.

Dalam postingan tersebut PT KCI juga memberikan informasi terkait jenis dan efektivitas masker.

- Masker N95 Masker ini memiliki efektivitas 95 hingga 100 persen.

- Masker bedah Masker ini memiliki efektivitas 80 hingga 95 persen.

- Masker FFP1 Masker jenis ini memiliki efektivitas 80 hingga 95 persen.

- Masker bahan 3 lapis Masker ini memiliki efektivitas 50 hingga 70 persen.

- Masker scuba/buff Jenis masker ini memiliki efektivitas 0 hingga 5 persen.

Baca juga artikel terkait ALASAN TAK BOLEH PAKAI MASKER SCUBA atau tulisan lainnya dari Yandri Daniel Damaledo

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Agung DH